Halo semuanya! Hari yang indah, ya. Terima kasih sudah membaca.Semoga suka!
"Kalau begitu, terserah kalian saja! Aku benar-benar sudah lelah. Lelah!" Eva menderapkan langkah pergi. Di dalam kamar, ia langsung merebahkan diri di tempat tidur. Tangannya mencekik bantal seolah-olah itu Louis atau Emily. "Mengapa mereka menyebalkan sekali? Apakah mereka pikir karena mereka masih kecil, aku akan terus mengalah kepada mereka?" Sambil terengah-engah, Eva melirik ke arah pintu. "Tidak akan. Sekali lagi mereka mengusik ketenanganku, aku tidak akan tinggal diam." Belum sempat Eva meredakan kekesalannya, suara tawa tiba-tiba terdengar dari jendela. Dengan mata bulat, ia pergi memeriksa. Ternyata, si Kembar sedang berlari-lari di luar sana, mengejar kupu-kupu sambil tergelak gembira. "Astaga .... Bocah-bocah ini!" Dengan kemarahan yang mengepul di atas kepala, Eva membuka jendela. "Bukankah kalian bilang beranda tadi adalah milik kalian? Mengapa kalian sekarang malah di sini?" Si Kembar seketika menoleh. Bukannya takut, Emily malah melambai. "Hai, Eva. Tadi ada kup
"Bagaimana, Bu? Sudah siap memulai?" tanya Ava sembari memijat kaki Nyonya Connor. Bukannya langsung menjawab, Nyonya Connor malah melirik ke pintu. "Di mana yang lain? Bukankah Eva dan anak-anak kembar itu mau menemaniku terapi?" Saat itu pula, Bryan masuk sambil tersenyum. "Eva sedang bermain pistol air bersama Louis dan Emily." Ava sontak terbelalak. "Eva mau bermain bersama mereka? Basah-basahan?" "Ya. Sekarang mereka sedang kejar-kejaran di pekarangan samping." Sementara Ava berkedip-kedip tak percaya, sang ibu berkata, "Aku mau melihat mereka bermain. Bisakah kita menunda terapi sampai mereka selesai?" Ava mengerjap. "Tentu." Ia sendiri juga penasaran bagaimana cara si Kembar membujuk Eva bermain bersama mereka. Di pekarangan, Eva ternyata sudah basah kuyup. Ia tidak mungkin menang melawan dua balita sekaligus. "Kalian! Berhenti berlari!" Si Kembar juga terkena semprotan beberapa kali. Namun, tidak seperti Eva yang cemberut, mereka malah bertambah riang. Lari mereka sema
Tiba-tiba, Emily kembali menumpahkan tangis. Pundaknya terkulai. Wajahnya mendongak menatap Jeremy. "Paman, Eva melumuri mukaku dengan tomat busuk. Aku sangat takut kulitku rusak. Kata Ava, aku akan baik-baik saja. Tapi aku masih kesal." "Paman tahu? Sebelumnya, Eva melempari Emily dengan senapan. Itu mengenai kepala Emily. Untung saja dia memakai helm. Tapi Emily terjatuh. Lihat! Celananya sampai kotor." Telunjuk Louis meruncing ke arah lutut sang adik. Melihat itu, tangan Jeremy terkepal erat. Sambil menggertakkan geraham, ia pun menatap Eva. Tidak ada lagi kesabaran yang tersisa dalam hatinya. "Kau sudah melanggar aturan. Sesuai kesepakatan, kau harus angkat kaki dari sini." Eva mendesah tak percaya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dirinyalah yang tersiksa. "Kalian senang sekarang? Kalian membawakan masalah kepadaku. Lalu di saat aku membela diri, aku yang disalahkan." "Kau bukan membela diri, Eva. Kau melampiaskan emosi." Tatapan Eva berpaling kepada Ava. "Siapa yang tidak
"Jadi dugaan Jeremy benar? Kau memang diculik? Dan kau bisa bebas karena telah menyepakati sesuatu dengan Nyonya Moore?" Suara Ava nyaris pecah. "Ya! Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus setuju kalau sekarang adalah saatnya aku menghancurkanmu!" "Eva!" Semua orang menoleh ke arah suara. Bryan ternyata sedang membawa Nyonya Connor menuju mereka. Wanita di kursi roda itu tampak kesulitan mengatur napas. "Katakan kalau itu tidak benar. Katakan kalau kau tidak pernah memiliki pemikiran sejahat itu!" Eva tersentak. Mulutnya menganga, meloloskan desah tak percaya. "Mami?" Sedetik kemudian, ia melirik Ava dengan kebencian yang lebih mendalam. "Kau sengaja membawa Mami ke sini?" "Eva!"Eva kembali menatap Nyonya Connor. Air mata sang ibu membuat dadanya sesak. Kedua tangannya mengepal erat. "Aku melakukan semua ini demi Mami. Aku tidak mau berpisah dengan Mami."Nyonya Connor menggeleng samar. "Mami sungguh kecewa padamu, Eva. Selama ini, Mami mencurahkan semua kasih sayang kepadamu
"Paman," Louis mengernyit karena Jeremy menggosok rambutnya terlalu keras, "menurut Paman, apakah Nyonya Moore akan menyerang Eva? Apakah Eva akan tetap aman?" Sementara itu, di samping Louis, Emily berdiri dengan santai. Ava mengeringkan rambutnya dengan sangat lembut. Bahkan, saat mengelap wajahnya, Ava hanya memberinya tepukan lembut. "Nyonya Moore pasti mengincar Eva. Dia kan nenek sihir. Tapi kurasa, kau tidak perlu khawatir, Louis. Paman Jeremy sudah mengirim beberapa pengawal untuk menjaga Eva." "Ya, tapi itu dari jauh. Bagaimana kalau seseorang menyerang Eva dalam jarak dekat?" "Para pengawal tidak akan membiarkan orang yang mencurigakan untuk mendekati Eva. Kalau tidak perlu khawatir, Jagoan." Jeremy melempar handuk ke arah kursi lalu meraih sisir. "Sekarang, kau mau gaya apa?" Louis langsung menggerakkan tangannya di atas kepala. "Aku mau rambutku berdiri seperti ini. Aku pasti bertambah keren." "Seperti jambul beo? "Emily terkikik. "Tidak. Seperti model-model papan at
"Menurut Mama, apakah Eva baik-baik saja? Kenapa Paman Jeremy belum memberi kita kabar?" Emily berkedip-kedip di sisi Kara. Tangan mungilnya terus memijat lengan sang ibu. Kara menoleh sambil tersenyum lembut. "Eva pasti sangat sedih dan terguncang. Mungkin, Paman Jeremy dan Ava sedang sibuk menenangkannya." Louis berhenti memijat lengan sang ibu. Ia memeriksa jam, lalu bibirnya mengerucut. "Tapi ini sudah lewat satu jam, Mama. Paman Jeremy pasti sudah memberi kabar kalau Eva baik-baik saja." "Atau bisa jadi," sela Frank setengah berbisik, mengundang si Kembar agar menyimak dengan saksama, "Paman Jeremy lupa mengabari kalian. Dia menjadi lebih pelupa sejak berpacaran dengan Ava. Mungkin karena pikirannya terlalu penuh dengan Ava." Mata Emily menyipit. Kepalanya sedikit miring. "Kurasa itu masuk akal. Apalagi, Eva pasti menangis dan suaranya berisik. Itu mengganggu konsentrasi Paman." Emily menepuk-nepuk telinganya ringan. "Papa, apakah ada cara untuk menghentikan Nyonya Moore? Kur
Saat memasuki kamar, Nyonya Connor tercengang melihat tidak ada siapa pun di sana. Begitu ia menoleh ke sofa, barulah ia menemukan Ava sedang meringkuk di sana. Seketika, ingatannya tersedot ke masa lalu. Ava dulu sering begitu, tidur di sofa. Ia selalu melakukannya setiap habis bertengkar dengan Eva. "Ava?" Ava tersentak mendengar suara Nyonya Connor. Ia berbalik dan langsung bangkit duduk. "Ibu?" Dengan bola mata yang bergetar, Ava menaikkan pandangan. Di belakang kursi roda, Jeremy hanya memberi anggukan. Kemudian, pria itu menepuk pundak Nyonya Connor. "Kalau sudah selesai, mintalah Ava untuk memanggilku. Aku akan menunggu di bawah, bersama yang lain." Nyonya Connor mengangguk tipis. Setelah Jeremy keluar dan menutup pintu, tatapannya terkunci pada Ava. "Ibu?" Bola mata Ava bergerak-gerak kebingungan. "Kenapa Ibu naik ke sini?" "Kenapa kau tidur di sofa? Kenapa kau tidak berbaring di tempat tidur saja?" Ava mengerjap. Ia sendiri juga tidak mengerti alasannya. Tubuhnya lang
Eva terduduk lesu di lantai ruang tamunya. Matanya yang bengkak sudah tidak menitikkan kesedihan. Namun, hidungnya masih kembang kempis mengimbangi deru napas yang sulit dipadamkan. "Butikku .... Impianku .... Harapanku ...." Ia mengelus satu-satunya figura yang masih utuh. Ada foto dirinya sedang menggunting pita di situ—momen saat peresmian butik barunya.Lengkung bibirnya begitu lebar dalam gambar itu. Sedangkan sekarang, wajahnya redup. Tidak ada sedikit pun cahaya terpancar dari sorot matanya. "Mengapa ini bisa terjadi padaku?" ratapnya seraya menggigit bibir. Getarannya terlalu hebat. Kalau saja air matanya belum habis, wajahnya pasti sudah kembali basah. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Semuanya sudah musnah. Butikku sudah tidak bersisa." Eva sudah seperti kaset rusak. Puluhan kali ia mengulang kata-kata tersebut. Namun, batinnya belum juga puas. Ia seolah berharap keajaiban datang memberinya jawaban. Dalam keheningan, Eva menggeser tetapan sendunya. Figura-figura lain