Home / Thriller / Digoda Suami Gaib / Bab 2: Perubahan Yang Nyata

Share

Bab 2: Perubahan Yang Nyata

Author: Ardianda K
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

22 November 1979, adalah tepat tujuh bulan aku dan Wirda tinggal di rumah baru. Selama itu pula, aku bisa merasakan perubahan tabiat istriku. Awalnya, semuanya baik-baik saja, tetapi semakin lama, minggu demi minggu mulai terlihat-lah perubahan itu.

Karena itu pula,  hubungan kami selalu dibumbui dengan perdebatan-perdebatan kecil. Pertama soal dirinya yang sering bangun siang, meskipun malamnya ia sama sekali tidak bergadang. Bisa dibilang begitu, karena kami tidur paling telat pukul sepuluh, dan untungnya setelah kejadian ganjil pertama di rumah itu, Wirda tidak melakukan hal aneh lagi. Kedua, tentu saja dengan kemurungannya yang akhir-akhir ini selalu mencemaskanku.

Wirda yang selalu terlihat ceria sebelumnya kini tampak murung, padahal saat di rumah lama pun, meski sakit ia masih bisa bercanda denganku. Perempuan itu setiap aku pulang kerja selalu menampilkan raut yang murung. Saat kutanya, apakah ada masalah di rumah, atau ada sesuatu yang mengganggu tubuhnya, Wirda tidak mau memberikan keluhannya.

“Bilang padaku kalau kamu ada sesuatu yang mencemaskanmu...” kataku di atas meja makan. Saat itu, pukul enam sore. Kebetulan aku tidak mengambil lembur dari pekerjaanku di sebuah bank swasta yang baru buka di kota kecil, di daerah Yogyakarta.

”Aku nggak apa-apa, Mas,” katanya bernada agak ketus, dan wajahnya masih memiliki nuansa murung. 

“Lalu, kenapa? Apa kamu sakit?” kataku mencoba perhatian sembari mengecek suhu tubuhnya. Namun, saat aku mencoba meletakkan tanganku ke keningnya, tatkala Wirda berjalan melewatiku menuju sofa ruang tamu, Wirda menepis tanganku sembari menunjukkan wajah masam, yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Bahkan selama di rumah lama kami, Wirda tak pernah bersikap seperti itu. “Kenapa kamu jutek begitu padaku?” 

“Sudah deh, Mas. Jangan berlebihan.”

“Aku nggak berlebihan, tapi mulai kemarin sampai hari berikutnya... sampai sekarang... kamu aneh! Pertama, kamu bangun siang sekali. Saat aku telepon kamu bilang baru bangun, padahal itu jam makan siang... kita jarang sarapan bersama... terus kamu...”

“Cukup. Aku sedang nggak enak badan. Itu saja!"

“Kalau begitu kamu tinggal bilang padaku, supaya kita bisa mengecek kesehatanmu! Siapa tahu...”

“Nggak!”

“Nggak apa?”

“Aku belum mau hamil.”

“Apa maksudmu?”

“Maaf. Bukan begitu maksudku... hanya saja...” nadanya melemah, dan suasana dalam ruangan itu terasa sesak.

Nafsu makanku berkurang. Padahal, meski hari itu, juga hari-hari sebelumnya Wirda selalu murung, ia memasaki telur ceplok dengan sambal balado kesukaanku, lengkap dengan sayur bening dan tempe goreng yang menjadi makanan kesuakaannya. Namun, Wirda sendiri terlihat lebih tidak nafsu makan, meski tidak kulihat wajahnya  pucat seperti orang sakit.

“Tapi... tetap saja, kita mesti memeriksakan keadaanmu.”

“Nggak perlu. Aku sehat. Hanya saja, aku kelelahan.”

“Apa aku perlu mengambil cuti supaya kita bisa berbagi pekerjaan?”

Wirda kemudian tersenyum kecut.

“Terima kasih, Mas. Tapi nggak usah. Ini pekerjaanku.”

“Atau, kamu ingin bekerja lagi? Seperti sebelum saat kita menikah? Aku sih nggak apa-apa, meski ibuku bilang kamu nggak perlu bekerja lagi.”

“Nggak. Aku masih menikmati jadi ibu rumah tangga, jadi istrimu.”

“Tapi, kamu harusnya bicara padaku. Biasanya kamu selalu cerita. Biasanya kamu selalu mengatakan apa saja yang kamu katakan meski itu sekadar sakit kepala atau, atau, gatal kecil saja, tapi...”

Wirda mulai berubah lagi ekspresinya. Ia tampak lebih kecut dan tidak suka ketika emosiku mulai meledak-ledak. Padahal yang kulakukan hanyalah karena aku cemas dengan perubahan emosinya akhir-akhir ini. Terus terang keadaannya itu berimbas juga padaku. Kerjaku di kantor jadi tidak fokus, karena sering kepikiran dirinya. Tapi, setelah beberapa bulan ini tak ada perubahan, setiap aku tanya dia selalu berwajah seperti itu.

Benar-benar wajah yang tak sedap di padang. Kadang ekspresinya yang memalingkan wajah dariku, seolah aku ini benda menjijikkan membuatku sedikit tersinggung. Seharusnya dia sadar, kalau itu adalah bentuk lain dari rasa perhatianku padanya.

“Cukup, Mas. Kenapa, akhir-akhir ini kamu jadi cerewet terus, sih? Aku ini nggak apa-apa...”

Kami kemudian terdiam. Ruangan benar-benar sunyi. Dan Wirda hanya mengisinya dengan melamun, menatapi guci kosong yang kudapatkan dari toko gerabah di Solo.

Tak lama, Wirda beringsut dari sofa ruang tamu, ia melewatiku begitu saja sebelum akhirnya pintu kamar kami terdengar menggebrak keras.

Akhirnya, aku yang membereskan semuanya. Seperti hari-hari sebelumnya. Mencuci piring. Bahkan di hari selanjutnya aku juga yang mencuci baju, karena setelah perdebatan di meja makan itu, Wirda terlihat malas melakukan sesuatu. Meski hanya ada dua saja yang tidak dia malas: membersihkan diri dan bersolek. Kuakui, ia tambah cantik meski di dalam rumah. Aku tidak bisa mejelaskannya. Wajahnya seperti ada binar misterius yang membuatku terpincut kembali, walau sejak beberapa hari ini hubungan ranjangku dengannya tidak berakhir mulus. 

Wirda yang biasanya selalu memelukku, atau kita selalu bercengkerama mesra setelah bercinta, beberapa bulan terakhir kita mulai tidak melakukannya lagi. Semua terasa pahit. Terasa hampa. Meski Wirda terlihat memaksakan dirinya untuk bisa menikmati persetubuhan kami, pada akhirnya, ia hanya menampilkan senyum kecil. Aku paham itu. Tapi, aku tidak berani mengatakannya. Lidahku kelu untuk memulai perdebatan lagi. 

Aku tahu, bila kulakukan, itu akan menjadi pertengkaran yang panjang. Kami akan mulai saling menyalahkan. Dan aku tak ingin kami lebih banyak diam karena beberapa masalah yang menghinggapi kami. Aku sadar, tak ada pernikahan yang sempurna. Perdebatan akan selalu terjadi karena kesalahpahaman, atau kekhilafan masing-masing. Bahkan saat kami masih tinggal di rumah lama pun kami masih sering seperti itu, meski tidak separah sekarang.

Dan malam itu, kami tidur saling memunggungi. Wirda lebih banyak mengarah ke jendela, seolah ia sedang melihat sesuatu di balik jendela. Setiap aku pergi ke kamar mandi pun, kadang aku masih sering melihatnya melihat ke arah gorden. Walau kemudian ia memejamkan matanya tatkala aku memergokiknya.

Sabtu berikutnya, 29 November 1979. Untuk memulihkan, sekaligus mencairkan suasana di dalam rumah, aku mengajaknya makan di luar, setelah dalam beberapa bulan terakhir terasa sumpek. Serba gusar, dan kami tahu, kami menahan gejolak emosi, karena kami ragu bila mengeluarkannya itu hanya akan berakibat masalah baru, yang pastinya akan membutuhkan adaptasi baru dalam penyelesaiannya.

Awalnya saat kuutarakan niatku, dia agak kaget. Karena sejak aku dipindahkan ke bank cabang Bantul, Yogya ini, aku jarang mengajak dia ‘malam mingguan’ begitu menurut kami.

“Ya, ini itung-itung membuat suasana baru. Supaya lebih tenang,” kataku sembari bersender di bibir pintu seraya tanganku memegang botol limun.

“Tapi, tumben sekali,” jawab Wirda mulai tertarik dengan ajakanku. Sejak tadi ia selalu membaca buku dan menulis sesuatu yang pastinya tidak akan kupahami. “Jadi, kamu ingin mengajakku ke mana, Mas?”

“Ya, biasa? Makan malam. Kita cari tempat makan enak di Malioboro. Mungkin angkringan atau makanan lainnya. Mungkin kamu mau ke Beringharjo, membeli sesuatu di sana. Beberapa bulan ini kulihat kamu seperti terjebak di sini. Mungkin karena itu juga suasana hatimu kurang mendukung.”

Wirda tampak manyun.

“Tidak, kok. Aku suka di sini. Kamu terlalu jauh berpikiran.”

Aku terdiam mendengarnya, terlebih saat dia bilang, ‘aku suka di sini’ wajah Wirda terlihat senang sekali. Cerah, dan pipinya bersemu kemerahan. Aku tahu ekspresi Wirda saat sedang dalam suasana senang. Namun, ada yang aneh dengan ekspresinya ini.

“Jadi, nggak kita pergi? Kok malah melamun.”

“Ya, jadi,”

“Kalau begitu aku mandi dulu.”

Related chapters

  • Digoda Suami Gaib   Bab 3:Keanehan dan Kecemasan

    Malam itu, kami benar-benar pergi ke tempat makan yang pernah kami datangi sebelum menempati rumah baru itu. Letaknya ada di sekitar Malioboro, jalanan yang sebenarnya cukup ramai dengan angkringan serta pengamen atau lebih tepatnya seniman yang selalu menghibur setiap turis maupun pejalan kaki.Malam itu kami parkir di dekat Malioboro. Entah aku lupa jalan apa namanya, yang jarak kami dari jalan itu ke Malio (begitu kami biasa menyebutnya), hanya tinggal menyeberang suatu perempatan saja. Tak hanya mobil di jalan itu yang parkir di sisi-sisi jalan, beberapa motor miliki pedagang atau pengunjung entah dari mana, juga parkir di tempat yang ramai dengan toko-toko batik dan sepatu.“Kita tinggal jalan kaki saja ke sana,” kataku. Wirda masih semi murung. Padahal sebelumnya, dia sudah sedikit agak baikan. Sudah bisa senyum lebar padaku, karena tahu kami selalu menikmati setiap malam minggu kami, di saat dulu masih pacaran.“Kita di tempat tertutup saja,” kata Wirda.“Kenapa? Ke sini kalau

  • Digoda Suami Gaib   Bab 4: Suara Yang Tak Ingin Didengar

    Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Wirda yang saat itu langsung melunglai dan jatuh ke pangkuanku. Beberapa orang yang ada di rumah makan sederhana itu sempat membantuku, namun selanjutnya aku mesti membopong sendirian istriku. Untung saja, di sekitaran situ sejak tadi—sebelum kami masuk ke restoran itu—banyak tukang becak yang mangkal. Aku langsung memanggil salah satu tukang becak, dan seorang lelaki yang kutaksir seusiaku lantas berlari kecil ke arahku.“Mas, tolong saya...”“Kenapa ini, Mas?” tanyanya sedikit berparas heran.Aku hanya bilang dia sedang sakit. Lagipula, aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Tukang becak itu kemudian mengantar kami ke parkiran mobil yang cukup jauh jaraknya. Dengan agak tergesa-gesa aku dan tukang becak itu memasukkan Wirda ke jok belakang mobil sedanku.Ketika aku hendak membawanya ke rumah sakit terdekat, tiba-tiba Wirda terbangun dan tentu saja aku kaget. Saat itu aku baru saja ingin menyalakan mesin mobil, dan perempuan itu l

  • Digoda Suami Gaib   Bab 5: Api Cemburu Suami

    Jantungku tentu saja berdegup kencang tatkala mendengar suara itu. Kenapa? Batinku. Kenapa Wirda harus mengeluarkan suara seperti itu. Bahkan ketika kami bercinta, Wirda sama sekali tidak bersuara. Diam seperti patung, membuat kemaluanku melunglai, dan perempuan itu terlihat tak puas denganku.Selama ini kupikir itu karena stres yang menumpuk di kepalaku. Atau juga dirinya. Entah karena pekerjaan, ataupun masalah di rumah yang rasanya selalu datang saja hal baru. Mulai masalah Wirda yang semakin tak kukenali lagi, hingga lingkungan kami yang seperti kota mati.“Aaaah!"Wirda terdengar mendesah tak keruan dalam tidurnya. Mendengarnya seperti itu membuat diriku merasa panas.Aku bisa mendengar suara istriku mendesah dan melenguh di balik dinding. Suaranya keras sekali, membuat jantungku terus berdegup kencang. Antara berhasrat dengan suara istriku sendiri, juga marah karena aku sempat berpikir kalau istriku memang memiliki sosok lain dalam hidupnya.“Aaakkh! Jangan! Tapi.."Wirda tak pe

  • Digoda Suami Gaib   Bab 6: Mencari Perhatian Pria Lain

    Tak peduli Wirda terus mengelak ataupun menolakku saat aku memintanya pergi ke rumah sakit, aku tetap memaksannya. Biar betapapun jengkelnya ia, bahkan saat kami hendak berangkat pun ia terlihat cemberut dan sempat melempar kunci mobilku. Perubahan sikap ini yang tak kumengerti. Tadi malam, lebih tepatnya dini hari. Seusai kejadian itu, dia yang pada akhirnya menangis di pelukanku sampai matahari muncul di celah-celah gorden kamar kami, masih bersikap manis layaknya Wirda yang biasa kukenal. Tapi beberapa jam kemudian, sikapnya sudah kembali seperti beberapa akhir ini. Jutek padaku, dan selalu memberikan kata-kata pedas terhadap apapun yang terjadi. Malas. Bahkan, yang membuat kesabaranku hampir habis adalah, ia sama sekali tak ingin mandi seusai kejadian semalam, padahal aku akan membawanya ke rumah sakit. Sampai di perjalanan pun, Wirda masih bersikap dingin padaku. Semakin dekat mobilku menuju rumah sakit terdekat, ia seperti tak ingin menatapku. “Apa yang terjadi sebenarnya, sa

  • Digoda Suami Gaib   Bab 7: Penglihatan Lelaki Tua

    Biasanya, dia tidak akan selincah itu jika bertemu kawan-kawanku. Apalagi sampai bercengkerama dan bercanda akrab, meski sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Seperti Rizal. Kawanku yang sering kuminta bantuan ini sama sekali belum pernah bertemu dengan istriku. Baik Rizal maupun Wirda hanya mendengar ceritaku saja soal keduanya. “Ya, ya. Terima kasih sebelumnya karena sudah membantu kami untuk mendapatkan jadwal lebih pagi. Tapi, ngomong-ngomong, Dokter Rizal ini tidak mengambil spesialis?” kata istriku yang saat itu sedang naik tangga, bersamaku juga. Mereka berjalan di depanku. Mengobrol akrab sekali seolah mereka adalah kawan lama. Ya, dari membahas masalah kespesialisan yang ingin dituju oleh Rizal, sampai membahas masalah sepele seperti makanan kesukaan juga tempat makan favorit. Bahkan tanpa melibatkanku, Wirda seolah seperti ingin diajak makan bersama oleh Rizal. Dan dia bicara tepat di depan suaminya. Tentu saja, Rizal lantas menoleh padaku sembari canggung. Entah, kenapa

  • Digoda Suami Gaib   Bab 8: Jin Penjaga Rumah

    Aku berlalu ke toilet sesaat setelah sempat perang dingin dengan Wirda. Ketika aku usai buang air kecil dan membasuh wajah, tiba-tiba secara mengejutkan seorang kakek yang sebelumnya menatap kami dengan penuh kecurigaan telah berada di belakangku. Tentu saja itu sangat mengejutkan. Bahkan kedua pundakku sampai meloncat karena sebelumnya sama sekali tidak ada siapapun di belakangku. Barangkali karena suara kran air yang memudarkan suara pintu bilik toilet. Mungkin pula sejak tadi kakek yang tak kutahu namanya ini sudah berada di salah satu bilik toilet rumah sakit tersebut. “Anak muda...” katanya bersuara berat dan sedikit parau. “I-Iya, Kek? Ada apa?” Aku merasakan sesuatu yang aneh dari tingkah laku kakek yang menurutku agak mencurigakan. “Dengarkan saya,” katanya lagi sembari mendekat. Nada suaranya begitu medok, karena barangkali ia memang asli orang Yogya. Tidak seperti kami yang berasal dari Jakarta, aku bekerja di Semarang pun sebelumnya karena dipindahkan dari Jakarta, kan

  • Digoda Suami Gaib   Bab 9: Hati-Hati Anak Muda

    Tentu saja, cerita itu kuanggap sebagai bagian dari kepercayaan yang pernah dianut oleh keluargaku. Aku tak menganggapnya sebagai fakta, karena sampai sekarang pun aku tak pernah melihat penunggu rumah itu. Tak pernah merasakan sesuatu yang aneh, meski memang rumah itu nampak mengerikan kala malam hari. Selanjutnya, aku berusaha bersikap normal di depan Wirda. Saat giliran kami tiba untuk konsultasi. Aku langsung menjelaskan keadaan istriku dalam beberapa bulan terakhir ini. Kulihat Wirda membisu dan seperti tidak menyukai percakapan antara aku dan dokter spesialis penyakit dalam. Pada saat dokter itu, yang mana seorang lelaki paruh baya itu memeriksa istriku, usai menyuruh Wirda rebahan. Wirda menolak. Ia kasar sekali saat stetoskop dokter berusaha mendarat di tubuhnya. “Jangan sentuh aku! Anda berusaha memanfaatkan keadaan!” katanya mengejutkanku. Aku melihat raut dokter sampai heran. “M-Maafkan saya, Pak Dokter... istri saya memang dalam keadaan tidak stabil...” “Hmmm, ya, ya.

  • Digoda Suami Gaib   Bab 10: Melukai Diri Sendiri

    Minggu. Aku memutuskan untuk seharian di rumah, setelah biasanya aku mendapatkan tugas untuk mengecek beberapa tabungan nasabah di brankas, meski biasanya pun tidak sampai sore—sebagaimana aku bekerja pada hari normal. Di rumah aku lebih banyak menghabiskan diriku di sofa ruang keluarga. Membaca buku apapun atau surat kabar. Sementara istriku seperti biasa (dalam kebiasaan barunya), selalu bangun tidur menjelang zuhur. Sejak ia pulang dari rumah sakit, aku sudah tidur di kamar terpisah, sehingga aku tak bisa membangunkannya kala subuh atau pun pukul delapan—jam paling telat ia bangun seingatku—ketika kami masih tinggal di rumah lama kami di Semarang. Akan tetapi kini, semua benar-benar berubah. Bersama itu pula, kata-kata kakek yang aku dan Wirda temui di rumah sakit terus membayangi kepalaku. Bahkan bisa-bisanya sosok lelaki tua dan sudah bungkuk itu memasuki mimpiku dalam beberapa hari ini. “Pertanda apa ini?” batinku. Jantung berdebar-debar setiap bangun tidur dan baru saja mem

Latest chapter

  • Digoda Suami Gaib   Bab 150: Akhir yang Nestapa

    “Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman

  • Digoda Suami Gaib   Bab 149: Kepastian Sekar

    “Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send

  • Digoda Suami Gaib   Bab 148: Kenapa Hanya Aku Yang Menderita

    Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap

  • Digoda Suami Gaib   Bab 147: Aku Sudah Tahu

    Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj

  • Digoda Suami Gaib   Bab 146: Seorang Peri Pertama Kali Menangis

    “Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara

  • Digoda Suami Gaib   Bab 145: Gantarra Juga!

    Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng

  • Digoda Suami Gaib   Bab 144: Tak Mengerti Cinta Lagi

    Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant

  • Digoda Suami Gaib   Bab 143: Nama Yang Ingin Dihapus

    Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil

  • Digoda Suami Gaib   Bab 142: Telepati Berahi

    “Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K

DMCA.com Protection Status