Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Wirda yang saat itu langsung melunglai dan jatuh ke pangkuanku. Beberapa orang yang ada di rumah makan sederhana itu sempat membantuku, namun selanjutnya aku mesti membopong sendirian istriku. Untung saja, di sekitaran situ sejak tadi—sebelum kami masuk ke restoran itu—banyak tukang becak yang mangkal. Aku langsung memanggil salah satu tukang becak, dan seorang lelaki yang kutaksir seusiaku lantas berlari kecil ke arahku.
“Mas, tolong saya...”“Kenapa ini, Mas?” tanyanya sedikit berparas heran.Aku hanya bilang dia sedang sakit. Lagipula, aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Tukang becak itu kemudian mengantar kami ke parkiran mobil yang cukup jauh jaraknya. Dengan agak tergesa-gesa aku dan tukang becak itu memasukkan Wirda ke jok belakang mobil sedanku.Ketika aku hendak membawanya ke rumah sakit terdekat, tiba-tiba Wirda terbangun dan tentu saja aku kaget. Saat itu aku baru saja ingin menyalakan mesin mobil, dan perempuan itu lantas menjawil pundakku begitu saja, seraya menampilkan raut yang membuatku terkejut. Terang saja karena wajahnya yang masih pucat itu tertutup rambut panjangnya yang menjuntai ke depan.“Wirda! Wirda... kamu mengejutkanku.” “Jangan.”“Jangan apa?”“Jangan bawa aku ke rumah sakit. Bawa saja aku pulang.”“Kamu yakin?”Aku dengan refleks memegang keningnya untuk mengecek perubahan suhu yang mungkin terjadi pada tubuhnya. Akan tetapi, tubuhnya benar-benar dingin, dan tangan Wirda pun lantas menepis tanganku.“Pulang saja, Mas. Ayo,” katanya sembari merebahkan tubuhnya lagi di jok belakang.“Baiklah. Kamu yakin?”“Sudahlah, jangan membuat kepalaku tambah pusing. Aku hanya butuh istirahat di rumah.”Kami pun akhirnya melaju pulang. Sepanjang perjalanan, Wirda hanya terdiam. Kadang meringkuk, kadang duduk, dan setiap aku melirik ke spion mobil, entah mengapa aku merasa merinding tatkala melihat tatapannya yang kosong. Kupikir, ia tak sedang baik-baik saja dalam beberapa hari terakhir ini.Ya, ini bukan suatu keadaan yang wajar. Ia sudah terlalu berubah menjadi orang lain, sementara Wirda sama sekali tidak sadar akan hal tersebut. Bahkan ia melupakan kata-katanya saat sebelum kami pindah. Ia sendiri yang bilang akan terus mengingatkanku, bila aku mulai mengambil banyak lembur di bank tempatku bekerja.Namun, ia benar-benar melupakanku. Melupakan dirinya sendiri.Malam sudah cukup larut saat kami sampai rumah. Terakhir kulihat arlojiku sekitar pukul setengah dua belas. Sudah tengah malam. Wirda pun sudah tampak mengantuk, dan ketika mobil telah kuparkirkan di depan rumah, segera kubangunkan perempuan itu.
Dan betapa terkejutnya aku tatkala Wirda lantas sadar dan menatap wajahku dengan serius. Tapi, tak lama setelah itu Wirda segera keluar dari mobil dan berjalan lunglai ke kamarnya.Di saat itulah, aku melihat kembali pohon besar yang sempat mengusikku tatkala pertama kali kupindah ke rumah ini. Entah, apa yang terjadi saat itu pada istriku. Yang jelas, kini tak sengaja aku melihat kembali pohon besar itu seakan menantangku dengan desaunya yang membisik.Saat itu pula, aku sekejap merasa merinding. Rasanya bulu roma di sekitar tengkuk leherku berdiri semua. Di waktu yang sama, aku mendengar Wirda sudah menutup pintu kamarnya. BRAAAK! Keras sekali ia menutup pintu. Alhasil, aku lantas masuk cepat ke rumah. Mengunci rumah dan pergi ke kamar. Kupikir pintu kamar sudah ia kunci, sehingga aku harus tidur di kamar lain. Tapi, tidak. Pintunya tidak terkunci meski sebelumnya ia menutup pintu itu keras.Dengan cemas, aku kembali menutupnya. Membiarkan perempuan yang kini sedang tidur berposisi menyamping ke arah jendela kamar itu istirahat. Kupikir, mudah-mudahan dia bisa kembali sehat dan kuharap dia kembali seperti dulu.Kalau tidak berubah, aku takut ini memanglah bukan sesuatu yang wajar. Aku takut istriku mengalami suatu fase sebuah penyakit atau apapun. Ya, pikiranku sudah bercabang tatkala melihat kepribadiannya lambat hari semakin ke arah yang tak pernah bisa kubayangkan sebelumnya.Malam itu, kuputuskan untuk tidur di kamar lain. Aku sengaja meninggalkannya, kupikir dengan hadirnya aku di sana, itu hanya akan membuat dirinya tak tenang. Serba gelisah. Ya, kuakui, beberapa hari terakhir ini Wirda selalu merasa kehadiranku seperti ancaman baginya. Entah, aku merasa demikian. Setiap aku berada di sisinya, apalagi kalau aku menyentuhnya, ia lantas menunjukkan wajah yang masam.Jujur saja, itu sungguh membuatku terluka sebenarnya. Ketika kami mencoba untuk bercinta pun, kini Wirda selalu menampilkan wajah yang tak menyenangkan, seolah ia tak menikmatinya. Tak seperti hari-hari pertama kami di rumah baru itu.“Apa rumah ini penyebabnya,” gumamku, sembari meletakkan buku yang kubaca, setelah sebelumnya kuambil dari rak buku di ruang tengah. Awalnya kupikir dengan mengambil buku dan membacanya, rasa kantukku akan datang seiring rasa lelahku menyertai. Tapi, kantuk tidak juga datang. Sebentar, aku beringsut dari ranjangku, dan berdiri tepat di depan jendela. Kusibakkan sedikit jendela, sehingga mataku bisa langsung mengarah ke lahan kosong, yang hanya dihuni oleh pohon besar.Aku sempat bertanya kepada beberapa penduduk setempat perihal satu-satunya lahan kosong di kawasan perumahan baru ini, di saat semua lahan lain sebenarnya sudah penuh dibangun rumah. Ya, hanya lahan kosong di samping rumahku saja yang kosong. Seolah itu dibiarkan kosong.“Pernah suatu kali ada yang ingin menebangnya... katanya, sih pemilik pengelola perumnas ini... tapi, saat eskavator datang untuk menebang meratakan tanah di sekitar pohon, dan beberapa orang ingin menggergajinya dengan alat khusus... pohon itu tidak bisa ditebang,” kata seorang satpam, suatu hari aku pernah mengobrol dengannya, sebelum pulang ke rumah.“Apa karena akarnya terlalu kuat?”Satpam itu tersenyum.“Wah, Mas ini sangat berpikiran positif. Itu bagus, Mas.”Aku hanya terkekeh kecil.“Saya hanya tidak mengerti, Pak,” kataku.“Mas tahulah cerita-cerita seperti itu selalu ada. Mungkin, Mas ada benarnya, karena akarnya kuat menempel ke dasar tanah, atau bebatuan menghambat akar di dasar tanah itu, sehingga sulit ditebang. Terlebih pohon itu sudah sangat lama ada di sana, Mas. Bahkan saat saya masih kecil pun, seingat saya, pohon itu sudah ada....”“Sudah ada?!”“Ya. Daerah sini dulu memang angker, Mas. Jarang orang mau lewat di sini. Kalaupun ada, itu petani-petani yang punya kebun di sekitar sini... Orang-orang sini, sih percaya kalau pohon itu ada penunggunya. Entah apa... jin, demit, atau sebangsanya.”Saat itu aku tak terlalu percaya dengan perkataan satpam bersama Amran itu. Kuanggap itu sebagai legenda desa setempat. Akan tetapi, setelah cukup lama kami tinggal di rumah samping lahan kosong itu. Aku mulai merasa perubahan yang terjadi pada diri Wirda sangatlah tidak wajar. Belum lagi suasana rumah yang terasa singup dan sesak. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi di sini.Di saat itulah, aku mendengar suara Wirda lagi. Suaranya mendesah-desah, seperti orang sedang menikmati persenggamaan.Jantungku tentu saja berdegup kencang tatkala mendengar suara itu. Kenapa? Batinku. Kenapa Wirda harus mengeluarkan suara seperti itu. Bahkan ketika kami bercinta, Wirda sama sekali tidak bersuara. Diam seperti patung, membuat kemaluanku melunglai, dan perempuan itu terlihat tak puas denganku.Selama ini kupikir itu karena stres yang menumpuk di kepalaku. Atau juga dirinya. Entah karena pekerjaan, ataupun masalah di rumah yang rasanya selalu datang saja hal baru. Mulai masalah Wirda yang semakin tak kukenali lagi, hingga lingkungan kami yang seperti kota mati.“Aaaah!"Wirda terdengar mendesah tak keruan dalam tidurnya. Mendengarnya seperti itu membuat diriku merasa panas.Aku bisa mendengar suara istriku mendesah dan melenguh di balik dinding. Suaranya keras sekali, membuat jantungku terus berdegup kencang. Antara berhasrat dengan suara istriku sendiri, juga marah karena aku sempat berpikir kalau istriku memang memiliki sosok lain dalam hidupnya.“Aaakkh! Jangan! Tapi.."Wirda tak pe
Tak peduli Wirda terus mengelak ataupun menolakku saat aku memintanya pergi ke rumah sakit, aku tetap memaksannya. Biar betapapun jengkelnya ia, bahkan saat kami hendak berangkat pun ia terlihat cemberut dan sempat melempar kunci mobilku. Perubahan sikap ini yang tak kumengerti. Tadi malam, lebih tepatnya dini hari. Seusai kejadian itu, dia yang pada akhirnya menangis di pelukanku sampai matahari muncul di celah-celah gorden kamar kami, masih bersikap manis layaknya Wirda yang biasa kukenal. Tapi beberapa jam kemudian, sikapnya sudah kembali seperti beberapa akhir ini. Jutek padaku, dan selalu memberikan kata-kata pedas terhadap apapun yang terjadi. Malas. Bahkan, yang membuat kesabaranku hampir habis adalah, ia sama sekali tak ingin mandi seusai kejadian semalam, padahal aku akan membawanya ke rumah sakit. Sampai di perjalanan pun, Wirda masih bersikap dingin padaku. Semakin dekat mobilku menuju rumah sakit terdekat, ia seperti tak ingin menatapku. “Apa yang terjadi sebenarnya, sa
Biasanya, dia tidak akan selincah itu jika bertemu kawan-kawanku. Apalagi sampai bercengkerama dan bercanda akrab, meski sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Seperti Rizal. Kawanku yang sering kuminta bantuan ini sama sekali belum pernah bertemu dengan istriku. Baik Rizal maupun Wirda hanya mendengar ceritaku saja soal keduanya. “Ya, ya. Terima kasih sebelumnya karena sudah membantu kami untuk mendapatkan jadwal lebih pagi. Tapi, ngomong-ngomong, Dokter Rizal ini tidak mengambil spesialis?” kata istriku yang saat itu sedang naik tangga, bersamaku juga. Mereka berjalan di depanku. Mengobrol akrab sekali seolah mereka adalah kawan lama. Ya, dari membahas masalah kespesialisan yang ingin dituju oleh Rizal, sampai membahas masalah sepele seperti makanan kesukaan juga tempat makan favorit. Bahkan tanpa melibatkanku, Wirda seolah seperti ingin diajak makan bersama oleh Rizal. Dan dia bicara tepat di depan suaminya. Tentu saja, Rizal lantas menoleh padaku sembari canggung. Entah, kenapa
Aku berlalu ke toilet sesaat setelah sempat perang dingin dengan Wirda. Ketika aku usai buang air kecil dan membasuh wajah, tiba-tiba secara mengejutkan seorang kakek yang sebelumnya menatap kami dengan penuh kecurigaan telah berada di belakangku. Tentu saja itu sangat mengejutkan. Bahkan kedua pundakku sampai meloncat karena sebelumnya sama sekali tidak ada siapapun di belakangku. Barangkali karena suara kran air yang memudarkan suara pintu bilik toilet. Mungkin pula sejak tadi kakek yang tak kutahu namanya ini sudah berada di salah satu bilik toilet rumah sakit tersebut. “Anak muda...” katanya bersuara berat dan sedikit parau. “I-Iya, Kek? Ada apa?” Aku merasakan sesuatu yang aneh dari tingkah laku kakek yang menurutku agak mencurigakan. “Dengarkan saya,” katanya lagi sembari mendekat. Nada suaranya begitu medok, karena barangkali ia memang asli orang Yogya. Tidak seperti kami yang berasal dari Jakarta, aku bekerja di Semarang pun sebelumnya karena dipindahkan dari Jakarta, kan
Tentu saja, cerita itu kuanggap sebagai bagian dari kepercayaan yang pernah dianut oleh keluargaku. Aku tak menganggapnya sebagai fakta, karena sampai sekarang pun aku tak pernah melihat penunggu rumah itu. Tak pernah merasakan sesuatu yang aneh, meski memang rumah itu nampak mengerikan kala malam hari. Selanjutnya, aku berusaha bersikap normal di depan Wirda. Saat giliran kami tiba untuk konsultasi. Aku langsung menjelaskan keadaan istriku dalam beberapa bulan terakhir ini. Kulihat Wirda membisu dan seperti tidak menyukai percakapan antara aku dan dokter spesialis penyakit dalam. Pada saat dokter itu, yang mana seorang lelaki paruh baya itu memeriksa istriku, usai menyuruh Wirda rebahan. Wirda menolak. Ia kasar sekali saat stetoskop dokter berusaha mendarat di tubuhnya. “Jangan sentuh aku! Anda berusaha memanfaatkan keadaan!” katanya mengejutkanku. Aku melihat raut dokter sampai heran. “M-Maafkan saya, Pak Dokter... istri saya memang dalam keadaan tidak stabil...” “Hmmm, ya, ya.
Minggu. Aku memutuskan untuk seharian di rumah, setelah biasanya aku mendapatkan tugas untuk mengecek beberapa tabungan nasabah di brankas, meski biasanya pun tidak sampai sore—sebagaimana aku bekerja pada hari normal. Di rumah aku lebih banyak menghabiskan diriku di sofa ruang keluarga. Membaca buku apapun atau surat kabar. Sementara istriku seperti biasa (dalam kebiasaan barunya), selalu bangun tidur menjelang zuhur. Sejak ia pulang dari rumah sakit, aku sudah tidur di kamar terpisah, sehingga aku tak bisa membangunkannya kala subuh atau pun pukul delapan—jam paling telat ia bangun seingatku—ketika kami masih tinggal di rumah lama kami di Semarang. Akan tetapi kini, semua benar-benar berubah. Bersama itu pula, kata-kata kakek yang aku dan Wirda temui di rumah sakit terus membayangi kepalaku. Bahkan bisa-bisanya sosok lelaki tua dan sudah bungkuk itu memasuki mimpiku dalam beberapa hari ini. “Pertanda apa ini?” batinku. Jantung berdebar-debar setiap bangun tidur dan baru saja mem
Aku jelas sekali melihat bahwa istriku melukai dirinya sendiri karena situasi ganjil ini, tapi dengan berbagai cara, ia tak ingin atau memang tidak pernah menyadarinya. Maka dari itu, ia tetap ngotot bahwa ia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku tak tahu apakah ia berbohong atau ia berbicara jujur, tapi jelas, Wirda sama sekali tidak menyadari sesuatu. Ya, seperti yang sudah kuduga, kini istriku seperti terbelah menjadi dua pribadi yang berbeda.“Enak saja. Aku tidak tahu. Sejak kemarin lebam-lebam itu muncul sendiri.” “Apa sakit?” “Sedikit. Tapi, bukan masalah besar.” “Sebaiknya kita kembali ke rumah sakit.” “Jangan berlebihan!” pekiknya sembari melontarkan pandangan sinisnya—seraya itu pula ia beringsut dari duduknya. “Ini bukan sesuatu yang mesti kau risaukan secara berlarut-larut! Aku sendiri heran, kenapa kau jadi over protektif seperti itu. Posesif....” “Jangan salah paham! Aku nggak posesif seperti yang kamu kira. Apa salah seorang suami menanyakan lebam di tubuh
“Kau benar-benar telah melakukan kesalahan, Bud,” kata kawanku Jarwo. Antara dirinya dan Lukas pun sama-sama memiliki pendapat yang sama perihal keadaanku saat ini. Kami bertiga kini berada di sebuah hotel bintang tiga di kawasan Jogja. Kebetulan kedua kawan kuliahku, yang sudah lebih dulu berada di kota itu bekerja di dekat situ, makannya mereka bisa mampir ke restoran, di mana hotel tempatku menginap. “Jadi, aku harus bagaimana?” tanyaku yang perlahan menampilkan wajah cemas di depan mereka. Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaanku saat ini. “Kalian tahu... aku sama sekali tidak percaya hal-hal klenik macam ini. Bahkan meski pernah kudengar kalau kakekku melakukan perewangan.” “Perewangan apa? Untuk pesugihan?” Jarwo terlihat antusias sekali sembari meminum secangkir kopinya. Ya, sejak kukenal dirinya di masa kuliah dulu, Jarwo memang memiliki ketertarikan soal dunia tak kasat mata ini. Misalnya, ia pernah mengajak kami untuk uji nyali ke sebuah hutan yang terletak di
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K