Ada pesan-pesan untuk orang tuanya Sophia?
Meski ragu, Diana melangkah masuk. Frank dan Kara mengawasinya dari belakang, agak berjarak. Mereka sengaja memberi ruang untuk Diana mencerna keadaan. Bahwa semuanya boleh saja tampak sama, tetapi masanya sudah berbeda. Di ruang tamu, Jeremy sedang menyambut Susan. Ketika matanya menangkap kehadiran Diana, ia menepuk lengan Susan dua kali lalu menghampiri pintu masuk. "Selamat datang, Nenek," sapanya kaku. Diana mengangguk singkat. Matanya masih memperhatikan sekeliling. Selang keheningan sesaat, ia terpaku pada rak yang berjajar di dekat dinding. "Kau tidak menggantinya?" Ia berjalan pelan dan Jeremy mengikuti. "Ya, kayunya sangat kokoh. Terlalu sayang jika dibuang." Jeremy mencari jawaban aman. Dengan mata berkaca-kaca, Diana mengamati foto-foto yang terpajang di atas rak. Dulu, ia membeli rak itu memang untuk memajang kenangan. Foto dirinya bersama Rowan dan Norman tertata rapi di sana. Kini, ia bisa apa? Vivian dan Jeremy pemilik rumah itu sekarang. Mereka yang berhak memaja
"Tuan, Nyonya," Ava menyapa Frank dan Kara seolah-olah Jeremy tidak ada. "Ada apa, Ava?" Kara meninggikan alisnya. Ava berkedip tegang. "Nyonya Harris sudah selesai mandi. Dia sedang merias diri. Sebentar lagi, dia pasti keluar. Bisakah Anda memberi tahu Nyonya Bell untuk kembali ke kamar? Saya merasa tidak pantas kalau saya yang melakukannya." Melihat keseriusan Ava, Frank tersenyum geli. Ia merasa seperti berhadapan dengan Jeremy versi wanita. "Tidak apa-apa, Ava. Biarkan saja ibuku bertemu dengan Vivian Bell." Raut Ava berubah samar. "Maksud Anda?" "Kami baru saja memutuskan untuk tidak menyembunyikan Nyonya Bell lagi. Ibuku harus dilatih untuk menghadapi kenyataan. Itu tidak masalah, kan?" Lengkung alis Ava terdongkrak, mulutnya sedikit membuka. "Oh, kalau itu rencananya, tidak apa-apa. Saya justru lega karena saya tidak perlu lagi bertindak seperti mata-mata." Anggukan kepalanya juga persis seperti Jeremy. Hal itu membuat Frank menggigit bibir, membungkam tawa. "Ava!" Sua
Seketika, tubuh Melanie gemetar. Semua hal buruk yang pernah ia lakukan terlintas dalam benaknya. Nyalinya menciut, wajahnya mengerut. Frank dan yang lain khawatir melihat hal itu. Fokus mereka kemudian tertuju kepada Ava. Mereka mengharapkan petunjuk darinya kalau saja Melanie kembali menggila. Namun, belum sempat Ava memberikan jawaban, Melanie telah menjatuhkan lututnya. Kedua tangannya dirapatkan di depan dada. "Tolong maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti siapa pun, entah itu Norman ataupun Frank. Aku hanya berusaha untuk menyelamatkan hidupku." Frank tercengang. Ia tidak menduga bahwa sang ibu akhirnya bersedia melucuti kesombongannya. Tidak hanya di depan Vivian, tetapi juga semua orang. Sementara itu, Diana mendesak dahi dengan alis. Ia juga tidak menyangka bahwa Melanie bisa bertekuk lutut secepat itu. Dari yang ia dengar, bukankah wanita itu egois dan keras kepala?"Kumohon," Melanie mendongak menunjukkan genangan air matanya kepada Diana, "maafkan aku. Aku s
Tawa Emily terdengar begitu ringan, sama seperti langkah kakinya yang mengelilingi gazebo. Kembang api di kedua tangannya terus memercikkan bunga api. Semakin besar nyalanya, semakin merah rona di pipi Emily. "Mama, lihat! Aku seperti peri yang terbang meninggalkan serbuk ajaib!" Kara tersenyum melihat keceriaan sang putri. "Ya, Sayang. Kamu seperti Tinkerbell." Tawa Emily kembali melengking. Sambil mempercepat lajunya, ia menaik-turunkan tangan. Sementara itu, Louis sedang sibuk menggambar di udara dengan kembang apinya. Setiap selesai satu pola, ia berlari ke arah Barbara, memeriksa hasilnya. "Bagaimana, Bibi? Apakah sudah berhasil?" Dengan senyum semringah, Barbara memperlihatkan layar kameranya. "Berhasil!" Sebuah bintang tergambar dengan sempurna. Melihat itu, Louis mengangguk puas. Lengkung bibirnya yang mungil membuat pipinya terlihat lebih tembam. "Kerja bagus, Bibi." Sedetik kemudian, ia melambai-lambai ke arah si gadis mungil. "Emily, Bibi sudah berhasil. Ayo beraksi!
Susan tersentak mendengar derap langkah di belakangnya. Ketika menoleh, alisnya melengkung lebih tinggi. "Ada apa, Ava? Kenapa kamu berlari begitu?" "Nyonya Martin," Ava berhenti lalu memegang kedua lengan Susan, "saya melihat drone di atas pagar dekat gazebo. Seseorang sedang mengintai mereka." Susan mengerjap. Keseriusan Ava menular ke wajahnya. "Apakah mereka tidak sadar?" "Tidak. Karena itu, saya harus segera memberi tahu mereka." Tepat ketika Ava hendak lanjut berlari, Susan memegang tangannya. "Tunggu. Kalau kamu tergesa-gesa begitu, si pengintai bisa kabur." Ketegangan Ava memudar. "Lalu?" "Berpura-puralah tidak tahu. Hampiri mereka dengan santai, lalu beri tahu dengan tenang. Jangan menimbulkan kecurigaan." Ava menelan ludah lalu mengangguk. "Baiklah." Kemudian, Ava melakukan tugasnya sesuai arahan. Ia berjalan menuju gazebo dengan jantung berdebar. "Oh? Itu Ava. Ava sudah datang!" Emily beranjak dari posisinya lalu melompat-lompat. Tangannya melambai dengan penuh sem
"Halo semuanya! Maaf kami terlambat." Sang wanita melambai-lambai dengan senyum ceria. Melihat itu, si Kembar memekik bahagia. "Dokter Wela! Dokter Rony!" Mereka berlari turun dari gazebo, lalu mendekap wanita itu hangat. "Bukankah Dokter Wela dan Rony ada urusan mendesak?" Mata Louis tampak berbinar."Kami kira Dokter tidak jadi datang. Kami sempat sedih memikirkan hal itu." Emily mencebik."Tapi sekarang, aku dan Rony di sini, kan?" Wela mencubit pipi si Kembar. "Kami tidak tega membiarkan keponakan tersayang kami sedih. Jadi, begitu urusan selesai, kami langsung meluncur ke sini. Ini belum tahun baru, kan?" "Ya, sebentar lagi pergantian tahun. Ayo naik ke gazebo! Kita tidak boleh melewatkannya tanpa topi dan terompet." Dengan penuh semangat, Emily menarik tangan Wela. Louis pun berinisiatif menyeret tangan Rony. "Ini untuk Dokter Wela. Ini untuk Dokter Rony. Begitu hitungan mundur berakhir, kita meniup terompet bersama. Mengerti?" terang Emily seraya membagikan terompet dan to
"Terima kasih," ucap Ava lirih. Sambil menarik napas panjang, ia menggigit bibir dan tertunduk. "Aku sangat beruntung bisa mengenal kalian. Tanpa kalian, aku mungkin tidak bisa melewati tahun baru bersama ibuku." Susan mengelus-elus pundak Ava. Meski demikian, Kara yang buka suara. "Justru kami yang beruntung telah mengenalmu, Ava. Tanpa bantuanmu, pesta ini belum tentu terlaksana. Frank dan Barbara pasti masih tidak tenang memikirkan ibu mereka." Ava mengangkat pandangan dengan wajah penuh haru. Anggukannya membuat Louis mendapat ide. "Emily, bagaimana kalau kita mengunjungi ibunya Ava sebentar? Kita ucapkan selamat tahun baru dan doa-doa untuknya.""Ide bagus, Louis." Dengan senyum semringah, gadis mungil itu menatap Kara. "Mama, bolehkah kami mengunjungi ibunya Ava sebelum pergi tidur?" Kara mengelus pipi gembul sang putri. "Memangnya kalian belum mengantuk?" Si Kembar kompak menggeleng. "Kami tidur siang dua kali, Mama. Kami belum mengantuk." Emily membelalakkan mata agar ta
"Mama, Papa, bukankah kami sangat hebat? Kami berhasil mengadakan pesta yang meriah. Lalu kami berhasil membuat ibunya Ava bergerak." Suara Louis sudah sangat lemah. Kelopak matanya sesekali menutup. Namun, ia masih berusaha terjaga. "Ya," Kara mengusap kepala sang putra, "kalian sangat hebat. Mama dan Papa semakin bangga kepada kalian." Louis menaikkan sudut bibirnya sedikit. Pujian sang ibu memang tidak pernah gagal meringankan hatinya. "Kira-kira, kapan ibunya Ava akan terbangun, Mama? Ava terlihat sangat bahagia tadi. Dia pasti lebih bahagia kalau ibunya sudah sadar," sambung Emily dengan suara yang tak jelas. Yemon dalam dekapannya hampir terlepas. Ia juga sudah di gerbang mimpi indah. Dari sisi lain, Frank menelusuri anak rambut Emily dengan jari. "Dokter Wella bilang perkembangan Nyonya Connor sangat pesat. Papa yakin dia pasti cepat pulih." Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, Emily memaksakan senyuman. "Syukurlah. Aku harap dia bangun sebelum Bibi dan Philip menikah.
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum