Terima kasih sudah membaca ....
Si Kembar mengerjap. "Kritis?" Melihat raut bingung kedua balita itu, Victor akhirnya tersenyum. "Oke, mari berhenti buang-buang waktu." Ia memajukan badan hingga kedua sikunya mencapai ujung sandaran tangan yang terbuat dari kayu. "Kalau kalian bukan anak-anak biasa, kalian pasti mengerti apa tujuanku sebenarnya." Si Kembar saling lirik. "Ya, kau menangkap kami agar bisa mengancam Papa." Victor mengangguk. "Dan kalian tidak takut?" Louis menggeleng tanpa berpikir panjang. Lengkung bibir Victor seketika berubah menjadi seringai. "Bagus. Kalau begitu, mari kita buktikan." Pria itu mengeluarkan ponsel lalu menghubungi seseorang. Mode pengeras suara diaktifkan. "Halo, Frank Harper." Suara dengusan menyambut. "Di mana anak-anakku?" Mengenali suara itu, mata si Kembar membulat. Mulut mereka terbuka lebar. "Papa?" Tanpa terduga, dua balita itu turun dari kursi lalu menyandarkan diri pada lutut musuh mereka. Dagu mereka hampir menyentuh ponsel Victor. "Papa? Papa sedang di mana? Ken
Bibir Emily mulai gemetar. Sekuat apa pun ia menahannya, ia tetap gagal. "Yang ingin kamu lakukan itu adalah kejahatan, Tuan Moore. Apakah kamu tidak takut ditangkap polisi? Kalau kamu dipenjara, reputasimu bisa rusak selamanya." Louis pun sama. Kantong matanya agak memerah dan menebal. "Belum terlambat untuk kamu sadar sekarang, Tuan Moore. Berubahlah. Kembalikan kami kepada Papa. Lagi pula, tidak ada gunanya kamu membalas dendam." Victor tiba-tiba menjatuhkan kepalan tangan pada sandaran tangan yang terbuat dari papan. Si Kembar tersentak mendengar bunyinya. "Ini keputusan akhirku. Penuhi tawaran tadi atau kau kehilangan salah satu dari anakmu." Tanpa basa-basi lagi, Victor mengakhiri panggilan. Matanya kini meruncing ke arah si Kembar. "Dan kalian ... diskusikan siapa yang akan dikorbankan. Satu jam lagi, aku akan meminta hasilnya. Lalu satu jam kemudian, kalau ayah kalian belum juga menjalankan perintahku, bersiap-siaplah untuk berpisah." Si Kembar memperhatikan langkah Victo
Turner berdiri di depan pintu dengan tatapan kosong. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. Mengapa dulu ia memutuskan untuk mendedikasikan diri kepada keluarga Moore? "Kalau saja dulu aku melamar di perusahaan lain, hidupku tidak akan serumit ini." Turner mendesah pasrah. Pundaknya terkulai lemas. Namun, ketika telinganya menangkap suara roda troli, punggungnya kembali tegak. Matanya terbelalak melihat betapa banyak makanan tersusun di sana. "Apa ini?" "Permisi, Tuan. Kami datang mengantarkan pesanan untuk Supersuite 5." "Supersuite 5?" Turner menoleh ke belakang. Ia tidak salah ingat ataupun salah dengar. "Saya tidak memesan apa-apa." "Makanan ini dipesan atas nama Louis dan Emily." "Louis dan Emily?" Suara Turner menanjak. "Bagaimana bisa?" "Mereka menelepon kami, Tuan. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah tamu istimewa Tuan Moore. Awalnya kami sempat ragu. Tapi setelah memeriksa daftar, ternyata Tuan Moore memang sengaja mengosongkan Supersuite 5 untuk tamu spesial." Sa
"Tunggu dulu!" Louis mengerutkan alis. "Kau tidak boleh curang, Tuan Moore. Kau meminta kami untuk berdiskusi. Jadi, kamilah yang berhak menentukan siapa yang harus berkorban, bukan kamu ataupun Nyonya Moore." Sementara pasangan Moore menyimak, Louis menggamit tangan sang adik. "Jangan takut, Emily. Aku tidak akan membiarkan mereka melemparmu ke laut." Sedetik kemudian, Louis kembali menatap Victor. "Aku sudah memutuskan. Akulah yang harus berkorban lebih dulu." "Louis, kenapa kamu berkata begitu?" Emily mengguncang tangan sang kakak. "Tidak apa-apa, Emily. Aku jauh lebih kuat daripada kamu. Kemungkinan aku bertahan di laut lebih besar dibandingkan dirimu. Ingat, aku sudah bisa berenang." "Tapi, bagaimana kalau kamu tidak bisa bertahan? Aku tidak mau kamu mati, apalagi demi menyelamatkan aku. Kalau itu terjadi, aku pasti akan sangat menyesal dan merasa kesepian. Aku tidak akan bisa tidur setiap malam dan aku tidak bisa berhenti menangis sepanjang hari." Akan tetapi, Louis tetap p
Sambil bergandengan tangan, si Kembar terus berlari. Mereka tertawa-tawa karena berhasil mengelabui musuh. "Kau lihat wajah Turner tadi? Kalau dia adalah tokoh kartun, pasti sudah ada burung-burung terbang mengelilingi kepalanya," tutur Emily sambil terengah-engah. "Ya! Dia sangat kocak. Kurasa dia akan dimarahi habis-habisan oleh Tuan Moore setelah bangun nanti. Oh, Emily, lihat!" Louis menghentikan langkah dan menunjuk pintu besar yang terbuka lebar, beberapa meter di depan mereka. Mata Emily seketika berbinar. "Itu pintu menuju ruang makan, kan?" "Benar. Ayo ke sana, Emily!" Louis kembali menarik tangan sang adik. Akan tetapi, selang beberapa langkah, Emily menahan lengannya. "Tunggu, Louis! Lihat, ternyata ada penjaganya." Louis berkedip-kedip, berpikir. Tepat saat itu pula, dua orang yang tampak seperti pasangan muda muncul dari tangga. "Emily, aku punya ide." Louis berbisik lalu mengajak Emily menghampiri mereka. "Permisi, Tuan dan Nyonya. Bolehkah kami meminta bantuan An
Emily terkesiap saat menyadari kehadiran musuh. Tanpa berpikir panjang, ia membenamkan diri di jok. Ia tidak peduli jika wajah Louis sudah keluar dari frame. Yang penting adalah menjadi lebih waspada. "Mama, nanti kita sambung lagi. Aku dan Louis harus mengurus sesuatu." Belum sempat Kara menjawab, panggilan sudah diputus. Hal itu menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa dalam hatinya. "Apakah terjadi sesuatu? Mereka kelihatan takut sekali," desah Kara seraya mendekap ponselnya ke dada. Ava memegangi pundak Kara. "Saya rasa Anda tidak perlu khawatir, Nyonya. Louis dan Emily bisa bertahan sejauh ini dan tadi, mereka terlihat baik-baik saja. Mereka pasti bisa bertahan." Kara mendesah samar. Dalam hati, ia mengamini perkataan Ava. Sementara itu, di kapal pesiar, Victor mengutuk kelakuan balita yang berani menyentuh mobil kesayangannya. Tatapannya runcing, seakan tahu di mana posisi kepala Louis berada. Wajahnya memerah, menahan panasnya kepulan emosi dalam dada. "Kosongkan area!"
Napas Emily tersekat. Ketakutan seperti telah merampas udara dari paru-parunya. "Lalu? Apakah itu artinya ... peluru itu bisa menembus masuk?" Pita suaranya terjepit keras. Louis ikut mengerutkan alis. "Aku tidak tahu, Emily. Mari kita berdoa saja supaya mobil ini lebih kuat daripada itu." Tiba-tiba, pria yang memegang senapan mulai membidik. "Semuanya menyingkir!" Para penumpang kapal tidak berani lagi mengintip. Mereka berlari sejauh mungkin ke sisi lain dari kapal, berteriak dan memekik. Beberapa orang bahkan mulai menangis. "Louis? Apa yang harus kita lakukan?" Suara Emily semakin mendekati langit. "Eng, menghindar?" Louis memeriksa sekeliling. Ada cukup ruang untuk mobil berputar-putar. Pertanyaannya, apakah dia sanggup mengemudi lebih cepat? Victor pun bergerak mundur ke arah pintu. Ia tidak mau mengambil risiko jika ada peluru yang terpantul. Setibanya pada jarak aman, ia melepas perintah. "Tembak!" Tepat sebelum peluru berdesing, Louis menginjak pedal. Mobil pun berbelo
"Louis!" Frank spontan melepaskan tawanannya dan melompat menyelamatkan sang putra. Ia berhasil mengamankan Louis dalam dekapan. Namun, saat mereka berdua mendarat di lantai, balita itu mengerang. "Aaargh! Aaargh ...!" Mata Louis terpejam erat. Tangannya menyilang di depan dada. Melihat wajahnya mengernyit seolah menahan sakit, jantung Frank berdegup tak karuan. "Louis?" "Apakah Louis terluka?" Suara Emily menyentak akal sehat Frank. Ia mengerjap, lalu bergegas membaringkan sang putra di lantai. "Louis, bagian mana yang sakit?" Louis tidak menjawab. Ia terus mengerang dan mendekap tubuhnya sendiri. Frank pun memeriksa sang putra. Tidak menemukan jejak darah, kerut alis Frank berubah makna. Gadis mungil yang menautkan tangan di sampingnya juga menunjukkan ekspresi yang sama. "Apa yang salah dengan Louis, Papa?" Frank mengamati sekeliling mereka dengan cermat. Menemukan peluru kecil yang menancap pada lantai kayu di dekat mereka, ia mendesah lega, setengah tertawa. "Kamu tidak