“Kamu, mau ke kantor?” tanya Hana pada Justin yang duduk di sampingnya, menunggu Tian sadar.“Nggak, sih ... nggak ada yang penting juga di kantor.”“Udah bilang Om Willy?”“Hmm,” angguk Justin. “Mungkin bentar lagi datang. Justin menyenderkan kepalanya di pundak Hana, jujur saja, ia merasa mengantuk jika diam tanpa melakukan apa-apa begini. Seolah otaknya tak bisa diajak untuk diam. “Je,” panggilnya.“Hem?”Hana mendekatkan wajahnya pada Justin. “Om Tian sama mamanya ada masalah apa, sih ... kok jadi kayak nggak suka gitu. Padahal liat aja, beliau begitu khawatir sama kondisi Om Tian,” bisiknya.“Kamu nggak tahu apa-apa, mending jangan mengurusi itu.”“Kan, aku penasaran,” responnya.“Kan sudah ku bilang ... kamu hanya boleh memikirkanku, jangan yang lain.”Hana memberengut kesal saat jawaban Justin tak sesuai dengan harapannya. Dia enggak tahu saja, kenapa Tian seperti membenci wanita paruh baya itu. Padahal ia melihat sosok itu benar-benar Ibu yang baik. “Aku capek memikirkanmu,
Read more