Beranda / Thriller / Digoda Suami Gaib / Bab 3:Keanehan dan Kecemasan

Share

Bab 3:Keanehan dan Kecemasan

Penulis: Ardianda K
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Malam itu, kami benar-benar pergi ke tempat makan yang pernah kami datangi sebelum menempati rumah baru itu. Letaknya ada di sekitar Malioboro, jalanan yang sebenarnya cukup ramai dengan angkringan serta pengamen atau lebih tepatnya seniman yang selalu menghibur setiap turis maupun pejalan kaki.

Malam itu kami parkir di dekat Malioboro. Entah aku lupa jalan apa namanya, yang jarak kami dari jalan itu ke Malio (begitu kami biasa menyebutnya), hanya tinggal menyeberang suatu perempatan saja. Tak hanya mobil di jalan itu yang parkir di sisi-sisi jalan, beberapa motor miliki pedagang atau pengunjung entah dari mana, juga parkir di tempat yang ramai dengan toko-toko batik dan sepatu.

“Kita tinggal jalan kaki saja ke sana,” kataku. Wirda masih semi murung. Padahal sebelumnya, dia sudah sedikit agak baikan. Sudah bisa senyum lebar padaku, karena tahu kami selalu menikmati setiap malam minggu kami, di saat dulu masih pacaran.

“Kita di tempat tertutup saja,” kata Wirda.

“Kenapa? Ke sini kalau nggak makan di angkringan nggak afdol.”

“Tapi, aku mau ke restoran saja.”

“Kenapa?”

“Pokoknya ke sana.”

“Iya, aku ingin tahu alasannya kenapa?”

“Kamu mau apa tidak? Kalau tidak lebih baik kita pulang lagi saja. Keruan makan di rumah. Beli di warung pinggir jalan.”

“Kalau begitu namanya bukan malam minggu.”

Selepas aku bicara begitu, Wirda langsung menggerutu, dan aku tak bisa mendengar apa yang digusarkan. Aku sendiri tak tahu apa yang telah membuat Wirda berubah pikiran. Padahal selama di perjalanan kami baik-baik saja. Sesekali mengomentari seorang pedagang kopi pinggir jalan, yang tampak menyeberang dan kami berseloroh soal itu.

Namun, sejak aku sudah parkir dan menurukannya di trotoar, Wirda memang tampak pucat dan seperti ketakutan karena melihat sesuatu.

Maka, tatkala kami sedang mencari restoran mana yang akan kami kunjungi di sekitaran Malioboro itu, aku iseng bertanya, meskipun aku tahu saat itu dia sebenarnya masih agak cemberut.

“Apa kamu takut sesuatu?”

Wirda langsung menatapku serius, lalu memalingkan pandangnya lagi, dan menatap jalanan yang ramai di malam hari. Yogya memang selalu hidup menjelang matahari tenggelam.

“Nggak.”

“Kamu yakin? Aku melihatmu agak pucat. Kamu sakit?”

“Nggak! Apa sih kamu, selalu mendesakku begitu. Sejak kemarin selalu menuduhku sakit dan semacamnya. Yang merasakan adalah aku, jadi kamu nggak usah sok tahu deh. Sudahlah, ayo serius mencari tempat makan.”

“Oke, oke. Kamu tahu, aku hanya mencemaskanmu, Wirda.”

“Terima kasih,” katanya ketus sembari berjalan mendahuluiku, dengan tetap menampilkan raut kecut.

Begitulah, pada akhirnya suasana malam minggu kami yang kuharapkan bisa mengobati kepengapan dalam suasana rumah yang entah mengapa terus menghinggapi kami selama berminggu-minggu: seolah bukan hanya manusianya saja yang menderita sakit, tetapi rumah pun demikian.

Maka, setelah berjalan dari sisi ke sisi sekitar lima belas menit, dan kami tanpa bicara sama sekali, akhirnya aku meminta Wirda untuk makan di sebuah restoran soto khas Yogya, yang cukup besar di sekitar situ. Meski pada kenyataannya, kami kini sudah tidak lagi berada di jalan Malio. Lokasi parkiran kami pun terbilang cukup jauh sekarang. Entah, berapa kilo kami menjauh dari Malioboro.

“Di sini saja, ya?” kataku.

“Ya sudah.”

Wirda pun tampak  mengangguk. Ia pun kini sudah lelah berjalan. Terlihat sekali, sejak tadi selalu mengeluh dan menggerutu tak jelas. Aku tak mengerti kepribadiannya bisa berubah seperti ini. Atau ini karena aku yang selama ini belum mengenalnya. Tentu aku bisa paham soal itu, sebab kami menikah belum terlalu lama. Baru tiga tahun. Masalah menemukan kebiasaan baru—atau lebih tepatnya yang selama ini tidak kami lihat—adalah hal wajar.

Akan tetapi, tidak sedrastis ini. Masalahnya, selama beberapa bulan terakhir, aku seperti berada di satu rumah dengan orang yang sama sekali tidak kukenal. Ya, aku sama sekali tidak bisa merasakan sosok Wirda yang selama ini selalu kukenal dan kucintai. Meski, sekarang pun, rasa cintaku belum hilang padanya. Tentu saja.

Malam itu, sekitar pukul setengah sepuluh, kami memakan soto, dan aku mulai melihat perangainya yang semakin lama semakin aneh. Pucat. Seperti curiga terhadap seseorang yang ada di sekitarnya.

“Kenapa?” tanyaku sembari menyuapi diriku sendiri dengan kuah soto yang agak asam, karena cairan jeruk nipis tersebut.

“Nggak.”

“Yang aku tahu...” kataku sembari berkata pelan-pelan, agar membuatnya tak tersinggung. “Kamu selalu mengatakan apapun padaku. Kamu tidak pernah menyembunyikan apapun padaku sebelumnya, bahkan meski itu hanyalah sakit kepala. Kau selalu bilang padaku.”

“Maksudmu?”

Wirda terlihat memain-mainkan mangkuk dan sendoknya. Kuah soto itu terlihat keruh dan semakin keruh setiap sendok yang dipegang Wirda mengaduknya seperti mengaduk telur untuk didadar.

“Ya, kamu selalu memberitahu soal masalah apapun yang kamu rasakan. Aku tahu itu. Mulai kita pacaran, bahkan sampai dua tahun pernikahan kita, kamu tidak berubah.”

“Setiap orang pasti berubah.”

“Tidak secepat ini, dan tanpa motif apapun. Apa aku melakukan kesalahan yang berat padamu?”

Wirda menggeleng. Suara adukan sendok di mangkuknya semakin menggangguku. Tapi, aku bisa tahan.

“Apa aku telah mengatakan sesuatu yang telah membuatmu tersinggung atau sakit hati? Setahuku, malah kamu yang jujur saja... “ aku berusaha menimbang soal perasaanku ini. Tapi, akan kukatakan pelan-pelan.

“Jujur saja... saat kamu bilang ingin menunda anak. Ini seperti menyentakku. Aku tidak tahu kalau kamu bisa berubah pikiran secepat itu.”

“Apa maksudmu berubah pikiran cepat? Bukankah kita selalu menunda?”

“Kapan kita pernah bilang kalau kita ingin menunda punya anak,” kataku berusaha menekan suaraku agar tidak terdengar orang lain. Terlebih dengan begitu, bisa membuat suara Wirda pun agak tertahan sedikit setelah tadi suaranya perlahan meninggi, membuat beberapa orang menoleh ke arah kami.

“Apa kamu lupa?” tanyaku lagi.

“Aku tidak lupa!”

“Kita tidak pernah bilang... atau lebih tepatnya, kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau ingin menunda punya anak! Kamu sendiri yang bilang sebelum pindah ke rumah baru itu, kalau kamu tidak ingin terus ditinggal-tinggal olehku, agar kita bisa merencenakan program kehamilan!”

“Tidak... tidak... seingatku aku tidak pernah berkata demikian.”

Aku tentu saja lantas mengembuskan napas sembari mendengus kecil. Aku yakin, tak mungkin salah karena ingatan soal itu masih segar sekali di pikirkanku. Kami pergi dengan mobil dari rumah lama di Semarang, dan selama perjalanan yang cukup panjang itu, kami selalu bercerita, salah satunya adalah tentang Wirda yang saat itu bermanja padaku, lalu berkata ingin aku tidak mengambil banyak lembur, agar setiap malam kami bisa merencanakan niat itu.

“Aku tidak pernah melupakannya... kamu bilang padaku kalau kamu ingin punya anak. Dan sekarang kamu mengelak. Apa kamu sedang menipuku selama ini? Tidak,” kataku sembari menggeleng. “Yang jelas kamu seperti orang lain...”

Detik itu juga, Wirda melototiku lalu beringsut dari duduknya. Namun, tak lama setelah itu, ia malah muntah tepat di hadapanku, dan orang-orang di sekitar kami menontonnya sembari menunjukkan raut simpatik, dan jijik.

Anehnya, bukan cairan makanan yang dimuntahkannya, melainkan cairan kental berwarna merah pekat bersama beberapa ulat. Atau belatung?

Bab terkait

  • Digoda Suami Gaib   Bab 4: Suara Yang Tak Ingin Didengar

    Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Wirda yang saat itu langsung melunglai dan jatuh ke pangkuanku. Beberapa orang yang ada di rumah makan sederhana itu sempat membantuku, namun selanjutnya aku mesti membopong sendirian istriku. Untung saja, di sekitaran situ sejak tadi—sebelum kami masuk ke restoran itu—banyak tukang becak yang mangkal. Aku langsung memanggil salah satu tukang becak, dan seorang lelaki yang kutaksir seusiaku lantas berlari kecil ke arahku.“Mas, tolong saya...”“Kenapa ini, Mas?” tanyanya sedikit berparas heran.Aku hanya bilang dia sedang sakit. Lagipula, aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Tukang becak itu kemudian mengantar kami ke parkiran mobil yang cukup jauh jaraknya. Dengan agak tergesa-gesa aku dan tukang becak itu memasukkan Wirda ke jok belakang mobil sedanku.Ketika aku hendak membawanya ke rumah sakit terdekat, tiba-tiba Wirda terbangun dan tentu saja aku kaget. Saat itu aku baru saja ingin menyalakan mesin mobil, dan perempuan itu l

  • Digoda Suami Gaib   Bab 5: Api Cemburu Suami

    Jantungku tentu saja berdegup kencang tatkala mendengar suara itu. Kenapa? Batinku. Kenapa Wirda harus mengeluarkan suara seperti itu. Bahkan ketika kami bercinta, Wirda sama sekali tidak bersuara. Diam seperti patung, membuat kemaluanku melunglai, dan perempuan itu terlihat tak puas denganku.Selama ini kupikir itu karena stres yang menumpuk di kepalaku. Atau juga dirinya. Entah karena pekerjaan, ataupun masalah di rumah yang rasanya selalu datang saja hal baru. Mulai masalah Wirda yang semakin tak kukenali lagi, hingga lingkungan kami yang seperti kota mati.“Aaaah!"Wirda terdengar mendesah tak keruan dalam tidurnya. Mendengarnya seperti itu membuat diriku merasa panas.Aku bisa mendengar suara istriku mendesah dan melenguh di balik dinding. Suaranya keras sekali, membuat jantungku terus berdegup kencang. Antara berhasrat dengan suara istriku sendiri, juga marah karena aku sempat berpikir kalau istriku memang memiliki sosok lain dalam hidupnya.“Aaakkh! Jangan! Tapi.."Wirda tak pe

  • Digoda Suami Gaib   Bab 6: Mencari Perhatian Pria Lain

    Tak peduli Wirda terus mengelak ataupun menolakku saat aku memintanya pergi ke rumah sakit, aku tetap memaksannya. Biar betapapun jengkelnya ia, bahkan saat kami hendak berangkat pun ia terlihat cemberut dan sempat melempar kunci mobilku. Perubahan sikap ini yang tak kumengerti. Tadi malam, lebih tepatnya dini hari. Seusai kejadian itu, dia yang pada akhirnya menangis di pelukanku sampai matahari muncul di celah-celah gorden kamar kami, masih bersikap manis layaknya Wirda yang biasa kukenal. Tapi beberapa jam kemudian, sikapnya sudah kembali seperti beberapa akhir ini. Jutek padaku, dan selalu memberikan kata-kata pedas terhadap apapun yang terjadi. Malas. Bahkan, yang membuat kesabaranku hampir habis adalah, ia sama sekali tak ingin mandi seusai kejadian semalam, padahal aku akan membawanya ke rumah sakit. Sampai di perjalanan pun, Wirda masih bersikap dingin padaku. Semakin dekat mobilku menuju rumah sakit terdekat, ia seperti tak ingin menatapku. “Apa yang terjadi sebenarnya, sa

  • Digoda Suami Gaib   Bab 7: Penglihatan Lelaki Tua

    Biasanya, dia tidak akan selincah itu jika bertemu kawan-kawanku. Apalagi sampai bercengkerama dan bercanda akrab, meski sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Seperti Rizal. Kawanku yang sering kuminta bantuan ini sama sekali belum pernah bertemu dengan istriku. Baik Rizal maupun Wirda hanya mendengar ceritaku saja soal keduanya. “Ya, ya. Terima kasih sebelumnya karena sudah membantu kami untuk mendapatkan jadwal lebih pagi. Tapi, ngomong-ngomong, Dokter Rizal ini tidak mengambil spesialis?” kata istriku yang saat itu sedang naik tangga, bersamaku juga. Mereka berjalan di depanku. Mengobrol akrab sekali seolah mereka adalah kawan lama. Ya, dari membahas masalah kespesialisan yang ingin dituju oleh Rizal, sampai membahas masalah sepele seperti makanan kesukaan juga tempat makan favorit. Bahkan tanpa melibatkanku, Wirda seolah seperti ingin diajak makan bersama oleh Rizal. Dan dia bicara tepat di depan suaminya. Tentu saja, Rizal lantas menoleh padaku sembari canggung. Entah, kenapa

  • Digoda Suami Gaib   Bab 8: Jin Penjaga Rumah

    Aku berlalu ke toilet sesaat setelah sempat perang dingin dengan Wirda. Ketika aku usai buang air kecil dan membasuh wajah, tiba-tiba secara mengejutkan seorang kakek yang sebelumnya menatap kami dengan penuh kecurigaan telah berada di belakangku. Tentu saja itu sangat mengejutkan. Bahkan kedua pundakku sampai meloncat karena sebelumnya sama sekali tidak ada siapapun di belakangku. Barangkali karena suara kran air yang memudarkan suara pintu bilik toilet. Mungkin pula sejak tadi kakek yang tak kutahu namanya ini sudah berada di salah satu bilik toilet rumah sakit tersebut. “Anak muda...” katanya bersuara berat dan sedikit parau. “I-Iya, Kek? Ada apa?” Aku merasakan sesuatu yang aneh dari tingkah laku kakek yang menurutku agak mencurigakan. “Dengarkan saya,” katanya lagi sembari mendekat. Nada suaranya begitu medok, karena barangkali ia memang asli orang Yogya. Tidak seperti kami yang berasal dari Jakarta, aku bekerja di Semarang pun sebelumnya karena dipindahkan dari Jakarta, kan

  • Digoda Suami Gaib   Bab 9: Hati-Hati Anak Muda

    Tentu saja, cerita itu kuanggap sebagai bagian dari kepercayaan yang pernah dianut oleh keluargaku. Aku tak menganggapnya sebagai fakta, karena sampai sekarang pun aku tak pernah melihat penunggu rumah itu. Tak pernah merasakan sesuatu yang aneh, meski memang rumah itu nampak mengerikan kala malam hari. Selanjutnya, aku berusaha bersikap normal di depan Wirda. Saat giliran kami tiba untuk konsultasi. Aku langsung menjelaskan keadaan istriku dalam beberapa bulan terakhir ini. Kulihat Wirda membisu dan seperti tidak menyukai percakapan antara aku dan dokter spesialis penyakit dalam. Pada saat dokter itu, yang mana seorang lelaki paruh baya itu memeriksa istriku, usai menyuruh Wirda rebahan. Wirda menolak. Ia kasar sekali saat stetoskop dokter berusaha mendarat di tubuhnya. “Jangan sentuh aku! Anda berusaha memanfaatkan keadaan!” katanya mengejutkanku. Aku melihat raut dokter sampai heran. “M-Maafkan saya, Pak Dokter... istri saya memang dalam keadaan tidak stabil...” “Hmmm, ya, ya.

  • Digoda Suami Gaib   Bab 10: Melukai Diri Sendiri

    Minggu. Aku memutuskan untuk seharian di rumah, setelah biasanya aku mendapatkan tugas untuk mengecek beberapa tabungan nasabah di brankas, meski biasanya pun tidak sampai sore—sebagaimana aku bekerja pada hari normal. Di rumah aku lebih banyak menghabiskan diriku di sofa ruang keluarga. Membaca buku apapun atau surat kabar. Sementara istriku seperti biasa (dalam kebiasaan barunya), selalu bangun tidur menjelang zuhur. Sejak ia pulang dari rumah sakit, aku sudah tidur di kamar terpisah, sehingga aku tak bisa membangunkannya kala subuh atau pun pukul delapan—jam paling telat ia bangun seingatku—ketika kami masih tinggal di rumah lama kami di Semarang. Akan tetapi kini, semua benar-benar berubah. Bersama itu pula, kata-kata kakek yang aku dan Wirda temui di rumah sakit terus membayangi kepalaku. Bahkan bisa-bisanya sosok lelaki tua dan sudah bungkuk itu memasuki mimpiku dalam beberapa hari ini. “Pertanda apa ini?” batinku. Jantung berdebar-debar setiap bangun tidur dan baru saja mem

  • Digoda Suami Gaib   Bab 11: Kesalahan Budiman

    Aku jelas sekali melihat bahwa istriku melukai dirinya sendiri karena situasi ganjil ini, tapi dengan berbagai cara, ia tak ingin atau memang tidak pernah menyadarinya. Maka dari itu, ia tetap ngotot bahwa ia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku tak tahu apakah ia berbohong atau ia berbicara jujur, tapi jelas, Wirda sama sekali tidak menyadari sesuatu. Ya, seperti yang sudah kuduga, kini istriku seperti terbelah menjadi dua pribadi yang berbeda.“Enak saja. Aku tidak tahu. Sejak kemarin lebam-lebam itu muncul sendiri.” “Apa sakit?” “Sedikit. Tapi, bukan masalah besar.” “Sebaiknya kita kembali ke rumah sakit.” “Jangan berlebihan!” pekiknya sembari melontarkan pandangan sinisnya—seraya itu pula ia beringsut dari duduknya. “Ini bukan sesuatu yang mesti kau risaukan secara berlarut-larut! Aku sendiri heran, kenapa kau jadi over protektif seperti itu. Posesif....” “Jangan salah paham! Aku nggak posesif seperti yang kamu kira. Apa salah seorang suami menanyakan lebam di tubuh

Bab terbaru

  • Digoda Suami Gaib   Bab 150: Akhir yang Nestapa

    “Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman

  • Digoda Suami Gaib   Bab 149: Kepastian Sekar

    “Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send

  • Digoda Suami Gaib   Bab 148: Kenapa Hanya Aku Yang Menderita

    Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap

  • Digoda Suami Gaib   Bab 147: Aku Sudah Tahu

    Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj

  • Digoda Suami Gaib   Bab 146: Seorang Peri Pertama Kali Menangis

    “Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara

  • Digoda Suami Gaib   Bab 145: Gantarra Juga!

    Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng

  • Digoda Suami Gaib   Bab 144: Tak Mengerti Cinta Lagi

    Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant

  • Digoda Suami Gaib   Bab 143: Nama Yang Ingin Dihapus

    Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil

  • Digoda Suami Gaib   Bab 142: Telepati Berahi

    “Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K

DMCA.com Protection Status