Jangan iri ya sama Ava. Ikut berbahagia saja. Dia udah terlalu sering menderita. Btw, happy Sunday, guys!
Alis Ava terangkat tinggi. Kedipan matanya menyiratkan rasa malu. "Kenapa kau menanyakan itu? Bukankah yang penting, sekarang kita sudah bersama?" Jeremy menggeleng kecil. "Aku sudah mengaku kapan aku mulai memperhatikanmu. Sekarang giliranmu. Kalau kau tidak mau, berarti jelas, kau yang lebih dulu memperhatikanku." Ava meloloskan tawa kecil. "Rasa percaya dirimu tidak berubah, hmm?" "Justru bertambah karena kau bersedia menerimaku. Jadi, kapan? Apakah saat pertama kita berpas-pasan di lorong itu?" "Pertama kalinya aku melihatmu?" Ava menghela napas cepat. "Tentu saja tidak." "Tapi kau diam-diam melirikku." "Itu karena aku mengira kau bodyguard mereka. Aku harus waspada padamu. Saat itu, kita bermusuhan, ingat?" Jeremy menyipitkan mata. "Lalu? Apakah saat aku membekukmu?" Ava menggeleng. "Saat itu, aku malah kesal setengah mati padamu. Bahkan sampai aku harus tinggal di rumahmu, aku masih menganggapmu menyebalkan." "Saat tahun baru itu?" Ava mengerutkan bibir. "Aku juga masih
Ava tersedak oleh keharuannya yang membeludak. Sambil menyeka sudut matanya, ia mengangguk. "Ya, mari menyatukan cerita kita dan membuat bagian baru yang lebih seru." Jeremy tak bisa menahan tawa. Sekalipun ia telah yakin akan mendapatkan jawaban itu, sensasinya tetap tidak bisa dipungkiri. Mereka sudah seribu kaki di atas bumi. Siapa sangka, hatinya masih bisa melambung lagi lebih tinggi. "Terima kasih, Ava. Terima kasih telah menerimaku." Jeremy pun memasangkan cincin ke jari manis Ava—cincin yang nyata. Kemudian, ia menyegelnya dengan kecupan. "Jangan pernah melepas ini sampai cincin baru datang nanti." Ava mengangguk tipis. "Ya, pasti. Aku akan menjaganya dengan baik." "Dan aku akan menjagamu dengan baik." Jeremy berdiri dan mengecup Ava dengan penuh cinta. Para pelayan tidak bisa lagi menahan gemas. Mereka meloloskan tawa, berbisik-bisik mengungkapkan kekaguman. Lalu, di sudut lain, dua balita melompat keluar dari persembunyian. Mereka mengenakan tuksedo dan gaun mungil. W
"Pertama," Jeremy menegakkan telunjuknya sekilas, "kau tidak boleh pergi ke dapur. Khusus untuk ruang makan, kau boleh memasukinya jika ada kami." Alis Eva meninggi. "Kenapa?" "Sekalipun kau adalah adik dari Ava, kau tetap orang asing bagiku. Aku baru mengenalmu, jadi tentu aku harus waspada. Aku tidak mau seseorang memasukkan racun ke dalam makananku." Eva mendengus cepat. "Apakah wajah cantik seperti ini memiliki aura pembunuh?" Jeremy berkedip kaku. "Aku selalu waspada. Zaman sekarang, seorang ibu saja bisa membunuh anaknya sendiri, apalagi orang lain?" Eva menggeleng-geleng. "Aku tidak mungkin melakukan itu. Apa untungnya bagiku?" "Kau iri kepada Ava. Bisa saja kau gelap mata dan berniat mencelakainya. Atau mungkin, kau menyimpan dendam terhadapku. Aku tidak pernah berpihak padamu." Eva tertawa sinis. "Aku tidak sejahat itu, Tuan Harper." "Kalau begitu, kau seharusnya tidak keberatan dengan aturan tersebut." "Bagaimana kalau aku lapar dan mau makan?" Eva mencari alasan. "
Jeremy mengangkat tangan kiri Ava, menunjuk cincin di jari manisnya. Melihat berlian yang tertaut di sana, mata Eva nyaris melompat keluar. "Kau masih mau menyebut hubungan kami salah?" Jeremy memiringkan kepalanya sedikit. Sebelah alisnya mendesak dahi. "Sudah kubilang, Ava adalah calon istriku. Aku melamarnya tadi. Jadi, sudah menjadi tugasku untuk melindunginya. Kau bersikeras untuk tinggal di rumah ini. Jadi, aku tidak punya pilihan selain menyatukan kamar kami. Hanya dengan begitu, kau tidak akan menyentuhnya tanpa sepengetahuanku." "Tapi Mami—" "Tidak akan keberatan," sela Jeremy tegas. "Kalau dia sungguh menginginkan putri kesayangannya tinggal di sini, merawat dan menemaninya, dia pasti menyanggupi syarat apa pun.""Bagaimana kalau kabar ini bocor? Kau tidak takut reputasimu hancur?" Nada bicara Eva semakin melangit. Namun, Jeremy sama sekali tidak terintimidasi."Bahkan kalau seluruh dunia tahu bahwa kami tidur bersama, aku tidak keberatan. Aku seserius itu ingin memiliki
Vivian menyambut pagi dengan wajah semringah. Pesan dari pelayan telah membuat hatinya berbunga-bunga. Ia tidak pernah menduga bahwa progres putranya bisa sangat pesat. "Kalau seperti ini, aku bisa segera menimang cucu. Dia pasti sangat lucu. Oh, aku sungguh tidak sabar." Sambil membayangkan bagaimana wajah buah hati Jeremy dan Ava nanti, ia melangkah ringan. Namun, begitu melihat Eva di pintu menuju ruang makan, keceriaannya memudar. "Selamat pagi, Nyonya Harper. Anda tampak bersinar sekali. Apakah Anda sedang gembira?" Alih-alih menjawab, Vivian menyipitkan mata. Telunjuknya teracung ke depan. "Kau ... apa yang kau lakukan di sini sepagi ini?" Eva mengerutkan senyum. "Maaf kalau saya belum sempat meminta izin kepada Anda. Mami meminta saya untuk tinggal di sini agar dia tidak kesepian. Jadi, ya ... saya memutuskan untuk menginap di sini merawat Mami sampai pulih benar." Dengan lengkung alis yang tinggi, Vivian mengangguk-angguk. "Apakah Jeremy sudah tahu?" "Ya, saya sudah memi
Melihat Jeremy dan Ava kebingungan mencari jalan keluar, Vivian akhirnya menyudahi kegeliannya. Sambil berdeham, ia mengibas-ngibaskan tangan. "Baiklah, kalian tidak perlu menjawab itu. Ayo duduk. Kita sarapan dulu. Ava, jangan malu-malu. Kau harus makan yang banyak agar kandunganmu nanti sehat." Ava tidak bisa membuka mata lebih lebar. Ia megap-megap, tidak tahu harus membalas apa. Sementara itu, Jeremy duduk dengan punggung yang sangat tegak. Rautnya kaku. Tangannya harus berjuang ekstra untuk bisa meraih jemari Vivian. "Bu, tolong jangan meledek Ava lagi. Kasihan. Dia sudah seperti tomat. Dia bisa meletus kalau Ibu terus berbicara begitu." Vivian tersenyum simpul. "Baiklah. Ibu tidak akan menyinggung masalah itu lagi. Tapi Ava memang harus makan yang banyak." Sedetik kemudian, tangannya menutup dan membuka. "Ayo, kemarikan piring calon istrimu. Biar aku yang mengatur porsi makannya." Ava terkesiap. Kesepuluh jarinya menegak. Sebelum ia sempat menggoyangkannya, Jeremy telah me
"Selamat pagi, Bryan. Bagaimana kabarmu hari ini?" Eva duduk di sisi lain ranjang dengan gaya centil. Melihat itu, alis Bryan mengernyit. "Baik." Sedetik kemudian, Bryan lanjut menyeka leher pasiennya. Eva tahu itu respons yang dingin. Namun, senyumnya malah melebar. Tatapannya beralih kepada Nyonya Connor. "Selamat pagi, Mami. Bagaimana kabarmu pagi ini?" Wanita pucat itu mengangguk dengan senyum tipis. "Baik. Mami sudah siap menjalankan fisioterapi. Kamu mau menemani Mami?" "Tentu saja mau, Mami. Itulah tujuanku menginap di sini. Agar bisa lebih mudah merawat Mami. Dan Mami tidak perlu mengkhawatirkan butikku. Semua anak buahku sudah kulatih untuk mandiri." Eva melirik Bryan sekilas. Namun, di luar dugaannya, pria itu sama sekali tidak bereaksi. "Apakah Mami sudah sarapan?" Eva sengaja mempermanis gaya bicaranya. Sementara Nyonya Connor mengangguk, Bryan menyahut, "Ava memberitahu pelayan untuk mengantarkan sarapan milik ibumu tadi pagi. Aku baru saja selesai menyuapnya." Me
Selama makan malam, Eva sama sekali tidak bersuara. Ia makan dengan anggun, menyimak obrolan sambil sesekali mengangguk. Bahkan, ketika Vivian bertanya tentang fisioterapi yang dijalani oleh Nyonya Connor, ia tidak menyela. Ia seperti sudah tidak butuh perhatian yang selama ini ia cari-cari. "Semuanya berjalan lancar. Ava dan Bryan bekerja dengan baik. Eva juga tadi sempat membantu," terang Nyonya Connor, santai. Lagi-lagi, Eva hanya mengangguk kecil. "Apakah kakimu terasa pegal atau sakit?" Melanie ikut penasaran. "Ya, kakiku terasa pegal dan berat. Tapi setelah dipijat Ava dan disemangati oleh Eva, aku merasa lebih baik." Eva tidak protes nama sang kakak disebut lebih dulu. Heningnya membuat Ava melirik. "Apa yang salah dengan bocah ini? Apakah dia merencanakan sesuatu?" pikirnya, waspada. Ava sadar bahwa pakaian sang adik lebih terbuka dari biasanya. Eva mengenakan gaun santai dengan spaghetti strap dan belahan rendah—gaya khasnya setiap akan mencari mangsa. Setelah makan ma