Home / Thriller / Digoda Suami Gaib / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Digoda Suami Gaib: Chapter 91 - Chapter 100

149 Chapters

Bab 92: Keberhasilan Rayuan Prajurit

“Sssh...” aku mendesis kala jemari dan bibir Gantara—yang mana menggunakan tubuh Dokter Rizal itu menelusuri tengkuk leherku, kemudian ke samping leherku, dan akhirnya lidah lelaki kekar dan gagah ini bertamasya di sekitar daun telingaku. “Ah... geli, Gantaraaah...ah...” Bersama itu pula, tangannya mulai mendekap tubuhku. Jemarinya melata di sekitar bukit kembarku yang perlahan kurasakan membusung. Ukurannya jadi tambah besar secara magis. Dan putingku menyembul keras dari balik dasterku. “Kau begitu memesona, Tuan Putri...” “Jangan panggil aku begitu...” “Maafkan aku... izinkan...” katanya terpotong sendiri oleh resah dan gemuruh napas yang makin memburu. “Ya... Gantara... apakah kau menggunakan sihir hingga membuat tubuhku menggelinjang kegelian, kegerahan, dan begitu menggebu menginginkan tubuh lelaki...” “Apakah Tuan Putri yakin?” “Yaaah...sssh...” Tanpa sadar, aku menyonggengkan bokongku hingga membuat gestur lekukan tubuh yang memikat mata lelaki. Dan sungguh bukan lagi
Read more

Bab 93: Nada Sedih Gantara

Kami terus berpacu hingga tubuh kami basah oleh peluh. Gerah. Kami telah telanjang dan tak peduli dengan segala suara yang muncul dari balik pintu kamar. Kami tak peduli badai sedang mengamuk di luar. Tak peduli dengan hujan petir menyambar-sambar di luar sana. Yang kami pedulikan adalah, kami bisa memuaskan nafsu yang menggelegak, juga memuncak. Dokter Rizal pun tampak menyadari hal yang sama pula denganku. Lelaki itu terus mengguncang tubuhku, dan tanpa sadar pinggulku pun bergoyang mengikuti irama yang diciptakan oleh Dokter Rizal alias Gantara. “Ah! Ah! Ah!” “Kau suka?” “Yaaah! Aku suka! Aku suka barangmu, Dokter! Hhaaaah! Ahhh! Barangmu gede! Ah! Ah!” “Aku akan memacu lebih cepat... menungginglah, sayang...” Aku menuruti kemauannya. Kusodorkan bokongku yang kurasa semakin seksi. Aku kenal tubuhku. Selain bukit kembarku yang ukurannya biasa-biasa saja, bokongku pun kurasa tidak istimewa. Aku tidak begitu sering merawat tubuh dengan pergi ke pusat kebugaran. Tapi, hari ini, k
Read more

Bab 94: Mas Budi Datang

Hujan besar bercampur petir masih membentak-bentak di luar jendela. Kilat dan geluduk terakhir bahkan membuat jendela kamar yang kubiarkan terbuka—hingga gordennya bergelebaran itu—bergetar. Aku sempat melirik sesaat ke arah jendela; ke arah langit kelabu yang basah. Sebasah liang senggamaku yang terus merasa lapar dan haus akan hantaman batang perkasa Dokter Rizal atau Gantara. Posisi kami telah kembali dalam posisi klasik, di mana aku rebah di bawah tubuh kekar lelaki perkasa ini, dan kedua kakiku mengangkang menerima genjotan penuh gairah yang pula berhasil membuatku menggelinjang berkali-kali. Membuatku muncrat—orgasme dalam klimaks yang menenangkan. “Uuuh...” Orgasme itu kembali berbarengan dengan suara petir yang menyambar-sambar di luar sana. Di saat itulah aku kemudian menyadari. Sudah berapa lama aku bermain asmara dan melakukan hubungan berisiko ini? Batinku bergemuruh. Tapi, aku tak sudi mengakhirinya begitu saja. Aku ingin tubuh Dokter Rizal yang dikendalikan oleh Gant
Read more

Bab 95: Tatapan yang Semakin Tajam

Rizal segera tersadar dan ia tampak linglung apalagi mengingat kini ia sama sekali tidak mengenakan sehelai benang pun. Saat menatapku pun, lelaki itu seperti ingin terus berpaling karena ia merasa bingung sekali: tentu saja itu semua karena tubuhnya dikendalikan oleh Gantara, dan kini entah berada di mana jin itu. Yang pasti, kini Rizal buru-buru mengenakan pakaiannya yang berserakan di bawah ranjang, sementara Mas Budi begitu berangnya pada kami. “Aku bisa menjelaskan ini semua, Bud...” katanya sembari berusaha merebut tangan suamiku agar lelaki itu bisa tenang dan Rizal hendak menyampaikan kenyataan yang menurutku akan sulit dijelaskan, karena ia sama sekali tidak tahu apa-apa perihal kejadian mengejutkan ini. Ia dikendalikan. Pasif. Dan pastilah pada akhirnya hanya akan mencapai kesimpulan yang buntu. Hubungan mereka pun akan kaca setelah ini, aku sudah menduganya. Semuanya nampak jelas dari paras suamiku yang kini menatapku nanar. “Lepaskan tanganmu! Rizal! Aku tak menyangka!”
Read more

Bab 96: Mengajak ke Suatu Tempat

Budiman Malam itu, seusai seminggu aku dalam keterguncangan akan penglihatanku yang mungkin telah kuanggap salah, dan juga telah membuatku setengah gila, aku berkendara sendirian mengelilingi Yogyakarta yang masih ramai. Aku ingin mencobanya lagi. Pulang telat, dan ketika pulang melihat keadaan istriku. Apakah dia kembali berlaku di luar dugaanku? Mencoba mencari tahu, apakah istriku benar-benar melupakannya atau memang seperti katanya: penglihatanku-lah yang salah. Apakah aku sedang berdelusi melihat istriku digenjot oleh kawan lamaku? “Kau tidak sedang berdelusi saat itu,” ujar Kinanti yang kembali muncul secara tiba-tiba di jok belakang mobilku. “Cukuplah... jangan menceramahiku. Kau terlalu jauh ikut campur urusan rumah tanggaku.” “Dia benar-benar telah bercinta dengan lelaki lain. Dia secara terang-terangan mengkhianatimu, Budiman.” “Sudah, cukup. Aku sudah lelah mendengar kau terus mengomporiku. Seolah-olah kau ingin aku membenci Wirda. Dengan begitu, aku akan lepas kendal
Read more

Bab 97: Dokter Forensik

Bab 63 Wajah Kinanti di jok belakang mobilku tampak kusam dan menakutkan. Dia jauh lebih mengerikan daripada sebelumnya. Apakah dia sengaja menjunjukkannya karena kini aku berada di mobil bersama Sekar. Sosok yang bisa melihat Kinanti selain diriku. Bahkan, mungkin dialah perempuan yang pertama kali melihat sosok peri ini di sekitarku, sebelum aku bisa melihatnya. Aku sudah menduganya, karena pertemuan pertamaku dengan rekan kerja kantorku ini, dia terlihat agak memberi jarak dan seolah kumerasa Sekar kerap memberikan tatapan jijik padaku, seperti yang sekarang sering kuterima dari istriku. “Kita ke mana?” “Terus saja ke utara... kita akan menemui seseorang.” “Jangan dengarkan dia, Budiman. Sebaiknya kau pulang,” kata Kinanti di belakang mereka. Perempuan itu masih berusaha mencegah Sekar membawa Budiman ke tempat yang belum juga diberitahukan oleh Sekar meski mereka sudah hampir setengah jam berkendara di jalanan yang sebenarnya lengang saja. Akan tetapi, barangkali karena sihi
Read more

Bab 98: Dokter Cenayang

Lelaki itu tentu saja sudah sepuh. Rambutnya sudah sepenuhnya memutih. Kacamatanya tampak bulat tebal. Agaknya, kacamata tersebut sudah dipakainya sejak zaman revolusi, atau bahkan jauh sebelum itu. Kupikir, masa mudanya pastilah saat perang masih berkecamuk di segala tempat di negeri ini. Kini, lelaki itu sedang berdiri membelakangi kami. Ia tampak mencuci kedua tangannya seusai melakukan pekerjaan membersihkan buku-buku dalam lemari ruang kantornya. “Apa Kakek mendapatkan pekerjaan baru lagi?” tanya Sekar secara tiba-tiba. Sejak kami datang ke kantornya, ia memang lantas berbisik padaku dan berkata bahwa ia ingin mengejutkan kakeknya. “Sekar!” katanya seraya terkekeh-kekeh. “Kenapa tidak telepon dulu kalau mau datang?” “Nggak sempat Kek. Kebetulan aku lewat sini, jadinya aku mampir,” jelas perempuan itu sedikit berdusta. Ia bahkan mengerlingkan satu matanya padaku. Tak lama dari itu, Sekar lantas mengenalkan aku pada kakeknya—yang tampak berwibawa itu. Tak hanya fisiknya menuru
Read more

Bab 99: Rencana Liburan Untuk Istriku

Beberapa hari setelah aku bertemu dengan kakek Sekar, aku mulai rutin pergi mengunjunginya sekadar mengetahui apa saja yang mesti kulakukan demi memperbaiki hubungan rumah tanggaku. “Katakan padaku, apa kau pernah melakukan sesuatu sehingga jin peri itu terus mengikutimu?” kata dokter itu tampak serius. Hari itu kami bertiga pergi ke sebuah rumah makan lawas di kawasan Gunung Kidul. Lelaki paruh baya ini tampak santai sekali dalam melontarkan pertanyaan tersebut. Ia terlihat menikmati makanan yang dihidangkan para pelayan beberapa menit lalu. “I-Iya...” jawabku tampak gugup. “Kau pernah melakukan apa?” “Itu dulu sekali, Dok... tepatnya saat usiaku masih amat muda... kira-kira kejadiannya saat aku lulus SMA. Aku dan kawan-kawan pergi mendaki Gunung Lawu,” jelasku. Agaknya lelaki paruh baya ini lantas mengerti duduk perkaranya tanpa perlu aku melanjutkan ceritaku. Pasalnya, aku sudah sangat mengetahui bahwa ceritaku ini amatlah klise. Bahkan kini kulihat Dokter Barata tersenyum l
Read more

Bab 100: Keterasingan yang Menjerat

Seusai kami melakukan perjalanan panjang menuju villa di kawasan Puncak itu, akhirnya kami tiba. Setelah meletakkan semua barang-barang di kamar masing-masing, kami hanya bersih-bersih sebentar, lalu menonton film dan beristirahat. Aku dan Wirda mendapatkan sebuah kamar yang cukup besar di dekat dapur. Wirda sendirilah yang memilih tempat itu, aku sempat curiga istriku mendapatkan penglihatan gaib lagi, seperti misalnya ia melihat sosok mahluk mengerikan itu. Pada malam pertama di villa, Wirda terlihat normal-normal saja, meski kuakui sikapnya terus dingin kepadaku. Mungkin ia sudah terlalu dalam membenciku. Tapi, aku sendiri bingung, apa salahku hingga dia sebegitu dalamnya membenciku. Apa aku pernah membuatnya menderita—amat menderita? Aku selalu memenuhi keinginannya. Apa dia tidak sadar dengan pengkhianatannya padaku? Bersenggama dengan kawan lamaku?! Ini benar-benar tidak masuk akal. Sebegitu parahkan sihir genderuwo itu tertanam dalam diri istriku. Mungkin itu pula yang menjad
Read more

Bab 101: Wirda Kerasukan

Saat aku hendak mendekati Wirda, tiba-tiba saja angin berembus kencang. Ranting-ranting berdesis di sekitar kepalaku. Hawa dingin benar-benar menusuk kulit hingga ke tulang. Sementara itu aku masih melihat Wirda terus berjalan menuju pohon besar di samping kali Ciliwung yang terlihat agak menderas, dan volume air menaik karena hujan besar terjadi saat malam hari kami tiba di Puncak. Aku berharap Wirda tidak kembali terpengaruh dalam gangguan gaib lagi. Akan tetapi, saat aku berjalan semakin cepat ke arah Wirda yang terasa makin menjauh itu, bisikan Kinanti datang. Sungguh keparat jin perempuan ini. “Jangan kejar dia! Kau bisa terluka... kini ada sosok gandarawa yang sedang menghampiri istirmu,” bisiknya. “Tapi aku harus menyelamatkannya!” “Kau dengar kata-kataku, Budiman.” “Jangan biarkan aku berbicara denganmu di sini... aku tidak ingin terlihat tidak waras di hadapan kawan-kawanku!” pekikku. Aku tahu, Kinanti ada di belakangku, tapi tak kupedulikan kata-katanya, sebab yang ada
Read more
PREV
1
...
89101112
...
15
DMCA.com Protection Status