Siapakah yang nelpon?
Melihat layar ponsel Frank, Kara ikut terbelalak. "Bukankah di sana sudah larut malam?" Louis berkedip-kedip sambil mengunyah makanannya. "Siapa yang menelepon, Mama?" tanyanya dengan mulut penuh. "Nenek Diana," sahut Frank sebelum mengangkat telepon. "Halo?" "Frank!" Frank spontan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Ada apa, Nek? Kenapa berteriak begitu?" "Mengapa kalian tidak mengabari apa pun kepadaku? Pantas saja aku tidak bisa tidur dua malam ini. Aku sedang belajar menggunakan internet tadi. Tiba-tiba, artikel tentang kalian bermunculan." "Tenang, Nek. Jangan panik dulu. Semuanya sudah terkendali. Anak-Anak baik-baik saja. Saat ini, mereka sedang makan dengan lahap." "Mana mereka?" Frank menghidupkan mode pengeras suara. "Anak-Anak, Nenek ingin bicara dengan kalian." Louis cepat-cepat menelan makanan di mulutnya. "Nenek!" Emily yang masih mengunyah hanya bisa melambaikan tangan. "Louis, bagaimana keadaanmu, Sayang? Kau baik-baik saja?" "Aku baik-baik saja, Nek. Nenek
"Ava, apakah adikmu sudah sampai di rumah?" Ava yang baru saja menyelimuti sang ibu pun bergeming. Selang satu tarikan napas, ia mengusahakan senyuman. "Kurasa Ibu mendengar semuanya tadi. Ibu pasti tahu kalau kami bertengkar lagi." "Meskipun begitu, tidak bisakah kamu tetap memperhatikannya? Dia adikmu. Tanyai dia apakah dia sudah sampai atau belum." Lengkung bibir Ava terasa getir. "Dia tidak mungkin mengangkat teleponku." "Kalau begitu, lewat chat saja. Katakan kalau ibu mengkhawatirkannya." Ava tak punya pilihan lain. Lagi-lagi, ia harus mengalah. Namun, mendapati nomor sang adik tidak aktif, kekesalannya berubah menjadi heran. Eva tidak pernah mematikan ponselnya dalam kondisi apa pun. "Bagaimana, Ava?" Usai perenungan singkat, Ava memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Dia sudah sampai di rumah. Dia tahu ibu bertanya. Jadi dia langsung menjawab dan mematikan teleponku." Nyonya Connor mengangguk samar. "Kalau begitu, aku bisa tidur sekarang." Melihat sang ibu terpejam tanp
"Apakah kau tidak belajar dari kesalahan?" desah Ava di sela deru napasnya yang tidak beraturan. "Aku ini lemah dan tidak punya keahlian. Misi dari Sophia saja gagal kuemban. Kenapa kau masih mau memberi tugas sebesar itu kepadaku?" "Karena aku tahu kau akan belajar dari kesalahan. Kau pasti ingat kecelakaan yang kau alami beberapa waktu lalu. Keluarga Moore tidak pernah main-main, Sayang. Dengan ancaman sebesar nyawa adikmu, apakah kau masih mau gagal?" Selang satu dengus tawa, Patricia berbisik, "Tidak. Kau tidak akan mau gagal." Air mata Ava mengalir di pipi. Akan tetapi, ia tidak menyekanya. Ia tidak punya tenaga lagi. Ia terlalu lelah mengemban dilema besar dalam hati. "Kalian mau apa kali ini? Menyuruhku menyuntik Melanie dengan obat yang salah lagi?" "Oh, tidak. Aku tidak tertarik dengan wanita itu. Dia terlalu kecil. Aku butuh mangsa yang lebih besar." "Siapa? Frank Harper? Kau tahu aku bukan lawan yang sebanding dengannya. Suamimu saja gagal mengalahkannya. Aku akan terk
Entah sudah berapa lama Ava bersembunyi, ia tidak berani melihat jam. Rasanya, ia ingin menghilang dari dunia, kabur dari pilihan berat yang tidak mau diambilnya. Sayangnya, ketika ia mulai tenang, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Mau tidak mau, Ava menyeka wajah dan memeriksa. "Nyonya Melanie?" "Apakah kau sudah melupakanku? Untung saja aku ini mandiri. Aku mengambil sarapan sendiri, minum obat sendiri, dan mendengarkan rekaman audio sendiri. Apa yang kau lakukan di sini? Kau sedang sakit?" Ava menyembunyikan wajahnya dalam bayang-bayang kepala. "Maaf, Nyonya. Saya memang kurang fit hari ini. Jadi, Anda sudah mengurus semuanya?" "Ya, aku bahkan menata rambutku sendiri pagi ini. Lihat! Bukankah ini cantik?" Melanie berputar dan menunjukkan kondenya. Ava ingin tersenyum tetapi gagal. "Cantik." Melanie tertawa kecil. "Pantas saja para pelayan tidak berhenti memandangku tadi. Omong-omong ... ini!" Melanie menyodorkan sebuah kotak kecil. "Aku mengambil paket dari Barbara tadi. T
"Kau yakin dirimu baik-baik saja?" bisik Jeremy lembut. Ava cepat-cepat memalingkan muka. "Aku baik-baik saja." "Tidak. Kau tidak baik-baik saja. Wajahmu sangat pucat. Kau tampak kelelahan. Kapan terakhir kau makan?" Ava meloloskan desah samar. Sedetik kemudian, matanya mengintip sinis. "Sudah kubilang aku baik-baik saja. Kenapa kau memaksaku mengaku kalau kondisiku tidak baik-baik saja?" Jeremy tertegun. Ia mengira dirinya salah lihat. Namun, setelah berkedip, pandangannya masih sama. Mata Ava memang merah dan basah. "Apakah sesuatu terjadi padamu? Ini ada hubungannya dengan Eva?" Kepala Ava sedikit terdorong mundur. Ketika tersadar, ia cepat-cepat menautkan alis. "Kenapa kau selalu menuduh adikku? Urusan kami tidak ada hubungannya denganmu. Berhentilah ikut campur." Ava menepis tangan Jeremy dengan gerak bahu. "Sekarang lepaskan aku dan jangan menggangguku lagi. Aku sudah sangat sibuk tanpa gangguan darimu." Jeremy terpaksa menurunkan tangannya dan membiarkan Ava berlalu. Nam
Ava menggeleng lemah. "Kau tidak pernah menyakitiku." "Akulah yang menyakitimu," batinnya kemudian, pedih. "Lalu kenapa? Apa yang membuatmu sedih? Katakan padaku." Suara Jeremy belum pernah selembut itu. Namun, pertahanan Ava tetap kokoh. Ia enggan membeberkan rencana jahatnya. Malu. "Tidak bisakah kau membenciku?" bisik Ava lirih, sebelum melanjutkan dalam hati. "Itu baru terasa benar bagiku." Jeremy mengerutkan alis. "Kenapa kau bertanya begitu?" "Karena aku bukan orang baik. Aku pernah menjerumuskan orang lain demi kepentinganku sendiri. Aku egois." "Kenapa kau membahas masalah Sophia lagi? Apakah seseorang menyinggung masalah itu? Dia menyebutmu tidak pantas dekat dengan aku dan keluargaku karena hal itu?" Tangan Ava terkepal. Ia tidak berani membuka mulut. "Kalau itu yang membuatmu sedih, jangan. Abaikan saja perkataannya. Dia mungkin iri terhadapmu." Jeremy salah paham, tetapi Ava memandangnya sebagai kesempatan. "Bagaimana kalau yang dia ucapkan ternyata benar? Aku me
Gerakan Jeremy begitu lembut. Ia sama sekali tidak terkesan menuntut. Ia seperti mengerti kalau Ava terlalu terkejut untuk bisa menyambut. "Bagaimana?" desah Jeremy ketika ia mengembalikan jarak. "Apakah itu sudah cukup jelas bagimu?" Ava mengerjap. Bibirnya berkedut sebentar sebelum meloloskan bisikan. "Jelas apanya?" Suaranya terpelintir. "Ini." Jeremy menyentuh bibir Ava lagi. "Aku bukan pria yang mencium semua teman." Kemudian, ia mengulang kecupan di setiap penggal kata sambil memundurkan langkah Ava menuju ranjang. "Aku ... hanya ... mencium ... teman spesial." Ava terenyak ketika kakinya tidak bisa lagi bergerak ke belakang. Kedipan matanya bertambah canggung. Pipinya menghangat. "Jadi, kau bersedia membantuku?" "Ya. Apakah bukti yang kuberikan masih belum cukup untuk menghapus kekhawatiranmu?" Jeremy menaikkan sebelah alis. Tarikan napas Ava bertambah dalam. "Masalahnya ... permintaanku ini berat. Kau bisa saja berubah pikiran dan berbalik membenciku." Tiba-tiba, Jere
Ava kesulitan membuka matanya. Ketika berhasil, dua wajah bulat berkedip-kedip mengamatinya. "Kurasa Ava sudah bangun. Aku melihat bola matanya mengintip tadi, dan ada kedipan kecil!" Emily menggambarkan gerakan itu dengan telunjuk dan ibu jari. "Tapi kelopak matanya belum terangkat, Emily. Oh? Kau benar. Dia berkedip lagi!" Louis menoleh ke belakang. "Paman, Ava sudah bangun!" Jeremy pun muncul dengan alis berkerut. "Ava? Kau bisa mendengarku?" Tangannya mengelus pundak sang gadis, lembut. Ava mengerang, "Apa yang terjadi?" "Kau dilarikan ke rumah sakit karena pingsan. Semua orang jadi panik, termasuk Paman Jeremy. Padahal, dia sedang menggantikan Philip untuk menjaga kami. Karena dia mau segera menemuimu, kami ikut. Untung saja sekolah memberi izin." Emily mengangguk-angguk mendukung omongan sang kakak. "Apakah kamu baik-baik saja, Ava?" Jemari mungilnya mengusap wajah pucat sang gadis. Ava menggeleng. "Eva ...." "Kamu tidak perlu khawatir. Dia baik-baik saja." Jeremy mengang
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum