Seberapa suka kalian dengan bab ini? Dan menurut kalian, si Kembar bakalan dibawa ke mana? Yuk jawab di kolom komentar!
Begitu pintu mobil ditutup, Louis langsung memutar posisi duduknya menghadap Emily. "Kerja bagus, Emily. Kamu bisa mengendalikan emosimu dengan baik." "Begitukah? Padahal aku sangat takut tadi. Badanku terasa gemetar. Apakah tidak terlihat?" Louis menggeleng. "Tidak. Gertakanmu juga cukup bagus. Lain kali, bicaralah lebih lantang dan jangan mencebik." Emily memasukkan bibir. "Itu sulit. Sekarang saja, mataku terasa panas sekali. Apakah kita akan baik-baik saja, Louis?" "Ya, pasti. Orang-orang itu kelihatannya belum berpengalaman. Lihat saja bagaimana cara mereka mengikat kita. Ini sangat mudah dilepas. Mereka juga tidak menutup mulut kita. Aku yakin, kita akan baik-baik saja." Tepat ketika Louis selesai bicara, ledakan keras menggetarkan mobil dan menyentak tubuh mereka. Dengan mata terbelalak, kedua balita itu ternganga. "Bunyi apa itu, Louis? Apakah itu suara tembakan?" "Kurasa itu suara ledakan bom." Selang beberapa kedipan, Emily menautkan alis. "Apakah Sean dan keluarganya
Belum sempat Frank menjawab, tubuh Barbara melemas. Kalau saja Kara tidak sigap menariknya, ia pasti sudah jatuh ke lantai. "Barbara?" Kara melirik pengawal yang bersiaga, meminta pertolongan. Sementara itu, Frank menjepit pangkal hidungnya. "Ya, itu saja Wela. Bisa kau membantuku?" "Ya, tapi aku harus menunggu tim pemadam memadamkan apinya. Mereka baru saja tiba." Usai berterima kasih dan mengakhiri panggilan, Frank mengurut dahi. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia melihat sang adik yang berbaring lemah di atas sofa dan sang istri. "Masih ada kemungkinan untuk Philip selamat, kan?" ujar Kara lirih. Frank mengangguk. "Aku yakin dia pasti keluar sebelum ledakan itu terjadi. Ini sudah beberapa menit dari kecelakaan." "Oh, Frank," Kara meringkuk di pelukan sang suami. Saat itulah, Frank menyadari tubuh sang istri gemetar. "Keluarga Moore benar-benar sadis. Apakah Louis dan Emily akan baik-baik saja?" Kara tidak sanggup lagi membendung kekhawatiran. "Ya, mereka anak-anak pintar. Me
Victor mengamati si Kembar dengan teliti. Dari ujung sepatu hingga ujung kepala, dua balita itu terlihat biasa-biasa saja baginya. Hanya gaya bicara mereka saja yang membuatnya sedikit terpikat. "Apakah aku mengenalmu? Dari mana kau tahu kalau aku Victor Moore?" Louis tahu musuh sedang menilainya. Cepat-cepat, ia mengendalikan ekspresi lalu menggenggam pergelangan tangannya sendiri di belakang pinggang. "Pebisnis mana yang tidak mengenalmu? Di sektor teknologi, perusahaan ayahku rajanya. Tapi kalau sektor pelayaran dan hotel, perusahaanmu tidak ada tandingannya. Tidak heran kalau kalian memenangkan banyak penghargaan. Baru-baru ini, kau mendapat penghargaan lagi, kan?" Louis memilih jawaban diplomatis. Padahal, ia bisa saja mengatakan kalau mereka pernah bertemu di pernikahan Sophia.Sudut bibir Victor naik tipis. "Aneh sekali. Kudengar Rowan Harper sudah tiada. Tapi mengapa sekarang aku merasa seperti sedang berhadapan dengannya? Hanya saja, dalam wujud anak kecil." Louis meningg
Kara berjalan dengan tergesa-gesa. Napasnya pendek, bibirnya sesekali meloloskan desah. Ketika matanya menangkap Jeremy, ia langsung berlari dan mendekap pria itu. "Oh, Jeremy," Kara mengendurkan pelukan hingga tangannya menyentuh kedua lengan pria itu, "kau baik-baik saja?" "Frank bisa melayangkan tinju kalau dia tahu kau memelukku." Kara menghela napas. "Aku sedang serius. Kau tidak apa-apa, kan? Hasil pemeriksaanmu baik?" Jeremy mengangguk. "Aku baik-baik saja." "Bagaimana dengan Ava?" Jeremy menoleh ke samping. Ava sedang berbaring dengan mata terpejam. "Hanya cedera ringan. Dia masih shocked. Dokter memintanya untuk beristirahat sebelum pulang." Sekali lagi, Kara mendesah panjang. "Syukurlah. Setidaknya satu masalah berkurang." Sebelah tangannya terangkat memegangi kepala. "Omong-omong, di mana Frank?" Jeremy memeriksa sekeliling. Hanya para pengawal yang terlihat. Kepala Kara kembali tegak. Rautnya kini serius. "Dia langsung pergi setelah menurunkan aku dan Barbara di si
Si Kembar mengerjap. "Kritis?" Melihat raut bingung kedua balita itu, Victor akhirnya tersenyum. "Oke, mari berhenti buang-buang waktu." Ia memajukan badan hingga kedua sikunya mencapai ujung sandaran tangan yang terbuat dari kayu. "Kalau kalian bukan anak-anak biasa, kalian pasti mengerti apa tujuanku sebenarnya." Si Kembar saling lirik. "Ya, kau menangkap kami agar bisa mengancam Papa." Victor mengangguk. "Dan kalian tidak takut?" Louis menggeleng tanpa berpikir panjang. Lengkung bibir Victor seketika berubah menjadi seringai. "Bagus. Kalau begitu, mari kita buktikan." Pria itu mengeluarkan ponsel lalu menghubungi seseorang. Mode pengeras suara diaktifkan. "Halo, Frank Harper." Suara dengusan menyambut. "Di mana anak-anakku?" Mengenali suara itu, mata si Kembar membulat. Mulut mereka terbuka lebar. "Papa?" Tanpa terduga, dua balita itu turun dari kursi lalu menyandarkan diri pada lutut musuh mereka. Dagu mereka hampir menyentuh ponsel Victor. "Papa? Papa sedang di mana? Ken
Bibir Emily mulai gemetar. Sekuat apa pun ia menahannya, ia tetap gagal. "Yang ingin kamu lakukan itu adalah kejahatan, Tuan Moore. Apakah kamu tidak takut ditangkap polisi? Kalau kamu dipenjara, reputasimu bisa rusak selamanya." Louis pun sama. Kantong matanya agak memerah dan menebal. "Belum terlambat untuk kamu sadar sekarang, Tuan Moore. Berubahlah. Kembalikan kami kepada Papa. Lagi pula, tidak ada gunanya kamu membalas dendam." Victor tiba-tiba menjatuhkan kepalan tangan pada sandaran tangan yang terbuat dari papan. Si Kembar tersentak mendengar bunyinya. "Ini keputusan akhirku. Penuhi tawaran tadi atau kau kehilangan salah satu dari anakmu." Tanpa basa-basi lagi, Victor mengakhiri panggilan. Matanya kini meruncing ke arah si Kembar. "Dan kalian ... diskusikan siapa yang akan dikorbankan. Satu jam lagi, aku akan meminta hasilnya. Lalu satu jam kemudian, kalau ayah kalian belum juga menjalankan perintahku, bersiap-siaplah untuk berpisah." Si Kembar memperhatikan langkah Victo
Turner berdiri di depan pintu dengan tatapan kosong. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. Mengapa dulu ia memutuskan untuk mendedikasikan diri kepada keluarga Moore? "Kalau saja dulu aku melamar di perusahaan lain, hidupku tidak akan serumit ini." Turner mendesah pasrah. Pundaknya terkulai lemas. Namun, ketika telinganya menangkap suara roda troli, punggungnya kembali tegak. Matanya terbelalak melihat betapa banyak makanan tersusun di sana. "Apa ini?" "Permisi, Tuan. Kami datang mengantarkan pesanan untuk Supersuite 5." "Supersuite 5?" Turner menoleh ke belakang. Ia tidak salah ingat ataupun salah dengar. "Saya tidak memesan apa-apa." "Makanan ini dipesan atas nama Louis dan Emily." "Louis dan Emily?" Suara Turner menanjak. "Bagaimana bisa?" "Mereka menelepon kami, Tuan. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah tamu istimewa Tuan Moore. Awalnya kami sempat ragu. Tapi setelah memeriksa daftar, ternyata Tuan Moore memang sengaja mengosongkan Supersuite 5 untuk tamu spesial." Sa
"Tunggu dulu!" Louis mengerutkan alis. "Kau tidak boleh curang, Tuan Moore. Kau meminta kami untuk berdiskusi. Jadi, kamilah yang berhak menentukan siapa yang harus berkorban, bukan kamu ataupun Nyonya Moore." Sementara pasangan Moore menyimak, Louis menggamit tangan sang adik. "Jangan takut, Emily. Aku tidak akan membiarkan mereka melemparmu ke laut." Sedetik kemudian, Louis kembali menatap Victor. "Aku sudah memutuskan. Akulah yang harus berkorban lebih dulu." "Louis, kenapa kamu berkata begitu?" Emily mengguncang tangan sang kakak. "Tidak apa-apa, Emily. Aku jauh lebih kuat daripada kamu. Kemungkinan aku bertahan di laut lebih besar dibandingkan dirimu. Ingat, aku sudah bisa berenang." "Tapi, bagaimana kalau kamu tidak bisa bertahan? Aku tidak mau kamu mati, apalagi demi menyelamatkan aku. Kalau itu terjadi, aku pasti akan sangat menyesal dan merasa kesepian. Aku tidak akan bisa tidur setiap malam dan aku tidak bisa berhenti menangis sepanjang hari." Akan tetapi, Louis tetap p