Hap hap hap, jidat Ava perlu disentil nih. Nakal banget. Next, kita bakar Eva dengan kecemburuan. Sepakat?
Vivian menyambut pagi dengan wajah semringah. Pesan dari pelayan telah membuat hatinya berbunga-bunga. Ia tidak pernah menduga bahwa progres putranya bisa sangat pesat. "Kalau seperti ini, aku bisa segera menimang cucu. Dia pasti sangat lucu. Oh, aku sungguh tidak sabar." Sambil membayangkan bagaimana wajah buah hati Jeremy dan Ava nanti, ia melangkah ringan. Namun, begitu melihat Eva di pintu menuju ruang makan, keceriaannya memudar. "Selamat pagi, Nyonya Harper. Anda tampak bersinar sekali. Apakah Anda sedang gembira?" Alih-alih menjawab, Vivian menyipitkan mata. Telunjuknya teracung ke depan. "Kau ... apa yang kau lakukan di sini sepagi ini?" Eva mengerutkan senyum. "Maaf kalau saya belum sempat meminta izin kepada Anda. Mami meminta saya untuk tinggal di sini agar dia tidak kesepian. Jadi, ya ... saya memutuskan untuk menginap di sini merawat Mami sampai pulih benar." Dengan lengkung alis yang tinggi, Vivian mengangguk-angguk. "Apakah Jeremy sudah tahu?" "Ya, saya sudah memi
Melihat Jeremy dan Ava kebingungan mencari jalan keluar, Vivian akhirnya menyudahi kegeliannya. Sambil berdeham, ia mengibas-ngibaskan tangan. "Baiklah, kalian tidak perlu menjawab itu. Ayo duduk. Kita sarapan dulu. Ava, jangan malu-malu. Kau harus makan yang banyak agar kandunganmu nanti sehat." Ava tidak bisa membuka mata lebih lebar. Ia megap-megap, tidak tahu harus membalas apa. Sementara itu, Jeremy duduk dengan punggung yang sangat tegak. Rautnya kaku. Tangannya harus berjuang ekstra untuk bisa meraih jemari Vivian. "Bu, tolong jangan meledek Ava lagi. Kasihan. Dia sudah seperti tomat. Dia bisa meletus kalau Ibu terus berbicara begitu." Vivian tersenyum simpul. "Baiklah. Ibu tidak akan menyinggung masalah itu lagi. Tapi Ava memang harus makan yang banyak." Sedetik kemudian, tangannya menutup dan membuka. "Ayo, kemarikan piring calon istrimu. Biar aku yang mengatur porsi makannya." Ava terkesiap. Kesepuluh jarinya menegak. Sebelum ia sempat menggoyangkannya, Jeremy telah me
"Selamat pagi, Bryan. Bagaimana kabarmu hari ini?" Eva duduk di sisi lain ranjang dengan gaya centil. Melihat itu, alis Bryan mengernyit. "Baik." Sedetik kemudian, Bryan lanjut menyeka leher pasiennya. Eva tahu itu respons yang dingin. Namun, senyumnya malah melebar. Tatapannya beralih kepada Nyonya Connor. "Selamat pagi, Mami. Bagaimana kabarmu pagi ini?" Wanita pucat itu mengangguk dengan senyum tipis. "Baik. Mami sudah siap menjalankan fisioterapi. Kamu mau menemani Mami?" "Tentu saja mau, Mami. Itulah tujuanku menginap di sini. Agar bisa lebih mudah merawat Mami. Dan Mami tidak perlu mengkhawatirkan butikku. Semua anak buahku sudah kulatih untuk mandiri." Eva melirik Bryan sekilas. Namun, di luar dugaannya, pria itu sama sekali tidak bereaksi. "Apakah Mami sudah sarapan?" Eva sengaja mempermanis gaya bicaranya. Sementara Nyonya Connor mengangguk, Bryan menyahut, "Ava memberitahu pelayan untuk mengantarkan sarapan milik ibumu tadi pagi. Aku baru saja selesai menyuapnya." Me
Selama makan malam, Eva sama sekali tidak bersuara. Ia makan dengan anggun, menyimak obrolan sambil sesekali mengangguk. Bahkan, ketika Vivian bertanya tentang fisioterapi yang dijalani oleh Nyonya Connor, ia tidak menyela. Ia seperti sudah tidak butuh perhatian yang selama ini ia cari-cari. "Semuanya berjalan lancar. Ava dan Bryan bekerja dengan baik. Eva juga tadi sempat membantu," terang Nyonya Connor, santai. Lagi-lagi, Eva hanya mengangguk kecil. "Apakah kakimu terasa pegal atau sakit?" Melanie ikut penasaran. "Ya, kakiku terasa pegal dan berat. Tapi setelah dipijat Ava dan disemangati oleh Eva, aku merasa lebih baik." Eva tidak protes nama sang kakak disebut lebih dulu. Heningnya membuat Ava melirik. "Apa yang salah dengan bocah ini? Apakah dia merencanakan sesuatu?" pikirnya, waspada. Ava sadar bahwa pakaian sang adik lebih terbuka dari biasanya. Eva mengenakan gaun santai dengan spaghetti strap dan belahan rendah—gaya khasnya setiap akan mencari mangsa. Setelah makan ma
Usai menutup telepon, Jeremy menggaruk pelipis. Ia agak bingung memikirkan bagaimana cara untuk menyampaikan kejadian tadi kepada Ava. Ia tidak mungkin menutupi kebenaran. Namun, ia juga tidak mau melukai perasaan kekasihnya ataupun membuat hubungan keluarganya semakin renggang. "Haruskah aku melewatkan bagian gaun seksi itu? Itu mungkin lebih bisa diterima oleh Ava. Tapi kami sudah berjanji untuk tidak merahasiakan apa pun?" Jeremy mengerutkan alis lebih dalam. Saat itu pula, pintu ruang kerjanya terbuka. "Ava?" Ia terbelalak melihat sang kekasih masuk dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan. "Apakah Eva tadi datang ke sini?" Suara Ava pelan dan agak ragu. Tangannya saling menggamit di depan perut. Jeremy ternganga. "Ya ...." Namun, belum sempat ia menjelaskan lebih lanjut, Ava telah berlari lalu memeluknya. Lengkung alis Jeremy seketika berubah arti. "Ada apa, Ava? Apakah telah terjadi sesuatu?" "Terima kasih." Ava menempelkan pipinya ke dada Jeremy, lalu terpejam. "Terima
"Mami tahu? Mami tidak perlu menyenangkan hati balita-balita itu. Pikirkan kesehatan Mami. Mami tidak harus mendengar kebisingan mereka." Eva mengangguk-angguk, menekankan. Akan tetapi, sang ibu menatapnya bingung. "Justru Mami mau menonton aksi lucu mereka demi menyenangkan hati Mami." Sementara Eva termenung, Nyonya Connor menepuk-nepuk punggung tangannya. "Mami baik-baik saja, Sayang. Kamu tidak perlu khawatir. Sekarang suruh mereka masuk." Eva tidak kunjung bergerak. Ia tidak terima kalau si Kembar memenangkan hati ibunya. Namun, tanpa terduga, suara peluit dan drum kembali terdengar. Selang beberapa saat, dua balita muncul sambil menderapkan langkah. Nyonya Connor tertawa kecil melihat keseriusan mereka. Di akhir "pertunjukan", si Kembar membungkuk, memberi hormat. Nyonya Connor bertepuk tangan walau geraknya belum begitu lincah. "Terima kasih telah menghiburku, Anak-Anak Manis. Aku tidak menyangka kalau kalian bisa datang membawa kejutan." "Kami sudah berjanji untuk menghib
"Kalau begitu, terserah kalian saja! Aku benar-benar sudah lelah. Lelah!" Eva menderapkan langkah pergi. Di dalam kamar, ia langsung merebahkan diri di tempat tidur. Tangannya mencekik bantal seolah-olah itu Louis atau Emily. "Mengapa mereka menyebalkan sekali? Apakah mereka pikir karena mereka masih kecil, aku akan terus mengalah kepada mereka?" Sambil terengah-engah, Eva melirik ke arah pintu. "Tidak akan. Sekali lagi mereka mengusik ketenanganku, aku tidak akan tinggal diam." Belum sempat Eva meredakan kekesalannya, suara tawa tiba-tiba terdengar dari jendela. Dengan mata bulat, ia pergi memeriksa. Ternyata, si Kembar sedang berlari-lari di luar sana, mengejar kupu-kupu sambil tergelak gembira. "Astaga .... Bocah-bocah ini!" Dengan kemarahan yang mengepul di atas kepala, Eva membuka jendela. "Bukankah kalian bilang beranda tadi adalah milik kalian? Mengapa kalian sekarang malah di sini?" Si Kembar seketika menoleh. Bukannya takut, Emily malah melambai. "Hai, Eva. Tadi ada kup
"Bagaimana, Bu? Sudah siap memulai?" tanya Ava sembari memijat kaki Nyonya Connor. Bukannya langsung menjawab, Nyonya Connor malah melirik ke pintu. "Di mana yang lain? Bukankah Eva dan anak-anak kembar itu mau menemaniku terapi?" Saat itu pula, Bryan masuk sambil tersenyum. "Eva sedang bermain pistol air bersama Louis dan Emily." Ava sontak terbelalak. "Eva mau bermain bersama mereka? Basah-basahan?" "Ya. Sekarang mereka sedang kejar-kejaran di pekarangan samping." Sementara Ava berkedip-kedip tak percaya, sang ibu berkata, "Aku mau melihat mereka bermain. Bisakah kita menunda terapi sampai mereka selesai?" Ava mengerjap. "Tentu." Ia sendiri juga penasaran bagaimana cara si Kembar membujuk Eva bermain bersama mereka. Di pekarangan, Eva ternyata sudah basah kuyup. Ia tidak mungkin menang melawan dua balita sekaligus. "Kalian! Berhenti berlari!" Si Kembar juga terkena semprotan beberapa kali. Namun, tidak seperti Eva yang cemberut, mereka malah bertambah riang. Lari mereka sema