Kiw kiw .... Akan jadi seperti apakah Ava?
Jeremy tidak pernah tahu bahwa menunggu bisa jadi semenyenangkan ini. Meski tangannya memegang tablet, matanya terus tertarik pada Ava. Ia penasaran bagaimana penampilan akhir sang gadis setelah selesai dipoles—gadis yang dulu disebutnya kaku dan tidak menarik itu. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari Kara. "Paman, apakah Ava sudah selesai di-make over?" Membaca itu, Jeremy mendengus kecil. "Ini ulah Louis atau Emily? Atau keduanya?" Namun, jemarinya mengetik balasan. "Belum. Ada apa, Emily?" "Ini Louis, Paman. Kenapa Paman menduga aku Emily? Emily mana berani membajak ponsel Mama?" Jeremy menggeleng kecil. Hatinya tergelitik. Entah bagaimana, suara Louis terngiang dalam telinganya, seperti mengomel. "Maaf. Kukira kau Emily karena menggunakan kata make over." "Memangnya Emily saja yang tahu kata itu? Aku juga, Paman. Aku ini juga cerdas." Belum sempat Jeremy memikirkan balasan, pesan baru masuk lagi. "Apakah Paman tegang?" Alis Jeremy meninggi. "Kenapa kau bertanya begitu, Lou
Alis Ava terangkat tinggi. Kedipan matanya menyiratkan rasa malu. "Kenapa kau menanyakan itu? Bukankah yang penting, sekarang kita sudah bersama?" Jeremy menggeleng kecil. "Aku sudah mengaku kapan aku mulai memperhatikanmu. Sekarang giliranmu. Kalau kau tidak mau, berarti jelas, kau yang lebih dulu memperhatikanku." Ava meloloskan tawa kecil. "Rasa percaya dirimu tidak berubah, hmm?" "Justru bertambah karena kau bersedia menerimaku. Jadi, kapan? Apakah saat pertama kita berpas-pasan di lorong itu?" "Pertama kalinya aku melihatmu?" Ava menghela napas cepat. "Tentu saja tidak." "Tapi kau diam-diam melirikku." "Itu karena aku mengira kau bodyguard mereka. Aku harus waspada padamu. Saat itu, kita bermusuhan, ingat?" Jeremy menyipitkan mata. "Lalu? Apakah saat aku membekukmu?" Ava menggeleng. "Saat itu, aku malah kesal setengah mati padamu. Bahkan sampai aku harus tinggal di rumahmu, aku masih menganggapmu menyebalkan." "Saat tahun baru itu?" Ava mengerutkan bibir. "Aku juga masih
Ava tersedak oleh keharuannya yang membeludak. Sambil menyeka sudut matanya, ia mengangguk. "Ya, mari menyatukan cerita kita dan membuat bagian baru yang lebih seru." Jeremy tak bisa menahan tawa. Sekalipun ia telah yakin akan mendapatkan jawaban itu, sensasinya tetap tidak bisa dipungkiri. Mereka sudah seribu kaki di atas bumi. Siapa sangka, hatinya masih bisa melambung lagi lebih tinggi. "Terima kasih, Ava. Terima kasih telah menerimaku." Jeremy pun memasangkan cincin ke jari manis Ava—cincin yang nyata. Kemudian, ia menyegelnya dengan kecupan. "Jangan pernah melepas ini sampai cincin baru datang nanti." Ava mengangguk tipis. "Ya, pasti. Aku akan menjaganya dengan baik." "Dan aku akan menjagamu dengan baik." Jeremy berdiri dan mengecup Ava dengan penuh cinta. Para pelayan tidak bisa lagi menahan gemas. Mereka meloloskan tawa, berbisik-bisik mengungkapkan kekaguman. Lalu, di sudut lain, dua balita melompat keluar dari persembunyian. Mereka mengenakan tuksedo dan gaun mungil. W
"Pertama," Jeremy menegakkan telunjuknya sekilas, "kau tidak boleh pergi ke dapur. Khusus untuk ruang makan, kau boleh memasukinya jika ada kami." Alis Eva meninggi. "Kenapa?" "Sekalipun kau adalah adik dari Ava, kau tetap orang asing bagiku. Aku baru mengenalmu, jadi tentu aku harus waspada. Aku tidak mau seseorang memasukkan racun ke dalam makananku." Eva mendengus cepat. "Apakah wajah cantik seperti ini memiliki aura pembunuh?" Jeremy berkedip kaku. "Aku selalu waspada. Zaman sekarang, seorang ibu saja bisa membunuh anaknya sendiri, apalagi orang lain?" Eva menggeleng-geleng. "Aku tidak mungkin melakukan itu. Apa untungnya bagiku?" "Kau iri kepada Ava. Bisa saja kau gelap mata dan berniat mencelakainya. Atau mungkin, kau menyimpan dendam terhadapku. Aku tidak pernah berpihak padamu." Eva tertawa sinis. "Aku tidak sejahat itu, Tuan Harper." "Kalau begitu, kau seharusnya tidak keberatan dengan aturan tersebut." "Bagaimana kalau aku lapar dan mau makan?" Eva mencari alasan. "
Jeremy mengangkat tangan kiri Ava, menunjuk cincin di jari manisnya. Melihat berlian yang tertaut di sana, mata Eva nyaris melompat keluar. "Kau masih mau menyebut hubungan kami salah?" Jeremy memiringkan kepalanya sedikit. Sebelah alisnya mendesak dahi. "Sudah kubilang, Ava adalah calon istriku. Aku melamarnya tadi. Jadi, sudah menjadi tugasku untuk melindunginya. Kau bersikeras untuk tinggal di rumah ini. Jadi, aku tidak punya pilihan selain menyatukan kamar kami. Hanya dengan begitu, kau tidak akan menyentuhnya tanpa sepengetahuanku." "Tapi Mami—" "Tidak akan keberatan," sela Jeremy tegas. "Kalau dia sungguh menginginkan putri kesayangannya tinggal di sini, merawat dan menemaninya, dia pasti menyanggupi syarat apa pun.""Bagaimana kalau kabar ini bocor? Kau tidak takut reputasimu hancur?" Nada bicara Eva semakin melangit. Namun, Jeremy sama sekali tidak terintimidasi."Bahkan kalau seluruh dunia tahu bahwa kami tidur bersama, aku tidak keberatan. Aku seserius itu ingin memiliki
Vivian menyambut pagi dengan wajah semringah. Pesan dari pelayan telah membuat hatinya berbunga-bunga. Ia tidak pernah menduga bahwa progres putranya bisa sangat pesat. "Kalau seperti ini, aku bisa segera menimang cucu. Dia pasti sangat lucu. Oh, aku sungguh tidak sabar." Sambil membayangkan bagaimana wajah buah hati Jeremy dan Ava nanti, ia melangkah ringan. Namun, begitu melihat Eva di pintu menuju ruang makan, keceriaannya memudar. "Selamat pagi, Nyonya Harper. Anda tampak bersinar sekali. Apakah Anda sedang gembira?" Alih-alih menjawab, Vivian menyipitkan mata. Telunjuknya teracung ke depan. "Kau ... apa yang kau lakukan di sini sepagi ini?" Eva mengerutkan senyum. "Maaf kalau saya belum sempat meminta izin kepada Anda. Mami meminta saya untuk tinggal di sini agar dia tidak kesepian. Jadi, ya ... saya memutuskan untuk menginap di sini merawat Mami sampai pulih benar." Dengan lengkung alis yang tinggi, Vivian mengangguk-angguk. "Apakah Jeremy sudah tahu?" "Ya, saya sudah memi
Melihat Jeremy dan Ava kebingungan mencari jalan keluar, Vivian akhirnya menyudahi kegeliannya. Sambil berdeham, ia mengibas-ngibaskan tangan. "Baiklah, kalian tidak perlu menjawab itu. Ayo duduk. Kita sarapan dulu. Ava, jangan malu-malu. Kau harus makan yang banyak agar kandunganmu nanti sehat." Ava tidak bisa membuka mata lebih lebar. Ia megap-megap, tidak tahu harus membalas apa. Sementara itu, Jeremy duduk dengan punggung yang sangat tegak. Rautnya kaku. Tangannya harus berjuang ekstra untuk bisa meraih jemari Vivian. "Bu, tolong jangan meledek Ava lagi. Kasihan. Dia sudah seperti tomat. Dia bisa meletus kalau Ibu terus berbicara begitu." Vivian tersenyum simpul. "Baiklah. Ibu tidak akan menyinggung masalah itu lagi. Tapi Ava memang harus makan yang banyak." Sedetik kemudian, tangannya menutup dan membuka. "Ayo, kemarikan piring calon istrimu. Biar aku yang mengatur porsi makannya." Ava terkesiap. Kesepuluh jarinya menegak. Sebelum ia sempat menggoyangkannya, Jeremy telah me
"Selamat pagi, Bryan. Bagaimana kabarmu hari ini?" Eva duduk di sisi lain ranjang dengan gaya centil. Melihat itu, alis Bryan mengernyit. "Baik." Sedetik kemudian, Bryan lanjut menyeka leher pasiennya. Eva tahu itu respons yang dingin. Namun, senyumnya malah melebar. Tatapannya beralih kepada Nyonya Connor. "Selamat pagi, Mami. Bagaimana kabarmu pagi ini?" Wanita pucat itu mengangguk dengan senyum tipis. "Baik. Mami sudah siap menjalankan fisioterapi. Kamu mau menemani Mami?" "Tentu saja mau, Mami. Itulah tujuanku menginap di sini. Agar bisa lebih mudah merawat Mami. Dan Mami tidak perlu mengkhawatirkan butikku. Semua anak buahku sudah kulatih untuk mandiri." Eva melirik Bryan sekilas. Namun, di luar dugaannya, pria itu sama sekali tidak bereaksi. "Apakah Mami sudah sarapan?" Eva sengaja mempermanis gaya bicaranya. Sementara Nyonya Connor mengangguk, Bryan menyahut, "Ava memberitahu pelayan untuk mengantarkan sarapan milik ibumu tadi pagi. Aku baru saja selesai menyuapnya." Me
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum