Hai, haii .... Musuh tinggal satu nih. Setelah itu, tersisa part bersenang-senang. Pantau terus cerita ini ya. Terima kasih sudah membaca.
"Menurut Mama, apakah Eva baik-baik saja? Kenapa Paman Jeremy belum memberi kita kabar?" Emily berkedip-kedip di sisi Kara. Tangan mungilnya terus memijat lengan sang ibu. Kara menoleh sambil tersenyum lembut. "Eva pasti sangat sedih dan terguncang. Mungkin, Paman Jeremy dan Ava sedang sibuk menenangkannya." Louis berhenti memijat lengan sang ibu. Ia memeriksa jam, lalu bibirnya mengerucut. "Tapi ini sudah lewat satu jam, Mama. Paman Jeremy pasti sudah memberi kabar kalau Eva baik-baik saja." "Atau bisa jadi," sela Frank setengah berbisik, mengundang si Kembar agar menyimak dengan saksama, "Paman Jeremy lupa mengabari kalian. Dia menjadi lebih pelupa sejak berpacaran dengan Ava. Mungkin karena pikirannya terlalu penuh dengan Ava." Mata Emily menyipit. Kepalanya sedikit miring. "Kurasa itu masuk akal. Apalagi, Eva pasti menangis dan suaranya berisik. Itu mengganggu konsentrasi Paman." Emily menepuk-nepuk telinganya ringan. "Papa, apakah ada cara untuk menghentikan Nyonya Moore? Kur
Saat memasuki kamar, Nyonya Connor tercengang melihat tidak ada siapa pun di sana. Begitu ia menoleh ke sofa, barulah ia menemukan Ava sedang meringkuk di sana. Seketika, ingatannya tersedot ke masa lalu. Ava dulu sering begitu, tidur di sofa. Ia selalu melakukannya setiap habis bertengkar dengan Eva. "Ava?" Ava tersentak mendengar suara Nyonya Connor. Ia berbalik dan langsung bangkit duduk. "Ibu?" Dengan bola mata yang bergetar, Ava menaikkan pandangan. Di belakang kursi roda, Jeremy hanya memberi anggukan. Kemudian, pria itu menepuk pundak Nyonya Connor. "Kalau sudah selesai, mintalah Ava untuk memanggilku. Aku akan menunggu di bawah, bersama yang lain." Nyonya Connor mengangguk tipis. Setelah Jeremy keluar dan menutup pintu, tatapannya terkunci pada Ava. "Ibu?" Bola mata Ava bergerak-gerak kebingungan. "Kenapa Ibu naik ke sini?" "Kenapa kau tidur di sofa? Kenapa kau tidak berbaring di tempat tidur saja?" Ava mengerjap. Ia sendiri juga tidak mengerti alasannya. Tubuhnya lang
Eva terduduk lesu di lantai ruang tamunya. Matanya yang bengkak sudah tidak menitikkan kesedihan. Namun, hidungnya masih kembang kempis mengimbangi deru napas yang sulit dipadamkan. "Butikku .... Impianku .... Harapanku ...." Ia mengelus satu-satunya figura yang masih utuh. Ada foto dirinya sedang menggunting pita di situ—momen saat peresmian butik barunya.Lengkung bibirnya begitu lebar dalam gambar itu. Sedangkan sekarang, wajahnya redup. Tidak ada sedikit pun cahaya terpancar dari sorot matanya. "Mengapa ini bisa terjadi padaku?" ratapnya seraya menggigit bibir. Getarannya terlalu hebat. Kalau saja air matanya belum habis, wajahnya pasti sudah kembali basah. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Semuanya sudah musnah. Butikku sudah tidak bersisa." Eva sudah seperti kaset rusak. Puluhan kali ia mengulang kata-kata tersebut. Namun, batinnya belum juga puas. Ia seolah berharap keajaiban datang memberinya jawaban. Dalam keheningan, Eva menggeser tetapan sendunya. Figura-figura lain
Louis dan Emily tertawa-tawa di pangkuan Melanie. Mereka suka cara sang nenek membacakan dongeng. Suara nenek sihirnya begitu persis. "Ulangi lagi, Nek. Bagian ini." Emily meruncingkan telunjuk ke paragraf sebelumnya. Begitu Melanie selesai membaca, ia dan Louis kembali terkikik. Frank dan Kara geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka. "Anak-anak, apakah kalian masih belum mau pulang? Sebentar lagi jam makan malam. Kasihan Nenek Susan kalau makan sendirian di rumah." Louis menggeleng tanpa berpikir panjang. "Apakah Papa lupa? Ada Philip dan Bibi yang menemani Nenek Susan di rumah. Nenek Susan pasti tidak apa-apa kalau kita makan malam di sini." "Ya! Aku dan Louis mau menunggu kabar dari Paman Jeremy. Kami berharap Eva sudah tidak sedih dan mau berdamai dengan Ava." Emily mengangguk-angguk lucu. "Philip dan Barbara baru saja pergi. Sepertinya mereka mau makan malam di luar. Apakah kalian tega membiarkan Nenek Susan sendiri?" "Masih ada Nora dan yang lain, Papa. Nenek Susan tid
"Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa kita tidak boleh ikut dari awal acara? Kenapa kita baru dipanggil sekarang?" Louis berjalan di samping Emily dengan bibir mengerucut. Bukannya ikut cemberut, Emily malah tertawa kecil. "Jangan marah, Louis. Kita hanya melewatkan 15 menit." "Banyak hal yang bisa terjadi dalam 15 menit, Emily. Kita bisa saja sudah ketinggalan banyak hal." "Mungkin itu acara orang dewasa. Kita tidak boleh ikut karena kita masih kecil." Louis mendengus berat. "Kalau begini, aku jadi tidak sabar ingin cepat-cepat dewasa. Dengan begitu, tidak akan ada yang bisa melarang kita lagi. Kita bisa ikut semua acara." "Jangan berkata begitu, Louis. Kata Mama, kita harus menikmati hidup. Fokus saja pada apa yang sedang terjadi sekarang. Nikmati masa kecil kita. Karena nanti kalau kita sudah tua, kita bisa saja merindukan masa-masa sekarang." Louis menyipitkan mata dan melirik sang adik. "Kau tahu? Terkadang aku berpikir kalau kau sudah dewasa. Cara bicaramu sudah seperti orang
"Nyonya Moore kelelahan. Dia memintamu untuk menjemputnya dengan kursi roda." Louis terus mengulang kalimat tersebut selama berjalan. Langkah kakinya cepat. Entah karena takut lupa atau tidak sabar ingin melihat pesta. Namun, ketika ia melewati ruang tengah, seseorang memanggilnya dari arah sofa. "Louis, kau baru mau pergi ke pesta?" Bryan menyimpan ponsel yang ia mainkan sejak tadi lalu beranjak berdiri. Melihat pria yang ia cari, mata Louis membulat. "Bryan, kenapa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya bersenang-senang bersama yang lain?" "Aku ada sedikit urusan." Bryan menunjukkan ponselnya. "Tapi sekarang sudah selesai. Kau mau pergi ke pesta bersamaku?" Louis mengangguk. Dengan lengkung bibir kecil, ia meraih uluran tangan pria itu. "Apakah pestanya keren?" Ia mendongak sambil berjalan mengikuti Bryan. "Ya, itu agak unik. Baru kali ini aku melihat konsep bachelor party yang semacam itu." Dahi Louis mengernyit. "Apa yang berbeda?" "Bachelor party biasanya identik dengan ke
Bryan berdeham memecah kecanggungan. "Apakah kau baik-baik saja?" Abigail berkedip-kedip dan tertunduk. Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. "Ya. Aku masih bisa bernapas." Nada bicarnya seolah tak acuh. "Bagaimana dengan ponselmu?" Abigail memeriksa gadgetnya sekilas. "Tidak apa-apa. Masih menyala." Bryan termenung. Ia tahu ada retakan di situ. "Maaf. Aku tidak tahu kalau kau berada di pihak keluarga Harper. Kukira kau musuh." Abigail mengangguk kaku. "Aku juga meminta maaf. Aku tidak seharusnya menuduhmu penyusup." Abigail masih menghindar dari tatapan Bryan. Hal itu membuat beban dalam hati Bryan tak kunjung berkurang. "Aku tidak tahu kau seorang wanita saat merobohkanmu tadi. Aku tidak punya maksud lain saat menekan dadamu. Itu hanya refleks untuk melumpuhkan musuh." Napas Abigail sontak tertahan. Matanya melebar, seluruf sarafnya menegang. Bisa-bisanya Bryan mengatakan itu secara terang-terangan? "Maaf, aku tidak mengerti apa maksudmu. Kapan kau pernah me
Sambil tersenyum manis, Emily dan Louis berjalan menuju tirai kristal. Tangan mereka terus memencet-mencet pistol, mengeluarkan gelembung-gelembung yang memantulkan warna kemerahan langit senja. Saking fokusnya dengan bola-bola tipis itu, langkah mungil mereka menjadi tidak stabil. Terkadang melambat, terkadang miring sehingga mereka hampir bertabrakan. Semua orang mengulum senyum menyaksikannya. "Apakah dulu mereka semanis itu saat berjalan di pernikahan kita?" Kara mencondongkan tubuhnya ke arah Frank. Tangannya yang menekan dada sang pria terasa hangat. Sambil tersenyum, Frank mengusap lengan istrinya. "Ya, mereka semanis itu. Tapi kurasa, Barbara tidak secantik kamu." Kara memicingkan mata dengan raut jenaka. "Jangan sampai Barbara mendengar itu, Frank. Dia bisa cemberut." Frank tertawa tanpa suara. "Dia sudah dewasa. Hari ini, dia akan mulai berkeluarga. Dia seharusnya sudah tidak terpengaruh oleh hal-hal seperti itu, Ratu Lebah." "Tapi jangan coba-coba mengujinya," bisik Ka
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum