“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
Yogyakarta, 1979BudimanAku mendengar istriku tertawa panjang dalam keadaan tidur malam itu. Ia lalu terbangun dan terduduk di ranjang. Bersama itu perlahan tawanya berubah pelan. Namun, tak lama keadaan jadi be rubah drastis. Istriku, Wirda terdengar menangis sembari tubuhnya menatap ke arah jendela kamar yang gordennya terbuka sedikit.Tentu saja, aku langsung bangun dan melihat Wirda masih duduk di pinggir ranjang, memunggungiku. Aku tak bisa melihat wajahnya kini seperti apa: apakah senang, takut, atau sedih, yang jelas ini bukan pertama kalinya ia terbangun tepat pukul satu malam, setelah sebelumnya tertawa tiba-tiba. Sekarang, Wirda beringsut dari ranjang dan berjalan perlahan ke arah jendela yang tertutup gorden. Kebetulan malam itu di luar gerimis dan angin cukup kencang, sehingga aku bisa mendengar ranting-ranting pohon mangga menggaruk-garuk genting. Gorden pun kini tampak bergoyang-goyang.“Apa yang kamu lihat? Wirda... sayang.. Hey...” bisikku.Aku pun ikut beringsut dar
22 November 1979, adalah tepat tujuh bulan aku dan Wirda tinggal di rumah baru. Selama itu pula, aku bisa merasakan perubahan tabiat istriku. Awalnya, semuanya baik-baik saja, tetapi semakin lama, minggu demi minggu mulai terlihat-lah perubahan itu. Karena itu pula, hubungan kami selalu dibumbui dengan perdebatan-perdebatan kecil. Pertama soal dirinya yang sering bangun siang, meskipun malamnya ia sama sekali tidak bergadang. Bisa dibilang begitu, karena kami tidur paling telat pukul sepuluh, dan untungnya setelah kejadian ganjil pertama di rumah itu, Wirda tidak melakukan hal aneh lagi. Kedua, tentu saja dengan kemurungannya yang akhir-akhir ini selalu mencemaskanku. Wirda yang selalu terlihat ceria sebelumnya kini tampak murung, padahal saat di rumah lama pun, meski sakit ia masih bisa bercanda denganku. Perempuan itu setiap aku pulang kerja selalu menampilkan raut yang murung. Saat kutanya, apakah ada masalah di rumah, atau ada sesuatu yang mengganggu tubuhnya, Wirda tidak mau me
Malam itu, kami benar-benar pergi ke tempat makan yang pernah kami datangi sebelum menempati rumah baru itu. Letaknya ada di sekitar Malioboro, jalanan yang sebenarnya cukup ramai dengan angkringan serta pengamen atau lebih tepatnya seniman yang selalu menghibur setiap turis maupun pejalan kaki.Malam itu kami parkir di dekat Malioboro. Entah aku lupa jalan apa namanya, yang jarak kami dari jalan itu ke Malio (begitu kami biasa menyebutnya), hanya tinggal menyeberang suatu perempatan saja. Tak hanya mobil di jalan itu yang parkir di sisi-sisi jalan, beberapa motor miliki pedagang atau pengunjung entah dari mana, juga parkir di tempat yang ramai dengan toko-toko batik dan sepatu.“Kita tinggal jalan kaki saja ke sana,” kataku. Wirda masih semi murung. Padahal sebelumnya, dia sudah sedikit agak baikan. Sudah bisa senyum lebar padaku, karena tahu kami selalu menikmati setiap malam minggu kami, di saat dulu masih pacaran.“Kita di tempat tertutup saja,” kata Wirda.“Kenapa? Ke sini kalau
Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Wirda yang saat itu langsung melunglai dan jatuh ke pangkuanku. Beberapa orang yang ada di rumah makan sederhana itu sempat membantuku, namun selanjutnya aku mesti membopong sendirian istriku. Untung saja, di sekitaran situ sejak tadi—sebelum kami masuk ke restoran itu—banyak tukang becak yang mangkal. Aku langsung memanggil salah satu tukang becak, dan seorang lelaki yang kutaksir seusiaku lantas berlari kecil ke arahku.“Mas, tolong saya...”“Kenapa ini, Mas?” tanyanya sedikit berparas heran.Aku hanya bilang dia sedang sakit. Lagipula, aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Tukang becak itu kemudian mengantar kami ke parkiran mobil yang cukup jauh jaraknya. Dengan agak tergesa-gesa aku dan tukang becak itu memasukkan Wirda ke jok belakang mobil sedanku.Ketika aku hendak membawanya ke rumah sakit terdekat, tiba-tiba Wirda terbangun dan tentu saja aku kaget. Saat itu aku baru saja ingin menyalakan mesin mobil, dan perempuan itu l
Jantungku tentu saja berdegup kencang tatkala mendengar suara itu. Kenapa? Batinku. Kenapa Wirda harus mengeluarkan suara seperti itu. Bahkan ketika kami bercinta, Wirda sama sekali tidak bersuara. Diam seperti patung, membuat kemaluanku melunglai, dan perempuan itu terlihat tak puas denganku.Selama ini kupikir itu karena stres yang menumpuk di kepalaku. Atau juga dirinya. Entah karena pekerjaan, ataupun masalah di rumah yang rasanya selalu datang saja hal baru. Mulai masalah Wirda yang semakin tak kukenali lagi, hingga lingkungan kami yang seperti kota mati.“Aaaah!"Wirda terdengar mendesah tak keruan dalam tidurnya. Mendengarnya seperti itu membuat diriku merasa panas.Aku bisa mendengar suara istriku mendesah dan melenguh di balik dinding. Suaranya keras sekali, membuat jantungku terus berdegup kencang. Antara berhasrat dengan suara istriku sendiri, juga marah karena aku sempat berpikir kalau istriku memang memiliki sosok lain dalam hidupnya.“Aaakkh! Jangan! Tapi.."Wirda tak pe
Tak peduli Wirda terus mengelak ataupun menolakku saat aku memintanya pergi ke rumah sakit, aku tetap memaksannya. Biar betapapun jengkelnya ia, bahkan saat kami hendak berangkat pun ia terlihat cemberut dan sempat melempar kunci mobilku. Perubahan sikap ini yang tak kumengerti. Tadi malam, lebih tepatnya dini hari. Seusai kejadian itu, dia yang pada akhirnya menangis di pelukanku sampai matahari muncul di celah-celah gorden kamar kami, masih bersikap manis layaknya Wirda yang biasa kukenal. Tapi beberapa jam kemudian, sikapnya sudah kembali seperti beberapa akhir ini. Jutek padaku, dan selalu memberikan kata-kata pedas terhadap apapun yang terjadi. Malas. Bahkan, yang membuat kesabaranku hampir habis adalah, ia sama sekali tak ingin mandi seusai kejadian semalam, padahal aku akan membawanya ke rumah sakit. Sampai di perjalanan pun, Wirda masih bersikap dingin padaku. Semakin dekat mobilku menuju rumah sakit terdekat, ia seperti tak ingin menatapku. “Apa yang terjadi sebenarnya, sa
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K