Hmmm .... Ada yang enggak suka sama bab ini?
Ava kesulitan membuka matanya. Ketika berhasil, dua wajah bulat berkedip-kedip mengamatinya. "Kurasa Ava sudah bangun. Aku melihat bola matanya mengintip tadi, dan ada kedipan kecil!" Emily menggambarkan gerakan itu dengan telunjuk dan ibu jari. "Tapi kelopak matanya belum terangkat, Emily. Oh? Kau benar. Dia berkedip lagi!" Louis menoleh ke belakang. "Paman, Ava sudah bangun!" Jeremy pun muncul dengan alis berkerut. "Ava? Kau bisa mendengarku?" Tangannya mengelus pundak sang gadis, lembut. Ava mengerang, "Apa yang terjadi?" "Kau dilarikan ke rumah sakit karena pingsan. Semua orang jadi panik, termasuk Paman Jeremy. Padahal, dia sedang menggantikan Philip untuk menjaga kami. Karena dia mau segera menemuimu, kami ikut. Untung saja sekolah memberi izin." Emily mengangguk-angguk mendukung omongan sang kakak. "Apakah kamu baik-baik saja, Ava?" Jemari mungilnya mengusap wajah pucat sang gadis. Ava menggeleng. "Eva ...." "Kamu tidak perlu khawatir. Dia baik-baik saja." Jeremy mengang
Sembari meringis, Ava mendongak. Mendapati wajah sangar seorang pria, rasa sakitnya langsung tertutupi oleh keterkejutan. "Jeremy?" Sambil menggertakkan geraham, pria itu membungkuk, membantu Ava berdiri. Setelah itu, tatapan lasernya menghunus si perempuan kasar. "Apa hakmu mendorong Ava seperti tadi? Dia sudah berbaik hati datang menemuimu. Kau malah mengusir? Kau ini adik yang tidak tahu berterima kasih, rupanya?" Rahang Eva berdenyut-denyut mendengar sindiran itu. "Aku bukan adiknya. Dia sendiri yang membuangku." "Setengah jam yang lalu, Ava masih berbaring di ranjang rumah sakit. Dokter bahkan belum mengizinkannya pergi. Tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia lebih mencemaskan kondisimu dibandingkan dirinya sendiri." Namun, Eva menggerak-gerakkan kepala seolah tak peduli. "Tolong jangan percaya sandiwaranya, Tuan Harper. Dia bukan gadis baik hati seperti yang kau pikir." "Begitukah?" Sambil menarik napas berat, Jeremy menoleh ke samping. "Kau seharusnya mendengarkan saranku. T
Alis Ava mendesak dahi. Ia tidak menyangka Jeremy bisa berbicara segamblang itu di depan sang ibu. "A-apa maksud Anda, Tuan? Eva bisa berkata seperti itu karena saya menumpang di rumah Anda. Dia berpikir kita akrab. Dia salah paham." Jeremy mendesah pasrah. "Aku tidak suka berpura-pura, Ava. Hubungan kita tidak perlu ditutupi lagi." Ava tercengang. Belum sempat otaknya menelurkan kata, Jeremy meraih pergelangan tangannya, mengajaknya berputar menghadap Vivian. "Bu, aku dan Ava berencana menikah." Mulut Ava terbuka semakin lebar. Bola matanya bergerak-gerak mengamati keseriusan Jeremy, keterkejutan Vivian, dan debar jantungnya sendiri. "J-Jeremy ...." Tawa Vivian lebih dulu meledak. Kebahagiaan terpancar terang dari wajahnya. "Apakah aku tidak salah dengar? Kalian berencana untuk menikah?" Sementara Ava mangap-mangap, Jeremy mengangguk tegas. "Ya, Bu. Aku sudah bertekad bulat untuk menjadikan Ava milikku." Ava mendesah tak percaya. Tangannya melambai-lambai. "Tunggu—" Akan te
Begitu melewati pintu masuk, wajah Ava berubah manyun. Napasnya berat, langkahnya melambat. "Bisa-bisanya dia mengatakan kami akan menikah? Memangnya kapan dia melamarku? Tidak—jangankan melamar, menyatakan cinta saja tidak pernah." Dengan bibir mengerucut, Ava menoleh ke belakang. Jeremy seperti sedang diceramahi oleh sang ibu. Dua balita di sana juga terlihat menggurui. "Tapi, apakah dia memang sebodoh itu?" Bicaranya kini terkesan iba. "Dia pasti mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Menikah denganku sama saja dengan menghancurkan reputasi dan masa depannya sendiri. Dia tidak terpikirkan oleh itu?" Kemudian, dengan kepala tertunduk, Ava lanjut berjalan. Gerakannya lesu dan lambat. "Dia seharusnya belajar dari kejadian di butik tadi. Dia harus mencari pasangan yang sebanding dengannya, bukan gadis yang membuatnya dipandang sebelah mata." Setelah mendesah panjang, Ava menegakkan kepala. "Kenyataan tidak seindah negeri dongeng. Pangeran dan rakyat jelata tidak akan bisa hid
Seperginya Ava, Nyonya Connor langsung membuang muka. Ia seperti tidak sudi menatap Jeremy. Akan tetapi, Jeremy malah berputar menghadapnya. Raut pria itu begitu tegas. Garis rahangnya tampak jelas dan tangannya mengepal keras. "Ava adalah putri kandung Anda sendiri, tapi mengapa Anda memperlakukannya seperti anak orang lain? Anda tidak kasihan kepadanya?" Bukannya merasa tersindir, Nyonya Connor malah mengangkat dagunya lebih tinggi. "Aku hanya bersikap objektif. Tidak peduli dia anakku atau bukan, kalau dia salah, tetap bersalah. Dia harus ditegur dan diberi pelajaran supaya sadar. Dia harus berhenti mempermalukan keluarganya." "Tapi, tuduhan Anda terhadap Ava tidaklah benar. Dia tidak bersalah." Nyonya Connor mendengus jijik. "Jangan membelanya. Itu malah membuatku semakin yakin bahwa kalian menjalin hubungan yang tidak sehat." "Saya tidak membelanya. Saya hanya mengatakan kebenaran." Tiba-tiba, telunjuk sang wanita terangkat ke depan wajah. "Jangan mentang-mentang kau sudah
Sebelum Ava membuat harapannya rata dengan tanah, Jeremy menyela dengan tegas, "Aku juga tidak suka bermimpi. Karena itu, aku meminta kesempatan darimu. Aku akan membuat kenyataan sesuai dengan keinginan—kenyataan di mana kau tidak perlu lagi menangis ataupun menahan kecewa." Ava bergeming menatap sepasang mata yang penuh kesungguhan itu. Hati dan logikanya bertempur hebat. "Ayolah, Ava. Tidak mudah bagiku untuk memohon seperti ini. Jangan katakan kalau usahaku masih kurang. Perlukah aku berlutut di hadapanmu agar kau memberiku kesempatan?" "Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Apa strategimu untuk mengubah pemikiran ibuku? Memperbaiki hubunganku dengan Eva?" Kepala Jeremy nyaris terdorong ke belakang. Menyusun strategi bukanlah keahliannya. Itu bidang Frank. Selama ini, ia hanya meminta instruksi dan menjalankannya. "Kau masih bingung?" Jeremy berkedip, memaksa otaknya untuk menelurkan ide secara instan. "Aku akan mengumpulkan bukti untuk membantah tuduhan Eva terhadapmu." "Men
Ava sesekali terpejam. Akal sehatnya terancam hanyut. Sikap nakal Jeremy telah membuatnya terbuai. Namun, sebisa mungkin, ia berusaha untuk tetap waras. "Jeremy, hentikan," pintanya di sela desah napas yang membara. Tangannya mendorong pundak kekar di atasnya, berharap itu bisa menciptakan jarak. Namun ternyata, sentuhannya malah menambah bara. Jeremy perlahan merangkak turun, menjelajahi setiap jengkal dari tubuhnya. Udara di sekitar mereka bertambah panas. Ava pun semakin panik. "Tidak! Jangan di situ. Jeremy?" Ava mencoba bangkit. Namun, detik berikutnya, ia kembali berbaring. Sambil terpejam, ia menggigit bibir, menahan getaran yang berusaha melumpuhkan pikirannya. "Bagaimana, Ava? Kau sudah mengambil keputusan? Cara mana yang kau pilih?" bisik Jeremy dengan suara yang menggelitik. Ava menggeleng lemah. Perhatiannya terbagi oleh debar jantung dan darahnya yang berdesir. "Kita tidak akan pernah bisa bersama, Jeremy. Karena itu, berhentilah. Kita tidak boleh melakukan ini." "
Sambil berkedip lembut, Jeremy mulai merapikan pakaian Ava. "Sekarang kau adalah kekasihku. Itu artinya kau adalah pilihanku, gadis terbaik yang pernah kutemui. Jadi, kau tidak boleh merasa kecil atau rendah diri lagi. Kau harus tegar dan percaya diri." Perasaan hangat melingkupi hati Ava. Lagi-lagi, Jeremy membuat permintaan yang jauh dari kata egois. "Aku tidak pernah merasa kecil," ucap Ava samar. Ia tidak mau dipandang menyedihkan oleh sang kekasih. "Kau yakin?" Jeremy beralih merapikan rambut yang berantakan akibat ulahnya. "Lalu mengapa kau membiarkan Eva menindasmu? Aku tidak suka menyaksikan itu." Mulut Ava membuka, tetapi tidak melontarkan kata. Jeremy benar. Di depan Eva yang selalu mendapat pembelaan ibunya, ia memang merasa kecil. "Lain kali, kalau ada yang menindasmu, jangan segan untuk melawan. Kau tidak perlu takut dengan konsekuensinya. Ada aku di belakangmu. Kalau lawanmu sulit dikalahkan, aku akan maju." "Tapi Eva adikku. Menyakitinya sama saja dengan menyakiti
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum