Ada apa Eva datang? Kira-kira, bagaimana Ava menghadapinya?
"Ingat poin nomor dua, Ava. Kamu tidak boleh merasa kecil atau rendah diri. Jeremy ada di belakangmu. Jadi, jangan takut untuk melawan kalau ada yang menindasmu," ujar Ava berulang kali dalam hati. Kalimat-kalimat tersebut sudah seperti mantra baginya. Lima langkah dari gerbang, Ava mengembuskan napas cepat. "Kalian sudah siap?" Kepalanya menoleh sedikit. Dua orang pria di belakangnya menjawab dengan kompak, "Siap, Nona." Sambil menegakkan postur, Ava berjalan menghampiri sang adik. "Well, well ...." Eva melipat tangan di depan dada. Tatapannya sinis, bibirnya berkedut jijik. "Kukira kau sudah puas menindasku di butik. Ternyata, kau mau menindasku di sini juga?" Ava menghentikan langkah dengan raut tegas. Ia dan Eva kini hanya berjarak satu meter, terpisahkan oleh jeruji besi yang berukiran indah. "Jangan memutarbalikkan fakta atau mengada-ada. Aku tidak pernah menindasmu." Eva mendengus. "Kalau kau tidak bermaksud menindasku, lalu mengapa kau tidak mengizinkan aku masuk? Aku su
Langkah Ava sontak tertahan. Rahangnya berdenyut-denyut menahan kekesalan. "Kau bilang kau tidak datang membawa ancaman?" Ia berbalik dengan alis berkerut. "Kau sadar apa yang sedang kau lakukan? Kau mengancamku." Eva tersenyum licik. "Aku tidak mengancammu, Ava. Aku mengatakan apa yang akan terjadi selanjutnya jika kau masih kukuh melarangku masuk." "Aku akan menjelaskan kepada Ibu bahwa ini perintah Tuan Harper." "Menurutmu Mami peduli?" Eva menaikkan sebelah alis. Nada bicaranya seperti menantang. "Yang Mami inginkan adalah bertemu denganku. Mami pasti akan sangat kecewa begitu tahu kau menentang keinginannya." Sementara Ava menggertakkan geraham, Eva mendekatkan kepalanya hingga nyaris menyentuh celah gerbang. Ia sudah seperti narapidana yang mengintai ke luar. "Kau bilang tidak peduli jika Mami membencimu. Tapi bagaimana dengan kesehatan Mami? Kau masih ingin berbakti padanya, kan? Kalau begitu, ayo buka pintu." Air mata mulai terbit di mata Ava. Ia benci pada kebenaran yan
"Restu dariku?" Alis Nyonya Connor terangkat tinggi. Selang satu kedipan, ia mendesah pasrah. "Halusinasimu sudah parah sekali, Ava." Eva memasang tampang memelas. "Itulah yang kumaksud, Mami. Mami harus menegaskan Ava. Dia bisa semakin menjadi-jadi kalau tidak diberi peringatan keras." Nyonya Connor mengangguk samar. Tatapannya kemudian beralih kepada putri kandungnya. "Kalau kau masih terus menyebut hubunganmu dengan pria itu, kau lebih baik enyah dari hadapanku. Jangan harap aku mau memberi restu. Nasihatku saja tidak kau indahkan." Air mata Ava menebal. Namun, pada saat yang bersamaan, darahnya meletup-letup, terdesak tekanan jantung yang tersulut amarah. "Bagaimana kalau aku bisa membuktikannya? Bagaimana kalau Tuan Harper menemui Ibu sekarang dan membenarkan semua yang kukatakan?" Nada bicaranya naik. Suaranya nyaris pecah. "Lalu kau akan membayar sandiwaranya dengan pelayanan ekstra nanti malam?" hasut Eva. Ava terkesiap. "Menurutmu, orang terpandang seperti Tuan Harper ma
Udara dalam paru-paru Eva bergemuruh. Hatinya panas, terpanggang cemburu. Bagaimana mungkin Ava bisa mendapatkan pria sesempurna Jeremy Harper? Ia merasa dunia sungguh tidak adil. "Lagi?" Ia mengulang kata terakhir dari Jeremy. Alisnya terangkat sinis. "Apakah maksud Anda, selama ini saya selalu menyakiti Ava?" Belum sempat Jeremy menjawab, Eva mendengus kesal. Matanya melirik sang Ibu seolah meminta pertolongan. "Mami, bagaimana ini? Ava telah berhasil membalikkan kebenaran. Padahal, selama ini Mami tahu sendiri kalau dialah yang menyakitiku. Pantas saja Tuan Harper menaruh hati dan berpihak padanya. Dia membuat Tuan Harper merasa iba dengan menjadikan aku penjahatnya." Mendengar pengaduan tersebut, mata Jeremy terbuka lebih lebar. Ia salut pada kegigihan Eva dalam menjatuhkan Ava. Gadis itu ternyata berkali-kali lipat lebih buruk dari Barbara zaman dulu atau bahkan Isabela. "Tuan Harper," suara Nyonya Connor menarik perhatian semua orang, "tolong jangan membuatku menjadi orang t
"Ada apa, Papa?" "Apakah ada tugas baru untuk kami?" Si Kembar memasuki ruang CEO dengan penuh semangat. Namun, begitu mereka menoleh ke sofa tamu, mulut mereka ternganga lebar. "Ava?" Gadis pucat itu tersenyum kecil. "Halo, Kembar." Dua balita itu langsung menghampiri. Emily menggamit tangannya, sedangkan Louis berjalan mengitarinya. Bocah laki-laki itu sudah seperti pengamat yang berusaha menemukan keretakan pada sebuah patung. "Apakah kamu baik-baik saja, Ava? Aku dan Louis sangat mengkhawatirkanmu." Emily mendongak dengan alis berkerut. "Kurasa Ava tidak apa-apa, Emily. Dia terlihat sempurna." Louis meruncingkan telunjuk mungilnya hingga menusuk pinggang Ava. Ava menutupi tawa kecilnya dengan sebelah tangan. "Aku baik-baik saja. Terima kasih telah mencemaskan aku." "Sama-sama, Ava." Si Kembar memeluk Ava. Mata mereka terpejam selama pipi mereka memberi sang gadis kehangatan. "Jadi, kenapa Paman mengajak Ava kemari? Siapa yang menjaga Nenek Melanie dan Nyonya Connor?" Loui
Jeremy sesekali mengalihkan pandangannya dari jalan. Wajah gadis di sebelahnya tampak sangat menyejukkan. Ava memang diam seperti biasanya. Namun, bibirnya melengkung kecil, menjadi candu bagi Jeremy. "Bagaimana tur singkatmu tadi?" Ava melirik dengan senyum yang lebih lebar. "Sangat menyenangkan. Louis dan Emily begitu pandai bicara. Mereka menjelaskan semuanya dengan sangat rinci, tapi tetap menyenangkan. Dan orang-orang di Savior ...." Ava menarik napas lebih dalam. Alisnya terangkat lebih tinggi, sama seperti pundaknya. "Ternyata, para karyawan sangat ramah. Mereka menyambutku dengan antusias. Memang ada beberapa orang yang berbisik-bisik. Tapi kata si Kembar, itu karena mereka mengagumiku. Mereka salut karena seorang perawat sederhana sepertiku bisa menaklukkan hatimu." "Jadi sekarang, kau sudah tahu bahwa yang kukatakan itu benar?" "Ya, aku tidak seharusnya berburuk sangka. Tidak semua orang memperlakukanku seperti Eva dan Ibu. Aku seharusnya lebih menghargai diriku sendiri
Jeremy tidak pernah tahu bahwa menunggu bisa jadi semenyenangkan ini. Meski tangannya memegang tablet, matanya terus tertarik pada Ava. Ia penasaran bagaimana penampilan akhir sang gadis setelah selesai dipoles—gadis yang dulu disebutnya kaku dan tidak menarik itu. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari Kara. "Paman, apakah Ava sudah selesai di-make over?" Membaca itu, Jeremy mendengus kecil. "Ini ulah Louis atau Emily? Atau keduanya?" Namun, jemarinya mengetik balasan. "Belum. Ada apa, Emily?" "Ini Louis, Paman. Kenapa Paman menduga aku Emily? Emily mana berani membajak ponsel Mama?" Jeremy menggeleng kecil. Hatinya tergelitik. Entah bagaimana, suara Louis terngiang dalam telinganya, seperti mengomel. "Maaf. Kukira kau Emily karena menggunakan kata make over." "Memangnya Emily saja yang tahu kata itu? Aku juga, Paman. Aku ini juga cerdas." Belum sempat Jeremy memikirkan balasan, pesan baru masuk lagi. "Apakah Paman tegang?" Alis Jeremy meninggi. "Kenapa kau bertanya begitu, Lou
Alis Ava terangkat tinggi. Kedipan matanya menyiratkan rasa malu. "Kenapa kau menanyakan itu? Bukankah yang penting, sekarang kita sudah bersama?" Jeremy menggeleng kecil. "Aku sudah mengaku kapan aku mulai memperhatikanmu. Sekarang giliranmu. Kalau kau tidak mau, berarti jelas, kau yang lebih dulu memperhatikanku." Ava meloloskan tawa kecil. "Rasa percaya dirimu tidak berubah, hmm?" "Justru bertambah karena kau bersedia menerimaku. Jadi, kapan? Apakah saat pertama kita berpas-pasan di lorong itu?" "Pertama kalinya aku melihatmu?" Ava menghela napas cepat. "Tentu saja tidak." "Tapi kau diam-diam melirikku." "Itu karena aku mengira kau bodyguard mereka. Aku harus waspada padamu. Saat itu, kita bermusuhan, ingat?" Jeremy menyipitkan mata. "Lalu? Apakah saat aku membekukmu?" Ava menggeleng. "Saat itu, aku malah kesal setengah mati padamu. Bahkan sampai aku harus tinggal di rumahmu, aku masih menganggapmu menyebalkan." "Saat tahun baru itu?" Ava mengerutkan bibir. "Aku juga masih
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum