Maaf telat, guys. Semoga kalian suka.
"Jadi dugaan Jeremy benar? Kau memang diculik? Dan kau bisa bebas karena telah menyepakati sesuatu dengan Nyonya Moore?" Suara Ava nyaris pecah. "Ya! Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus setuju kalau sekarang adalah saatnya aku menghancurkanmu!" "Eva!" Semua orang menoleh ke arah suara. Bryan ternyata sedang membawa Nyonya Connor menuju mereka. Wanita di kursi roda itu tampak kesulitan mengatur napas. "Katakan kalau itu tidak benar. Katakan kalau kau tidak pernah memiliki pemikiran sejahat itu!" Eva tersentak. Mulutnya menganga, meloloskan desah tak percaya. "Mami?" Sedetik kemudian, ia melirik Ava dengan kebencian yang lebih mendalam. "Kau sengaja membawa Mami ke sini?" "Eva!"Eva kembali menatap Nyonya Connor. Air mata sang ibu membuat dadanya sesak. Kedua tangannya mengepal erat. "Aku melakukan semua ini demi Mami. Aku tidak mau berpisah dengan Mami."Nyonya Connor menggeleng samar. "Mami sungguh kecewa padamu, Eva. Selama ini, Mami mencurahkan semua kasih sayang kepadamu
"Paman," Louis mengernyit karena Jeremy menggosok rambutnya terlalu keras, "menurut Paman, apakah Nyonya Moore akan menyerang Eva? Apakah Eva akan tetap aman?" Sementara itu, di samping Louis, Emily berdiri dengan santai. Ava mengeringkan rambutnya dengan sangat lembut. Bahkan, saat mengelap wajahnya, Ava hanya memberinya tepukan lembut. "Nyonya Moore pasti mengincar Eva. Dia kan nenek sihir. Tapi kurasa, kau tidak perlu khawatir, Louis. Paman Jeremy sudah mengirim beberapa pengawal untuk menjaga Eva." "Ya, tapi itu dari jauh. Bagaimana kalau seseorang menyerang Eva dalam jarak dekat?" "Para pengawal tidak akan membiarkan orang yang mencurigakan untuk mendekati Eva. Kalau tidak perlu khawatir, Jagoan." Jeremy melempar handuk ke arah kursi lalu meraih sisir. "Sekarang, kau mau gaya apa?" Louis langsung menggerakkan tangannya di atas kepala. "Aku mau rambutku berdiri seperti ini. Aku pasti bertambah keren." "Seperti jambul beo? "Emily terkikik. "Tidak. Seperti model-model papan at
"Menurut Mama, apakah Eva baik-baik saja? Kenapa Paman Jeremy belum memberi kita kabar?" Emily berkedip-kedip di sisi Kara. Tangan mungilnya terus memijat lengan sang ibu. Kara menoleh sambil tersenyum lembut. "Eva pasti sangat sedih dan terguncang. Mungkin, Paman Jeremy dan Ava sedang sibuk menenangkannya." Louis berhenti memijat lengan sang ibu. Ia memeriksa jam, lalu bibirnya mengerucut. "Tapi ini sudah lewat satu jam, Mama. Paman Jeremy pasti sudah memberi kabar kalau Eva baik-baik saja." "Atau bisa jadi," sela Frank setengah berbisik, mengundang si Kembar agar menyimak dengan saksama, "Paman Jeremy lupa mengabari kalian. Dia menjadi lebih pelupa sejak berpacaran dengan Ava. Mungkin karena pikirannya terlalu penuh dengan Ava." Mata Emily menyipit. Kepalanya sedikit miring. "Kurasa itu masuk akal. Apalagi, Eva pasti menangis dan suaranya berisik. Itu mengganggu konsentrasi Paman." Emily menepuk-nepuk telinganya ringan. "Papa, apakah ada cara untuk menghentikan Nyonya Moore? Kur
Saat memasuki kamar, Nyonya Connor tercengang melihat tidak ada siapa pun di sana. Begitu ia menoleh ke sofa, barulah ia menemukan Ava sedang meringkuk di sana. Seketika, ingatannya tersedot ke masa lalu. Ava dulu sering begitu, tidur di sofa. Ia selalu melakukannya setiap habis bertengkar dengan Eva. "Ava?" Ava tersentak mendengar suara Nyonya Connor. Ia berbalik dan langsung bangkit duduk. "Ibu?" Dengan bola mata yang bergetar, Ava menaikkan pandangan. Di belakang kursi roda, Jeremy hanya memberi anggukan. Kemudian, pria itu menepuk pundak Nyonya Connor. "Kalau sudah selesai, mintalah Ava untuk memanggilku. Aku akan menunggu di bawah, bersama yang lain." Nyonya Connor mengangguk tipis. Setelah Jeremy keluar dan menutup pintu, tatapannya terkunci pada Ava. "Ibu?" Bola mata Ava bergerak-gerak kebingungan. "Kenapa Ibu naik ke sini?" "Kenapa kau tidur di sofa? Kenapa kau tidak berbaring di tempat tidur saja?" Ava mengerjap. Ia sendiri juga tidak mengerti alasannya. Tubuhnya lang
Eva terduduk lesu di lantai ruang tamunya. Matanya yang bengkak sudah tidak menitikkan kesedihan. Namun, hidungnya masih kembang kempis mengimbangi deru napas yang sulit dipadamkan. "Butikku .... Impianku .... Harapanku ...." Ia mengelus satu-satunya figura yang masih utuh. Ada foto dirinya sedang menggunting pita di situ—momen saat peresmian butik barunya.Lengkung bibirnya begitu lebar dalam gambar itu. Sedangkan sekarang, wajahnya redup. Tidak ada sedikit pun cahaya terpancar dari sorot matanya. "Mengapa ini bisa terjadi padaku?" ratapnya seraya menggigit bibir. Getarannya terlalu hebat. Kalau saja air matanya belum habis, wajahnya pasti sudah kembali basah. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Semuanya sudah musnah. Butikku sudah tidak bersisa." Eva sudah seperti kaset rusak. Puluhan kali ia mengulang kata-kata tersebut. Namun, batinnya belum juga puas. Ia seolah berharap keajaiban datang memberinya jawaban. Dalam keheningan, Eva menggeser tetapan sendunya. Figura-figura lain
Louis dan Emily tertawa-tawa di pangkuan Melanie. Mereka suka cara sang nenek membacakan dongeng. Suara nenek sihirnya begitu persis. "Ulangi lagi, Nek. Bagian ini." Emily meruncingkan telunjuk ke paragraf sebelumnya. Begitu Melanie selesai membaca, ia dan Louis kembali terkikik. Frank dan Kara geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka. "Anak-anak, apakah kalian masih belum mau pulang? Sebentar lagi jam makan malam. Kasihan Nenek Susan kalau makan sendirian di rumah." Louis menggeleng tanpa berpikir panjang. "Apakah Papa lupa? Ada Philip dan Bibi yang menemani Nenek Susan di rumah. Nenek Susan pasti tidak apa-apa kalau kita makan malam di sini." "Ya! Aku dan Louis mau menunggu kabar dari Paman Jeremy. Kami berharap Eva sudah tidak sedih dan mau berdamai dengan Ava." Emily mengangguk-angguk lucu. "Philip dan Barbara baru saja pergi. Sepertinya mereka mau makan malam di luar. Apakah kalian tega membiarkan Nenek Susan sendiri?" "Masih ada Nora dan yang lain, Papa. Nenek Susan tid
"Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa kita tidak boleh ikut dari awal acara? Kenapa kita baru dipanggil sekarang?" Louis berjalan di samping Emily dengan bibir mengerucut. Bukannya ikut cemberut, Emily malah tertawa kecil. "Jangan marah, Louis. Kita hanya melewatkan 15 menit." "Banyak hal yang bisa terjadi dalam 15 menit, Emily. Kita bisa saja sudah ketinggalan banyak hal." "Mungkin itu acara orang dewasa. Kita tidak boleh ikut karena kita masih kecil." Louis mendengus berat. "Kalau begini, aku jadi tidak sabar ingin cepat-cepat dewasa. Dengan begitu, tidak akan ada yang bisa melarang kita lagi. Kita bisa ikut semua acara." "Jangan berkata begitu, Louis. Kata Mama, kita harus menikmati hidup. Fokus saja pada apa yang sedang terjadi sekarang. Nikmati masa kecil kita. Karena nanti kalau kita sudah tua, kita bisa saja merindukan masa-masa sekarang." Louis menyipitkan mata dan melirik sang adik. "Kau tahu? Terkadang aku berpikir kalau kau sudah dewasa. Cara bicaramu sudah seperti orang
"Nyonya Moore kelelahan. Dia memintamu untuk menjemputnya dengan kursi roda." Louis terus mengulang kalimat tersebut selama berjalan. Langkah kakinya cepat. Entah karena takut lupa atau tidak sabar ingin melihat pesta. Namun, ketika ia melewati ruang tengah, seseorang memanggilnya dari arah sofa. "Louis, kau baru mau pergi ke pesta?" Bryan menyimpan ponsel yang ia mainkan sejak tadi lalu beranjak berdiri. Melihat pria yang ia cari, mata Louis membulat. "Bryan, kenapa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya bersenang-senang bersama yang lain?" "Aku ada sedikit urusan." Bryan menunjukkan ponselnya. "Tapi sekarang sudah selesai. Kau mau pergi ke pesta bersamaku?" Louis mengangguk. Dengan lengkung bibir kecil, ia meraih uluran tangan pria itu. "Apakah pestanya keren?" Ia mendongak sambil berjalan mengikuti Bryan. "Ya, itu agak unik. Baru kali ini aku melihat konsep bachelor party yang semacam itu." Dahi Louis mengernyit. "Apa yang berbeda?" "Bachelor party biasanya identik dengan ke