Lelaki itu tentu saja sudah sepuh. Rambutnya sudah sepenuhnya memutih. Kacamatanya tampak bulat tebal. Agaknya, kacamata tersebut sudah dipakainya sejak zaman revolusi, atau bahkan jauh sebelum itu. Kupikir, masa mudanya pastilah saat perang masih berkecamuk di segala tempat di negeri ini. Kini, lelaki itu sedang berdiri membelakangi kami. Ia tampak mencuci kedua tangannya seusai melakukan pekerjaan membersihkan buku-buku dalam lemari ruang kantornya. “Apa Kakek mendapatkan pekerjaan baru lagi?” tanya Sekar secara tiba-tiba. Sejak kami datang ke kantornya, ia memang lantas berbisik padaku dan berkata bahwa ia ingin mengejutkan kakeknya. “Sekar!” katanya seraya terkekeh-kekeh. “Kenapa tidak telepon dulu kalau mau datang?” “Nggak sempat Kek. Kebetulan aku lewat sini, jadinya aku mampir,” jelas perempuan itu sedikit berdusta. Ia bahkan mengerlingkan satu matanya padaku. Tak lama dari itu, Sekar lantas mengenalkan aku pada kakeknya—yang tampak berwibawa itu. Tak hanya fisiknya menuru
Beberapa hari setelah aku bertemu dengan kakek Sekar, aku mulai rutin pergi mengunjunginya sekadar mengetahui apa saja yang mesti kulakukan demi memperbaiki hubungan rumah tanggaku. “Katakan padaku, apa kau pernah melakukan sesuatu sehingga jin peri itu terus mengikutimu?” kata dokter itu tampak serius. Hari itu kami bertiga pergi ke sebuah rumah makan lawas di kawasan Gunung Kidul. Lelaki paruh baya ini tampak santai sekali dalam melontarkan pertanyaan tersebut. Ia terlihat menikmati makanan yang dihidangkan para pelayan beberapa menit lalu. “I-Iya...” jawabku tampak gugup. “Kau pernah melakukan apa?” “Itu dulu sekali, Dok... tepatnya saat usiaku masih amat muda... kira-kira kejadiannya saat aku lulus SMA. Aku dan kawan-kawan pergi mendaki Gunung Lawu,” jelasku. Agaknya lelaki paruh baya ini lantas mengerti duduk perkaranya tanpa perlu aku melanjutkan ceritaku. Pasalnya, aku sudah sangat mengetahui bahwa ceritaku ini amatlah klise. Bahkan kini kulihat Dokter Barata tersenyum l
Seusai kami melakukan perjalanan panjang menuju villa di kawasan Puncak itu, akhirnya kami tiba. Setelah meletakkan semua barang-barang di kamar masing-masing, kami hanya bersih-bersih sebentar, lalu menonton film dan beristirahat. Aku dan Wirda mendapatkan sebuah kamar yang cukup besar di dekat dapur. Wirda sendirilah yang memilih tempat itu, aku sempat curiga istriku mendapatkan penglihatan gaib lagi, seperti misalnya ia melihat sosok mahluk mengerikan itu. Pada malam pertama di villa, Wirda terlihat normal-normal saja, meski kuakui sikapnya terus dingin kepadaku. Mungkin ia sudah terlalu dalam membenciku. Tapi, aku sendiri bingung, apa salahku hingga dia sebegitu dalamnya membenciku. Apa aku pernah membuatnya menderita—amat menderita? Aku selalu memenuhi keinginannya. Apa dia tidak sadar dengan pengkhianatannya padaku? Bersenggama dengan kawan lamaku?! Ini benar-benar tidak masuk akal. Sebegitu parahkan sihir genderuwo itu tertanam dalam diri istriku. Mungkin itu pula yang menjad
Saat aku hendak mendekati Wirda, tiba-tiba saja angin berembus kencang. Ranting-ranting berdesis di sekitar kepalaku. Hawa dingin benar-benar menusuk kulit hingga ke tulang. Sementara itu aku masih melihat Wirda terus berjalan menuju pohon besar di samping kali Ciliwung yang terlihat agak menderas, dan volume air menaik karena hujan besar terjadi saat malam hari kami tiba di Puncak. Aku berharap Wirda tidak kembali terpengaruh dalam gangguan gaib lagi. Akan tetapi, saat aku berjalan semakin cepat ke arah Wirda yang terasa makin menjauh itu, bisikan Kinanti datang. Sungguh keparat jin perempuan ini. “Jangan kejar dia! Kau bisa terluka... kini ada sosok gandarawa yang sedang menghampiri istirmu,” bisiknya. “Tapi aku harus menyelamatkannya!” “Kau dengar kata-kataku, Budiman.” “Jangan biarkan aku berbicara denganmu di sini... aku tidak ingin terlihat tidak waras di hadapan kawan-kawanku!” pekikku. Aku tahu, Kinanti ada di belakangku, tapi tak kupedulikan kata-katanya, sebab yang ada
Bab 68 “Aku tidak apa-apa,” kata Wirda yang lantas pulih dari pingsannya sesaat. Tampak istri dari Lukas memapahnya untuk kembali ke mobil. Kami, para pria membiarkan perempuan-perempuan berjalan lebih dulu ke mobil, karena agaknya Jarwo dan Lukas pun menyadari suatu perbedaan pada sikapku. Ya, pasalnya setelah Wirda ditemukan tak sadarkan diri, kedua kawan lamaku itu tampak melihatku melamun. “Apa aku benar-benar sudah tak waras?” gumamku sembari dipapah pula oleh Lukas dan Jarwo. “Kau lihat apa, Bud?” “Aku merasa aku akan menggila,” kataku lemah. “Jangan bicara begitu,” ujar Lukas tampak menenangkan. “Kau sama sekali tidak gila atau menderita semacam penyakit mental. Kami percaya bahwa istrimu memang membutuhkan perawatan intensif... kau bilang, kau telah membawa istrimu ke dokter beberapa kali tapi apa ada hasilnya?” Aku menggeleng. “Dia tidak mau diajak ke rumah sakit pastinya,” ujar Jarwo menanggapi ujaran Lukas. “Kita benar-benar harus membawa istrimu ke suatu tempat, Bu
“Apa yang kamu gumamkan?” kataku memberanikan diri bertanya pada istriku sendiri. Yang membuatku bergidik adalah, istriku ini lantas menyunggingkan senyuman misterius, setelah sejak beberapa hari ini dia selalu murung dan menunjukkan paras yang kecut di hadapanku. Apa sebabnya? Aku pun tak tahu. Yang pasti, Wirda terus menyeringai, dan perlahan tangannya meraih daging sapi merah yang belum dibakar, lalu ia memakannya secara mentah di hadapanku. Hal itu ia lakukan secara cepat, dan kawan-kawan kami pun tidak melihatnya karena terlalu sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Saat Wirda melakukan hal itu di hadapanku, dengan jelas bisa kulihat darah segar masih tersisa di sudut bibirnya. Sebelum akhirnya jari terlunjuk Wirda lantas menyekanya, dan mengemutnya dengan tatapan erotis padaku. “Apa yang sebenarnya kau lakukan?” “Tidak ada.” Wirda masih tersenyum menyeringai. Yang kuragukan adalah, keanehan yang serasa disengaja ini menyiratkan bahwa mahluk yang semula mengendalikan Wirda,
Keringat dingin bercucuran dari sekujur tubuhku. Aku tengkurap sepert orang bodoh di lantai kamar, tepat di depan bibir pintu. Dan sama sekali aku tidak melihat Wirda sedang disetubuhi oleh mahluk genderuwo, apalagi datang sosok Dokter Rizal, yang wajahnya sudah habis kupukuli sejak mereka terpergok bercinta di kamar. Hal itu pula yang membuat hubungan kami semakin memburuk. “Wirda...” gumamku. Napasku terasa sesak. “Wirda...” Aku merangkak menunju ranjang. “Kupikir kau masih menonton.” “Hah?” “Kupikir kau masih menonton...” kataku. Kulihat Wirda mengernyitkan keningnya. “Apa maksudmu, Mas?” “Aku menunggumu di ruang tengah. Tadi, kau sedang menonton TV jelek itu, kan? Aku menunggumu di sofa sampai tertidur... dan aku...” kataku agak tergeragap. Aku pun masih berusaha mengatur napasku. “Dan aku bermimpi kau... ah... sudahlah...” “Kau mengigau? Atau penyakit tidur jalanku menular padamu?” Aku terkekeh mendengar istriku seolah sedang berseloroh. “Tidak... tentu tidak.” “Kau j
“Apa yang kau lakukan di sini?!” pekikku pada Kinanti yang tampak masih berada di sampingku. Bisa-bisanya perempuan ini menyamar menjadi istriku, lalu menunjukkan senyum liarnya—yang amat kutahu—bertujuan untuk menggodaku. “Kau tidak akan bisa menggodaku, Kinanti,” bisikku. Kinanti masih tetap menatapku dengan pandangan me “Kau tidak akan percaya bila aku bilang istrimu sudah tidak berada di sini lagi, kan?” “Kau bicara apa... jelas-jelas...” “Itu hanya raga saja. Tidak dengan jiwanya. Oleh karena itu, adalah sia-sia kau mencari cara untuk mengembalikan kepribadian istrimu seperti sedia kala. Tidak ada yang bisa kau lakukan kecuali kau memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan mahluk itu. Tapi, percayalah, kalian tidak akan mendapatkan apapun,” sergah Kinanti. Aku sedikit menggeram padanya, karena ia sama saja merendahkan dan melemahkan semangatku. “Sejak lama aku tahu bahwa kau kehadiranmu di sini hanya untuk melemahkanku. Kau tidak ingin aku bisa bahagia dengan Wirda. Alang
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K