Terima kasih sudah membaca
"Selamat pagi, Bryan. Bagaimana kabarmu hari ini?" Eva duduk di sisi lain ranjang dengan gaya centil. Melihat itu, alis Bryan mengernyit. "Baik." Sedetik kemudian, Bryan lanjut menyeka leher pasiennya. Eva tahu itu respons yang dingin. Namun, senyumnya malah melebar. Tatapannya beralih kepada Nyonya Connor. "Selamat pagi, Mami. Bagaimana kabarmu pagi ini?" Wanita pucat itu mengangguk dengan senyum tipis. "Baik. Mami sudah siap menjalankan fisioterapi. Kamu mau menemani Mami?" "Tentu saja mau, Mami. Itulah tujuanku menginap di sini. Agar bisa lebih mudah merawat Mami. Dan Mami tidak perlu mengkhawatirkan butikku. Semua anak buahku sudah kulatih untuk mandiri." Eva melirik Bryan sekilas. Namun, di luar dugaannya, pria itu sama sekali tidak bereaksi. "Apakah Mami sudah sarapan?" Eva sengaja mempermanis gaya bicaranya. Sementara Nyonya Connor mengangguk, Bryan menyahut, "Ava memberitahu pelayan untuk mengantarkan sarapan milik ibumu tadi pagi. Aku baru saja selesai menyuapnya." Me
Selama makan malam, Eva sama sekali tidak bersuara. Ia makan dengan anggun, menyimak obrolan sambil sesekali mengangguk. Bahkan, ketika Vivian bertanya tentang fisioterapi yang dijalani oleh Nyonya Connor, ia tidak menyela. Ia seperti sudah tidak butuh perhatian yang selama ini ia cari-cari. "Semuanya berjalan lancar. Ava dan Bryan bekerja dengan baik. Eva juga tadi sempat membantu," terang Nyonya Connor, santai. Lagi-lagi, Eva hanya mengangguk kecil. "Apakah kakimu terasa pegal atau sakit?" Melanie ikut penasaran. "Ya, kakiku terasa pegal dan berat. Tapi setelah dipijat Ava dan disemangati oleh Eva, aku merasa lebih baik." Eva tidak protes nama sang kakak disebut lebih dulu. Heningnya membuat Ava melirik. "Apa yang salah dengan bocah ini? Apakah dia merencanakan sesuatu?" pikirnya, waspada. Ava sadar bahwa pakaian sang adik lebih terbuka dari biasanya. Eva mengenakan gaun santai dengan spaghetti strap dan belahan rendah—gaya khasnya setiap akan mencari mangsa. Setelah makan ma
Usai menutup telepon, Jeremy menggaruk pelipis. Ia agak bingung memikirkan bagaimana cara untuk menyampaikan kejadian tadi kepada Ava. Ia tidak mungkin menutupi kebenaran. Namun, ia juga tidak mau melukai perasaan kekasihnya ataupun membuat hubungan keluarganya semakin renggang. "Haruskah aku melewatkan bagian gaun seksi itu? Itu mungkin lebih bisa diterima oleh Ava. Tapi kami sudah berjanji untuk tidak merahasiakan apa pun?" Jeremy mengerutkan alis lebih dalam. Saat itu pula, pintu ruang kerjanya terbuka. "Ava?" Ia terbelalak melihat sang kekasih masuk dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan. "Apakah Eva tadi datang ke sini?" Suara Ava pelan dan agak ragu. Tangannya saling menggamit di depan perut. Jeremy ternganga. "Ya ...." Namun, belum sempat ia menjelaskan lebih lanjut, Ava telah berlari lalu memeluknya. Lengkung alis Jeremy seketika berubah arti. "Ada apa, Ava? Apakah telah terjadi sesuatu?" "Terima kasih." Ava menempelkan pipinya ke dada Jeremy, lalu terpejam. "Terima
"Mami tahu? Mami tidak perlu menyenangkan hati balita-balita itu. Pikirkan kesehatan Mami. Mami tidak harus mendengar kebisingan mereka." Eva mengangguk-angguk, menekankan. Akan tetapi, sang ibu menatapnya bingung. "Justru Mami mau menonton aksi lucu mereka demi menyenangkan hati Mami." Sementara Eva termenung, Nyonya Connor menepuk-nepuk punggung tangannya. "Mami baik-baik saja, Sayang. Kamu tidak perlu khawatir. Sekarang suruh mereka masuk." Eva tidak kunjung bergerak. Ia tidak terima kalau si Kembar memenangkan hati ibunya. Namun, tanpa terduga, suara peluit dan drum kembali terdengar. Selang beberapa saat, dua balita muncul sambil menderapkan langkah. Nyonya Connor tertawa kecil melihat keseriusan mereka. Di akhir "pertunjukan", si Kembar membungkuk, memberi hormat. Nyonya Connor bertepuk tangan walau geraknya belum begitu lincah. "Terima kasih telah menghiburku, Anak-Anak Manis. Aku tidak menyangka kalau kalian bisa datang membawa kejutan." "Kami sudah berjanji untuk menghib
"Kalau begitu, terserah kalian saja! Aku benar-benar sudah lelah. Lelah!" Eva menderapkan langkah pergi. Di dalam kamar, ia langsung merebahkan diri di tempat tidur. Tangannya mencekik bantal seolah-olah itu Louis atau Emily. "Mengapa mereka menyebalkan sekali? Apakah mereka pikir karena mereka masih kecil, aku akan terus mengalah kepada mereka?" Sambil terengah-engah, Eva melirik ke arah pintu. "Tidak akan. Sekali lagi mereka mengusik ketenanganku, aku tidak akan tinggal diam." Belum sempat Eva meredakan kekesalannya, suara tawa tiba-tiba terdengar dari jendela. Dengan mata bulat, ia pergi memeriksa. Ternyata, si Kembar sedang berlari-lari di luar sana, mengejar kupu-kupu sambil tergelak gembira. "Astaga .... Bocah-bocah ini!" Dengan kemarahan yang mengepul di atas kepala, Eva membuka jendela. "Bukankah kalian bilang beranda tadi adalah milik kalian? Mengapa kalian sekarang malah di sini?" Si Kembar seketika menoleh. Bukannya takut, Emily malah melambai. "Hai, Eva. Tadi ada kup
"Bagaimana, Bu? Sudah siap memulai?" tanya Ava sembari memijat kaki Nyonya Connor. Bukannya langsung menjawab, Nyonya Connor malah melirik ke pintu. "Di mana yang lain? Bukankah Eva dan anak-anak kembar itu mau menemaniku terapi?" Saat itu pula, Bryan masuk sambil tersenyum. "Eva sedang bermain pistol air bersama Louis dan Emily." Ava sontak terbelalak. "Eva mau bermain bersama mereka? Basah-basahan?" "Ya. Sekarang mereka sedang kejar-kejaran di pekarangan samping." Sementara Ava berkedip-kedip tak percaya, sang ibu berkata, "Aku mau melihat mereka bermain. Bisakah kita menunda terapi sampai mereka selesai?" Ava mengerjap. "Tentu." Ia sendiri juga penasaran bagaimana cara si Kembar membujuk Eva bermain bersama mereka. Di pekarangan, Eva ternyata sudah basah kuyup. Ia tidak mungkin menang melawan dua balita sekaligus. "Kalian! Berhenti berlari!" Si Kembar juga terkena semprotan beberapa kali. Namun, tidak seperti Eva yang cemberut, mereka malah bertambah riang. Lari mereka sema
Tiba-tiba, Emily kembali menumpahkan tangis. Pundaknya terkulai. Wajahnya mendongak menatap Jeremy. "Paman, Eva melumuri mukaku dengan tomat busuk. Aku sangat takut kulitku rusak. Kata Ava, aku akan baik-baik saja. Tapi aku masih kesal." "Paman tahu? Sebelumnya, Eva melempari Emily dengan senapan. Itu mengenai kepala Emily. Untung saja dia memakai helm. Tapi Emily terjatuh. Lihat! Celananya sampai kotor." Telunjuk Louis meruncing ke arah lutut sang adik. Melihat itu, tangan Jeremy terkepal erat. Sambil menggertakkan geraham, ia pun menatap Eva. Tidak ada lagi kesabaran yang tersisa dalam hatinya. "Kau sudah melanggar aturan. Sesuai kesepakatan, kau harus angkat kaki dari sini." Eva mendesah tak percaya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dirinyalah yang tersiksa. "Kalian senang sekarang? Kalian membawakan masalah kepadaku. Lalu di saat aku membela diri, aku yang disalahkan." "Kau bukan membela diri, Eva. Kau melampiaskan emosi." Tatapan Eva berpaling kepada Ava. "Siapa yang tidak
"Jadi dugaan Jeremy benar? Kau memang diculik? Dan kau bisa bebas karena telah menyepakati sesuatu dengan Nyonya Moore?" Suara Ava nyaris pecah. "Ya! Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus setuju kalau sekarang adalah saatnya aku menghancurkanmu!" "Eva!" Semua orang menoleh ke arah suara. Bryan ternyata sedang membawa Nyonya Connor menuju mereka. Wanita di kursi roda itu tampak kesulitan mengatur napas. "Katakan kalau itu tidak benar. Katakan kalau kau tidak pernah memiliki pemikiran sejahat itu!" Eva tersentak. Mulutnya menganga, meloloskan desah tak percaya. "Mami?" Sedetik kemudian, ia melirik Ava dengan kebencian yang lebih mendalam. "Kau sengaja membawa Mami ke sini?" "Eva!"Eva kembali menatap Nyonya Connor. Air mata sang ibu membuat dadanya sesak. Kedua tangannya mengepal erat. "Aku melakukan semua ini demi Mami. Aku tidak mau berpisah dengan Mami."Nyonya Connor menggeleng samar. "Mami sungguh kecewa padamu, Eva. Selama ini, Mami mencurahkan semua kasih sayang kepadamu
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum