Tian kembali ke rumah sakit, diantar oleh Risa dan juga Arya. Ini sudah tengah malam, tak enak juga rasanya membiarkan putri mereka keluar malam-malam begini tanpa pengawasan.Sampai di ruang rawatnya, Tian meminta ijin pada Arya dan Risa untuk bicara pada Rhea beberapa saat. Ya, keduanya mengijinkan.“Bagaimana?”“Apanya yang bagaimana, Om?” tanya Rhea balik.“Jangan pura-pura lupa, Rhe. Aku masih menunggumu.”Rhea diam. Ia paham apa maksud pertanyaan Tian. Hanya saja ingin mengulur waktu untuk bisa berpikir panjang lagi.“Aku ...”Tian menyambar lengan Rhea, agar gadis itu semakin berada dekat dengannya.“Katakan saja padaku, apa yang kamu inginkan agar bisa percaya dengan semua yang ku katakan.”Rhea menggeleng. “Lalu?”Rhea menatap Tian intens. Sebenarnya ingin mencari titik kebohongan di kedua bola mata itu, hanya saja saat semakin dirinya mencari, semakin tak terlihat apa yang ia cari.“Rhe ...”“Jangan berhubungan dengan wanita itu lagi, jangan biarkan dirimu disentuh olehnya
Sampai di kampus, ia dihadapkan pada hal aneh. Bukan, lebih tepatnya heran dengan sikap Rhea yang nggak jelas. Sobatnya itu duduk di kursi sambil tersenyum nggak jelas, menatap fokus ke depan. Perlahan, ia hampiri. Tentunya dengan sedikit rasa was-was. Takutnya Rhea ketempelan setan, hingga sikap dan tingkahnya jadi aneh. Di saat Hana masih heran melihat tingkah Rhea, kini Clara dan Leta yang baru saja datang, juga ikut-ikutan bingung.“Dia kenapa?” tanya Leta pada Hana yang sampai lebih dulu.Hana hanya menaik turunkan bahunya pertanda ia tak tahu.Leta mengibas-ngibaskan telapak tangannya dihadapan wajah Rhea, tapi kok nggak ngaruh sama sekali. Seolah-olah di berada di dunia yang berbeda.“Rhea!” Dengan sengaja Clara mencubit lengan Rhea, hingga membuat sobatnya itu langsung tersentak dan mengaduh.“Clara lo apaan, sih?!!! Sakit tahu, nggak,” umpatnya kesal sambil menggosok-gosok lengannya yang meninggalkan bekas cubitan memerah di kulitnya.“Hufft,” lega Hana.“Akhirnya ... lo s
“Kamu kenapa pulang?”Justin menghela napasnya lelah, menghadapi tingkah istrinya yang benar benar mengerjainya. Duduk dihadapan wanita yang jadi prioritas utama dalam kehidupannya. Menatap fokus dia yang malah memasang wajah biasa saja.“Sengaja tak menjawab panggilan teleponku?”“Benar,” jawab Hana dengan jujur.“Dan kamu nggak mau makan?”Lagi lagi Hana mengangguk menjawab pertanyaan Justin.“Hana aku capek,” keluh Justin. “Capek jika harus mengomelimu terus perkara makanan. Semua yang ku siapkan, itu yang terbaik.” Meletakkan tangannya di perut Hana. “Ingat, kan ... sekarang kamu lagi hamil.”“Apa aku sudah membuat kerugian besar dengan kepulanganmu di jam segini?”Dahi Justin berkerut saat mendapatkan pertanyaan itu. “Aku nggak mau makan, karena aku nggak suka dengan semua makanan itu. Iya, aku paham jika semua itu yang terbaik. Tapi bisakah memberikanku makanan yang terbaik dan juga yang ku suka.”“Kamu nggak suka?”“Enggak,” jawabnya cepat. Perasaan entah sudah berapa kali ia
“Kamu kenapa pulang?”Justin menghela napasnya lelah, menghadapi tingkah istrinya yang benar benar mengerjainya. Duduk dihadapan wanita yang jadi prioritas utama dalam kehidupannya. Menatap fokus dia yang malah memasang wajah biasa saja.“Sengaja tak menjawab panggilan teleponku?”“Benar,” jawab Hana dengan jujur.“Dan kamu nggak mau makan?”Lagi lagi Hana mengangguk menjawab pertanyaan Justin.“Hana aku capek,” keluh Justin. “Capek jika harus mengomelimu terus perkara makanan. Semua yang ku siapkan, itu yang terbaik.” Meletakkan tangannya di perut Hana. “Ingat, kan ... sekarang kamu lagi hamil.”“Apa aku sudah membuat kerugian besar dengan kepulanganmu di jam segini?”Dahi Justin berkerut saat mendapatkan pertanyaan itu. “Aku nggak mau makan, karena aku nggak suka dengan semua makanan itu. Iya, aku paham jika semua itu yang terbaik. Tapi bisakah memberikanku makanan yang terbaik dan juga yang ku suka.”“Kamu nggak suka?”“Enggak,” jawabnya cepat. Perasaan entah sudah berapa kali ia
Sampai di rumah setelah dijemput oleh supir, Hana mengirimi pesan untuk Justin agar jangan lupa makan siang dan minum obat. Setelah itu ia segera mengganti seragam dan membaca buku. Ayolah ... hari-hari tersulit sedang berlangsung. Di mana dirinya akan menghadapi tugas demi tugas setiap harinya. Tapi tetap, ya ... Justin dan kehamilannya adalah yang paling utama.Justin tak menuntutnya agar mendapat nilai yang begitu tinggi, tapi justru ia sendiri yang akan merasa minder jika memiliki suami yang pintar, tapi ia malah memiliki nilai yang buruk.Hingga jam menunjukkan pukul 5 sore, barulah buku-buku yang dipelajari mulai ia tutup. Kemudian menyambar ponsel di nakas yang sedari tadi ia kesampingkan.“Loh, kok pesan gue belum dibuka sama Justin?” tanyanya heran sambil mengecek chat nya yang masih berstatus belum dibaca.Biasanya suaminya ini pasti akan membuka pesan darinya. Setidaknya dia akan membalas dengan pesan atau bahkan menghubungi balik.Segera menghubungi Justin lewat telepon. P
“Aku mau cuti kuliah,” ujarnya langsung.Justin sedikit tersentak mendengar permintaan Hana. Tapi kembali berusaha untuk tetap tenang. mengamit kedua tangan dia, kemudian mencium dengan lembut.“Kamu bicara begini, atas dasar apa?”“Ya, atas dasar keinginanku sendiri lah, Je.”“Aku masih ingat, loh ... saat kamu bilang nggak mau berhenti kuliah, apapun yang terjadi. Dan aku setuju akan hal itu, asalkan kamu bisa jaga diri dan kandunganmu. Tiba tiba kamu berubah pikiran seperti ini, jadi wajar kan jika aku mempertanyakan itu semua?”Oke, Hana paham atas perkataan Justin. Ya, memang dari awal ia berpikir dan bersikeras ingin tetap lanjut kuliah, appaun yang terjadi. Meskipun saat tahu dirinya hamil pun, masih ekkeuh untuk kuliah karena enggak terlalu mengganggu aktifitasnya.“Sekarang aku berubah pikiran,” ungkapnya.“Penyebabnya?”“Tadinya ku pikir bisa melakukan semua tugasku sebagai seorang istri, sebagai wanita hamil dan sebagai seorang mahasisiwi secara berbarengan. Tapi makin ke s
Beberapa hari tanpa adanya Tian karena hanya berfokus pada tugas tugas kuliah, duh rasanya saat semua itu berakhir seakan terbesit sebuah cahaya yang menghampirinya di kegelapan. Saat jam menunjukkan pukul 7 malam ... lebih tepatnya saat ia sedang nonton TV di kamar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Rhe ...” “Iya, Ma,” sahutnya saat tahu kalau itu adalah mamanya. Segera beranjak dari tempat tidur dan bergegas membuka pintu. Mendapati wanita paruh baya yang sudah berdiri di depan pintu kamar. “Ya, Ma?” “Lagi ngapain?” “Nonton.” “Ada Tian di bawah.” “Hah?” Dahi Risa berkerut saat melihat ekspressi Rhea saat tahu kalau Tian datang. Bukan apa apa hanya sedikit kaget ketika dia datang malam, bukan siang hari seperti perkataannya tadi malam. “Kenapa? Kamu nggak suka Tian datang?” Rhea tersenyum berat. Enggak suka kata mamanya. Justru ia berharap bisa bersama Tian terus. “Sana, turun,” suruh Risa. Tanpa komentar, ia turun menuju lantai bawah ... menemui Tian yang ber
“Ini salah satu hotel milik Justin ... keren, kan.”Keren katanya? Ayolah ... tetap saja kalau sudah mendengar kata ‘hotel’ membuat pikiran pikiran melenceng itu langsung menghantui otaknya. Sudah tahu otaknya rada gercep ke arah begitu, alah mengajaknya ber-travelling ke hotel.Keduanya melangkah memasuki pintu utama. Yap ... benar kata Tian barusan. Tempat ini memang benar-benar keren. Bagian loby bawahnya saja sudah seperti berada di pertambangan kristal. Semuanya mewah.“Pasti Hana sama Om Justin nangkring di sini,” gumamnya berpikir.“Justin nggak suka tempat-tempat seperti ini. Dia lebih suka ketenangan di kamarnya,” sahut Tian.Padahal ia hanya bergumam pelan, tetap saja cowok ini mendengar.Semenjak turun dari mobil, Tian terus menggenggam tangannya ... membuat dirinya dibuat mengekor ke mana langkah kaki cowok ini melangkah.Dua orang laki-laki menghampiri keduanya yang tengah berjalan.“Bagaimana?” tanya Tian.“Semua yang Anda inginkan, sudah kami persiapkan,” ujar salah sat