“Kamu kenapa pulang?”Justin menghela napasnya lelah, menghadapi tingkah istrinya yang benar benar mengerjainya. Duduk dihadapan wanita yang jadi prioritas utama dalam kehidupannya. Menatap fokus dia yang malah memasang wajah biasa saja.“Sengaja tak menjawab panggilan teleponku?”“Benar,” jawab Hana dengan jujur.“Dan kamu nggak mau makan?”Lagi lagi Hana mengangguk menjawab pertanyaan Justin.“Hana aku capek,” keluh Justin. “Capek jika harus mengomelimu terus perkara makanan. Semua yang ku siapkan, itu yang terbaik.” Meletakkan tangannya di perut Hana. “Ingat, kan ... sekarang kamu lagi hamil.”“Apa aku sudah membuat kerugian besar dengan kepulanganmu di jam segini?”Dahi Justin berkerut saat mendapatkan pertanyaan itu. “Aku nggak mau makan, karena aku nggak suka dengan semua makanan itu. Iya, aku paham jika semua itu yang terbaik. Tapi bisakah memberikanku makanan yang terbaik dan juga yang ku suka.”“Kamu nggak suka?”“Enggak,” jawabnya cepat. Perasaan entah sudah berapa kali ia
“Kamu kenapa pulang?”Justin menghela napasnya lelah, menghadapi tingkah istrinya yang benar benar mengerjainya. Duduk dihadapan wanita yang jadi prioritas utama dalam kehidupannya. Menatap fokus dia yang malah memasang wajah biasa saja.“Sengaja tak menjawab panggilan teleponku?”“Benar,” jawab Hana dengan jujur.“Dan kamu nggak mau makan?”Lagi lagi Hana mengangguk menjawab pertanyaan Justin.“Hana aku capek,” keluh Justin. “Capek jika harus mengomelimu terus perkara makanan. Semua yang ku siapkan, itu yang terbaik.” Meletakkan tangannya di perut Hana. “Ingat, kan ... sekarang kamu lagi hamil.”“Apa aku sudah membuat kerugian besar dengan kepulanganmu di jam segini?”Dahi Justin berkerut saat mendapatkan pertanyaan itu. “Aku nggak mau makan, karena aku nggak suka dengan semua makanan itu. Iya, aku paham jika semua itu yang terbaik. Tapi bisakah memberikanku makanan yang terbaik dan juga yang ku suka.”“Kamu nggak suka?”“Enggak,” jawabnya cepat. Perasaan entah sudah berapa kali ia
Sampai di rumah setelah dijemput oleh supir, Hana mengirimi pesan untuk Justin agar jangan lupa makan siang dan minum obat. Setelah itu ia segera mengganti seragam dan membaca buku. Ayolah ... hari-hari tersulit sedang berlangsung. Di mana dirinya akan menghadapi tugas demi tugas setiap harinya. Tapi tetap, ya ... Justin dan kehamilannya adalah yang paling utama.Justin tak menuntutnya agar mendapat nilai yang begitu tinggi, tapi justru ia sendiri yang akan merasa minder jika memiliki suami yang pintar, tapi ia malah memiliki nilai yang buruk.Hingga jam menunjukkan pukul 5 sore, barulah buku-buku yang dipelajari mulai ia tutup. Kemudian menyambar ponsel di nakas yang sedari tadi ia kesampingkan.“Loh, kok pesan gue belum dibuka sama Justin?” tanyanya heran sambil mengecek chat nya yang masih berstatus belum dibaca.Biasanya suaminya ini pasti akan membuka pesan darinya. Setidaknya dia akan membalas dengan pesan atau bahkan menghubungi balik.Segera menghubungi Justin lewat telepon. P
“Aku mau cuti kuliah,” ujarnya langsung.Justin sedikit tersentak mendengar permintaan Hana. Tapi kembali berusaha untuk tetap tenang. mengamit kedua tangan dia, kemudian mencium dengan lembut.“Kamu bicara begini, atas dasar apa?”“Ya, atas dasar keinginanku sendiri lah, Je.”“Aku masih ingat, loh ... saat kamu bilang nggak mau berhenti kuliah, apapun yang terjadi. Dan aku setuju akan hal itu, asalkan kamu bisa jaga diri dan kandunganmu. Tiba tiba kamu berubah pikiran seperti ini, jadi wajar kan jika aku mempertanyakan itu semua?”Oke, Hana paham atas perkataan Justin. Ya, memang dari awal ia berpikir dan bersikeras ingin tetap lanjut kuliah, appaun yang terjadi. Meskipun saat tahu dirinya hamil pun, masih ekkeuh untuk kuliah karena enggak terlalu mengganggu aktifitasnya.“Sekarang aku berubah pikiran,” ungkapnya.“Penyebabnya?”“Tadinya ku pikir bisa melakukan semua tugasku sebagai seorang istri, sebagai wanita hamil dan sebagai seorang mahasisiwi secara berbarengan. Tapi makin ke s
Beberapa hari tanpa adanya Tian karena hanya berfokus pada tugas tugas kuliah, duh rasanya saat semua itu berakhir seakan terbesit sebuah cahaya yang menghampirinya di kegelapan. Saat jam menunjukkan pukul 7 malam ... lebih tepatnya saat ia sedang nonton TV di kamar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Rhe ...” “Iya, Ma,” sahutnya saat tahu kalau itu adalah mamanya. Segera beranjak dari tempat tidur dan bergegas membuka pintu. Mendapati wanita paruh baya yang sudah berdiri di depan pintu kamar. “Ya, Ma?” “Lagi ngapain?” “Nonton.” “Ada Tian di bawah.” “Hah?” Dahi Risa berkerut saat melihat ekspressi Rhea saat tahu kalau Tian datang. Bukan apa apa hanya sedikit kaget ketika dia datang malam, bukan siang hari seperti perkataannya tadi malam. “Kenapa? Kamu nggak suka Tian datang?” Rhea tersenyum berat. Enggak suka kata mamanya. Justru ia berharap bisa bersama Tian terus. “Sana, turun,” suruh Risa. Tanpa komentar, ia turun menuju lantai bawah ... menemui Tian yang ber
“Ini salah satu hotel milik Justin ... keren, kan.”Keren katanya? Ayolah ... tetap saja kalau sudah mendengar kata ‘hotel’ membuat pikiran pikiran melenceng itu langsung menghantui otaknya. Sudah tahu otaknya rada gercep ke arah begitu, alah mengajaknya ber-travelling ke hotel.Keduanya melangkah memasuki pintu utama. Yap ... benar kata Tian barusan. Tempat ini memang benar-benar keren. Bagian loby bawahnya saja sudah seperti berada di pertambangan kristal. Semuanya mewah.“Pasti Hana sama Om Justin nangkring di sini,” gumamnya berpikir.“Justin nggak suka tempat-tempat seperti ini. Dia lebih suka ketenangan di kamarnya,” sahut Tian.Padahal ia hanya bergumam pelan, tetap saja cowok ini mendengar.Semenjak turun dari mobil, Tian terus menggenggam tangannya ... membuat dirinya dibuat mengekor ke mana langkah kaki cowok ini melangkah.Dua orang laki-laki menghampiri keduanya yang tengah berjalan.“Bagaimana?” tanya Tian.“Semua yang Anda inginkan, sudah kami persiapkan,” ujar salah sat
Sontak, Tian yang tadinya sudah berharap banyak, langsung kaget. Bayangkan ... saat dia yang diharapkan menerima, justru memberikan sebuah penolakan. Berasa jantung seperti sedang dihantam benda tumpul.Jadi, hubungan apa yang selama ini ia jalani dengan Rhea? Kalau dia saja tak berharap untuk lanjut. Hanya ia yang berharap terlalu jauh.Menatap ke arah Rhea yang masih berdiri dihadapannya. Tangannya gemetar, wajahnya memerah ... bahkan benda kecil berbentuk lingkaran dengan permata kecil itu ia genggam erat di tangannya. Tian bangun dari posisinya.“Apa itu jawabanmu?”Rhea mengangguk. “Aku nggak bisa ...” Semakin mendekat pada Tian dan mencium bibir cowok itu sekilas. “Aku nggak bisa menolakmu,” lanjutnya.Apa dia sedang mempermainkan dirinya? Atau, apa dirinya yang salah dengar? Tidak, bahkan ciuman barusan benar-benar terasa.“Jangan mempermainkanku semenyakitkan ini.”“Ku terima kamu jadi pendampingku,” ungkap Rhea dengan senyuman manis mengiringi perkataannya.Mendengar itu,
Pagi hari yang biasanya ia hanya bermalas-malasan, kini malah sumringah seperti sedang stress. Semoga saja ia tak benar-benar stress. Bagaimana tidak, kejadian semalam membuatnya tak baik-baik saja. Bahkan hanya sekadra memicingkan mata saat tidur, membuat sosok Tian seakan bergentayangan di pelupuk matanya.“Ehem,” dehem Risa membuyarkan lamunan putrinya yang sedari tadi senyum-senyum nggak jelas.“Mama.” Ia arahkan pandangannya pada mamanya yang duduk di sampingnya.“Aduh, yang semalam dilamar,” sindir Risa.Dahi Rhea berkerut saat mendengar perkataan mamanya.“Loh, kok Mama tahu? Aku belum cerita apa-apa, kan, sama Mama Papa,” herannya.Semalam saja ia pulang sudah jam 10’an, itupun langsung masuk kamar saat sampai di rumah dan tak membiarkan Tian untuk hanya sekadar mampir. Tapi sekarang mamanya tahu apa yang terjadi padanya semalam.“Jangan bilang kalau Om Tian yang bilang sama Mama,” tebaknya.Risa tersenyum. “Lebih tepatnya, dia lebih dulu melamar kamu pada Mama dan Papa,” ter