Berhasilkah si Kembar menjalankan misi mereka? Happy Sunday, guys .... Terima kasih sudah membaca.
Sambil bergandengan tangan, si Kembar terus berlari. Mereka tertawa-tawa karena berhasil mengelabui musuh. "Kau lihat wajah Turner tadi? Kalau dia adalah tokoh kartun, pasti sudah ada burung-burung terbang mengelilingi kepalanya," tutur Emily sambil terengah-engah. "Ya! Dia sangat kocak. Kurasa dia akan dimarahi habis-habisan oleh Tuan Moore setelah bangun nanti. Oh, Emily, lihat!" Louis menghentikan langkah dan menunjuk pintu besar yang terbuka lebar, beberapa meter di depan mereka. Mata Emily seketika berbinar. "Itu pintu menuju ruang makan, kan?" "Benar. Ayo ke sana, Emily!" Louis kembali menarik tangan sang adik. Akan tetapi, selang beberapa langkah, Emily menahan lengannya. "Tunggu, Louis! Lihat, ternyata ada penjaganya." Louis berkedip-kedip, berpikir. Tepat saat itu pula, dua orang yang tampak seperti pasangan muda muncul dari tangga. "Emily, aku punya ide." Louis berbisik lalu mengajak Emily menghampiri mereka. "Permisi, Tuan dan Nyonya. Bolehkah kami meminta bantuan An
Emily terkesiap saat menyadari kehadiran musuh. Tanpa berpikir panjang, ia membenamkan diri di jok. Ia tidak peduli jika wajah Louis sudah keluar dari frame. Yang penting adalah menjadi lebih waspada. "Mama, nanti kita sambung lagi. Aku dan Louis harus mengurus sesuatu." Belum sempat Kara menjawab, panggilan sudah diputus. Hal itu menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa dalam hatinya. "Apakah terjadi sesuatu? Mereka kelihatan takut sekali," desah Kara seraya mendekap ponselnya ke dada. Ava memegangi pundak Kara. "Saya rasa Anda tidak perlu khawatir, Nyonya. Louis dan Emily bisa bertahan sejauh ini dan tadi, mereka terlihat baik-baik saja. Mereka pasti bisa bertahan." Kara mendesah samar. Dalam hati, ia mengamini perkataan Ava. Sementara itu, di kapal pesiar, Victor mengutuk kelakuan balita yang berani menyentuh mobil kesayangannya. Tatapannya runcing, seakan tahu di mana posisi kepala Louis berada. Wajahnya memerah, menahan panasnya kepulan emosi dalam dada. "Kosongkan area!"
Napas Emily tersekat. Ketakutan seperti telah merampas udara dari paru-parunya. "Lalu? Apakah itu artinya ... peluru itu bisa menembus masuk?" Pita suaranya terjepit keras. Louis ikut mengerutkan alis. "Aku tidak tahu, Emily. Mari kita berdoa saja supaya mobil ini lebih kuat daripada itu." Tiba-tiba, pria yang memegang senapan mulai membidik. "Semuanya menyingkir!" Para penumpang kapal tidak berani lagi mengintip. Mereka berlari sejauh mungkin ke sisi lain dari kapal, berteriak dan memekik. Beberapa orang bahkan mulai menangis. "Louis? Apa yang harus kita lakukan?" Suara Emily semakin mendekati langit. "Eng, menghindar?" Louis memeriksa sekeliling. Ada cukup ruang untuk mobil berputar-putar. Pertanyaannya, apakah dia sanggup mengemudi lebih cepat? Victor pun bergerak mundur ke arah pintu. Ia tidak mau mengambil risiko jika ada peluru yang terpantul. Setibanya pada jarak aman, ia melepas perintah. "Tembak!" Tepat sebelum peluru berdesing, Louis menginjak pedal. Mobil pun berbelo
"Louis!" Frank spontan melepaskan tawanannya dan melompat menyelamatkan sang putra. Ia berhasil mengamankan Louis dalam dekapan. Namun, saat mereka berdua mendarat di lantai, balita itu mengerang. "Aaargh! Aaargh ...!" Mata Louis terpejam erat. Tangannya menyilang di depan dada. Melihat wajahnya mengernyit seolah menahan sakit, jantung Frank berdegup tak karuan. "Louis?" "Apakah Louis terluka?" Suara Emily menyentak akal sehat Frank. Ia mengerjap, lalu bergegas membaringkan sang putra di lantai. "Louis, bagian mana yang sakit?" Louis tidak menjawab. Ia terus mengerang dan mendekap tubuhnya sendiri. Frank pun memeriksa sang putra. Tidak menemukan jejak darah, kerut alis Frank berubah makna. Gadis mungil yang menautkan tangan di sampingnya juga menunjukkan ekspresi yang sama. "Apa yang salah dengan Louis, Papa?" Frank mengamati sekeliling mereka dengan cermat. Menemukan peluru kecil yang menancap pada lantai kayu di dekat mereka, ia mendesah lega, setengah tertawa. "Kamu tidak
Sementara pihak kepolisian memberi penjelasan kepada Patricia, Frank menghampiri. Tak ingin jauh dari ayah mereka, si Kembar pun mengintil. "Tidak, kalian tidak boleh membawa suamiku! Dia tidak bersalah. Apa buktinya kalau dia penjahat? Kalian jangan terhasut oleh fitnah orang." Patricia berusaha menarik lengan Victor. Namun, gerakannya dihalang oleh petugas. "Maaf, Nyonya. Surat penangkapan sudah jelas. Kalau Anda tidak sepakat dengan tuduhan, tolong ikuti prosedur hukum. Carilah pengacara terbaik untuk datang ke pengadilan nanti." "Tidak. Tidak!" Patricia meronta-ronta. Victor menghela napas menyaksikannya. "Sayang, tolong jangan mempersulit pihak kepolisian. Biarkan saja mereka membawaku. Tidak lama lagi, mereka pasti akan membebaskanku karena aku tidak terbukti bersalah. Kau tunggu saja. Mereka akan bertekuk lutut di hadapan kita." Akan tetapi, Patricia terus menggeleng. Seorang petugas wanita terpaksa menahannya. Ketika Victor menghilang dari pandangan, Patricia mengerang s
"Kenapa? Bukankah kami sudah mengabarkan kalau Philip juga selamat?" Louis mendekatkan mukanya ke kamera, menunjukkan keseriusannya. "Bibi tidak percaya. Dia menuduh kita berbohong agar dia bisa tenang," Kara mengedikkan pundak."Dia masih menangis?" Frank akhirnya ikut bicara. Kara mengangguk. "Padahal, air matanya sudah kering. Tapi dia masih tersedu-sedu." Bibir Emily mengerucut. "Kenapa Bibi cengeng sekali? Apakah dia tidak malu kepadaku? Aku saja tidak menangis." "Kamu tidak boleh sombong, Emily. Kasusmu dan Bibi itu berbeda. Mama, di mana Bibi sekarang? Aku mau bicara dengannya." "Tunggu sebentar." Saat wajah sembap Barbara terlihat, si Kembar melambaikan tangan. "Halo, Bibi." Barbara memalingkan muka. "Sudah kubilang, aku tidak mau dihibur oleh siapa pun. Aku hanya mau Philip." "Bibi yakin tidak mau dihibur oleh kami? Padahal, kami punya sesuatu yang spesial untuk Bibi." Sedetik kemudian, Louis menyikut lengan Frank. "Papa, cepat ganti ke kamera belakang." Mendengar itu
Tawa Frank kembali mengudara. Sambil mundur selangkah, ia bergumam, "Kemarilah, Anak-Anak." Sejurus kemudian, ia menggendong si Kembar. Kara dengan senang hati membungkus mereka dengan lengannya. "Oh, Mama. Aku terjepit!" Emily terkikik. "Tapi aku suka dijepit begini." Ia menarik leher kedua orang tuanya lebih erat. Sementara itu, Louis merentangkan tangan ke atas. "Woohoo! Aku senang kita kembali bersatu! Kuharap kita tidak akan pernah terpisah lagi. Apalagi nanti, kalau Adik Kecil sudah lahir." Dari kejauhan, Ava menyaksikan keharmonisan itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya tanpa sadar mengepal di depan dada. Pundaknya sesekali naik lebih tinggi, mengimbangi harapan yang kembang-kempis dalam paru-parunya. "Kau memang suka memperhatikan orang, hmm?" Suara itu sontak membuyarkan lamunan Ava. Namun, mengetahui Jeremy telah berdiri di sampingnya, keterkejutannya berubah menjadi kecanggungan. "Sejak kapan kau di sini?" Ava mendatarkan ekspresi dan nada bicara. Jeremy mengedikka
"Saat itu, kami belum tahu kalau kamu ternyata berpacaran dengan Paman Jeremy. Sekarang karena kami sudah tahu, kami harus memanggilmu Bibi. Benar begitu, Louis?" Louis mengangguk mantap. "Ya! Sama seperti kami memanggil Philip Paman. Meskipun terkadang kami sering lupa, kami harus mulai berlatih sebelum dia dan Bibi Barbara menikah." Ava ternganga lebar. Frank dan Kara mengulum senyum memperhatikan gerak-geriknya. Apalagi, Jeremy mengusap tengkuk, salah tingkah. "Apa yang kalian bicarakan? Aku dan Ava tidak berpacaran." "Tapi Paman Jeremy memegang tangan Ava tadi. Kalian berdua seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Seperti Brandon dan pacarnya dulu!" Mendengar itu, pipi Ava memerah. Jeremy pun berdeham, membersihkan tenggorokannya. "Jangan mengada-ada, Kembar. Kami hanya berteman." "Tidak berteman juga tidak apa-apa. Maksudku bukan bermusuhan, tapi berpacaran. Ava orang yang baik, Paman," Louis mengangguk-angguk meyakinkan. Emily menirunya. "Dan dia juga cantik dan s
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum