Mama dan papanya pergi ke rumah sakit melihat keadaan Tian, tapi ia justru tidak. Jangan berpikir kalau ia tak mengkhawatirkan keadaan dia, bahkan pikirannya tak tenang sedikitpun.Ingin menghubungi Hana, tapi sepertinya itu bukan cara yang tepat. Bisa-bisa nanti sobatnya itu malah mengira dirinya tak bisa move on dari Tian. Meskipun kenyataannya memang begitu.Duduk di teras, berniat kembali masuk ke dalam rumah, tiba-tiba terhenti saat sebuah mobil memasuki pekarangan. Yap, orang tuanya sudah kembali.“Kamu masih di sini, Rhe?”Rhea mengagguk. “Harusnya tadi kamu ikut mama sama papa ke rumah sakit. Tian nanyain kamu,” ungkap Risa pada putrinya.“Biar aja. Toh, udah telat juga,” responnya.Risa melangkah masuk ke dalam rumah, tapi Rhea segera menyusul dan menghambat langkahnya saat mencapai pintu masuk.“Ma.”“Apa?”Rasanya tak enak, tapi ia penasaran. “Gimana keadaannya?”Arya tersenyum saat mendengar pertanyaan Rhea, tapi memilih untuk duluan masuk, meninggalkan anak dan istrinya
“Om Tian,” gumamnya malah mendapati justru Tian yang masuk, bukan papanya.Ia beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Tian yang masih berdiri di dekat pintu, bersandar sambil memegangi perutnya.Dibuat membisu, itulah yang terjadi pada Rhea saat melihat kondisi Tian. Wajahnya sangat pucat, begitupun dengan fisiknya yang terlihat begitu lemah.Ingin bertanya tentang keadaan dia, tapi malah tak sanggup.“Om kenapa ke sini? Aku sudah bilang apa yang ku inginkan kemarin, kan?”Rhea bersidekap dada dihadapan Tian, berharap kalau hatinya tak akan kalah.“Aku nggak bisa ... aku nggak bisa kamu paksa begitu,” balas Tian.Ingin rasanya menyentuh wajah itu, tapi seolah terasa begitu sakit kalau ia lanjutkan. “Om, aku nggak memaksamu, tapi memang begitulah nyatanya. Untuk apa menemuiku? Membuatku terlihat bodoh lagi di matamu, karena berharap yang tak mungkin. Begitukah? Aku nggak mau seperti itu lagi. Aku sadar sekarang, kalaupun aku cinta, tapi kalau kamu enggak ... rasanya akan percuma ber
Justin dan Hana berniat berangkat ke rumah sakit menemui Tian, tapi saat selesai berbenah diri, tiba-tiba Henny malah menghubunginya.“Jawab, Je ... siapa tahu ada hal penting yang mau dikatakan Tante henny,” komentar Hana saat melihat ekspressi malas Justin untuk menjawab panggilan telepon dari Henny.Yap, daripada istrinya ini mengomel panjang lebar, ia lebih baik menjawab. Kalau dia kesal, bisa-bisa tak dapat jatah malam.“Ya?”“Justin ... Tian pergi!”“Pergi?”“Iya,” jawab Henny. “Tante nggak tahu dia kemana. Tapi tebakan Tante Tian itu pergi menemui Rhea.”“Biar ku cari,” balas Justin langsung saja menutup percakapan dengan Henny.“Kenapa?” tanya Hana.“Sayang ... kamu telepon Rhea. Tanya, apa Tian bersamanya,” pinta Justin pada Hana.“Oke.”Hana menghubungi nomer ponsel sobatnya itu, tapi sayangnya panggilannya tak dijawab. Tumben sekali. “Nggak dijawab, Je.”Justin menyodorkan ponselnya pada Hana. “Telepon orang tuanya,” suruh Justin dengan layar ponselnya yang sudah terpampan
Tian kembali ke rumah sakit, diantar oleh Risa dan juga Arya. Ini sudah tengah malam, tak enak juga rasanya membiarkan putri mereka keluar malam-malam begini tanpa pengawasan.Sampai di ruang rawatnya, Tian meminta ijin pada Arya dan Risa untuk bicara pada Rhea beberapa saat. Ya, keduanya mengijinkan.“Bagaimana?”“Apanya yang bagaimana, Om?” tanya Rhea balik.“Jangan pura-pura lupa, Rhe. Aku masih menunggumu.”Rhea diam. Ia paham apa maksud pertanyaan Tian. Hanya saja ingin mengulur waktu untuk bisa berpikir panjang lagi.“Aku ...”Tian menyambar lengan Rhea, agar gadis itu semakin berada dekat dengannya.“Katakan saja padaku, apa yang kamu inginkan agar bisa percaya dengan semua yang ku katakan.”Rhea menggeleng. “Lalu?”Rhea menatap Tian intens. Sebenarnya ingin mencari titik kebohongan di kedua bola mata itu, hanya saja saat semakin dirinya mencari, semakin tak terlihat apa yang ia cari.“Rhe ...”“Jangan berhubungan dengan wanita itu lagi, jangan biarkan dirimu disentuh olehnya
Sampai di kampus, ia dihadapkan pada hal aneh. Bukan, lebih tepatnya heran dengan sikap Rhea yang nggak jelas. Sobatnya itu duduk di kursi sambil tersenyum nggak jelas, menatap fokus ke depan. Perlahan, ia hampiri. Tentunya dengan sedikit rasa was-was. Takutnya Rhea ketempelan setan, hingga sikap dan tingkahnya jadi aneh. Di saat Hana masih heran melihat tingkah Rhea, kini Clara dan Leta yang baru saja datang, juga ikut-ikutan bingung.“Dia kenapa?” tanya Leta pada Hana yang sampai lebih dulu.Hana hanya menaik turunkan bahunya pertanda ia tak tahu.Leta mengibas-ngibaskan telapak tangannya dihadapan wajah Rhea, tapi kok nggak ngaruh sama sekali. Seolah-olah di berada di dunia yang berbeda.“Rhea!” Dengan sengaja Clara mencubit lengan Rhea, hingga membuat sobatnya itu langsung tersentak dan mengaduh.“Clara lo apaan, sih?!!! Sakit tahu, nggak,” umpatnya kesal sambil menggosok-gosok lengannya yang meninggalkan bekas cubitan memerah di kulitnya.“Hufft,” lega Hana.“Akhirnya ... lo s
“Kamu kenapa pulang?”Justin menghela napasnya lelah, menghadapi tingkah istrinya yang benar benar mengerjainya. Duduk dihadapan wanita yang jadi prioritas utama dalam kehidupannya. Menatap fokus dia yang malah memasang wajah biasa saja.“Sengaja tak menjawab panggilan teleponku?”“Benar,” jawab Hana dengan jujur.“Dan kamu nggak mau makan?”Lagi lagi Hana mengangguk menjawab pertanyaan Justin.“Hana aku capek,” keluh Justin. “Capek jika harus mengomelimu terus perkara makanan. Semua yang ku siapkan, itu yang terbaik.” Meletakkan tangannya di perut Hana. “Ingat, kan ... sekarang kamu lagi hamil.”“Apa aku sudah membuat kerugian besar dengan kepulanganmu di jam segini?”Dahi Justin berkerut saat mendapatkan pertanyaan itu. “Aku nggak mau makan, karena aku nggak suka dengan semua makanan itu. Iya, aku paham jika semua itu yang terbaik. Tapi bisakah memberikanku makanan yang terbaik dan juga yang ku suka.”“Kamu nggak suka?”“Enggak,” jawabnya cepat. Perasaan entah sudah berapa kali ia
“Kamu kenapa pulang?”Justin menghela napasnya lelah, menghadapi tingkah istrinya yang benar benar mengerjainya. Duduk dihadapan wanita yang jadi prioritas utama dalam kehidupannya. Menatap fokus dia yang malah memasang wajah biasa saja.“Sengaja tak menjawab panggilan teleponku?”“Benar,” jawab Hana dengan jujur.“Dan kamu nggak mau makan?”Lagi lagi Hana mengangguk menjawab pertanyaan Justin.“Hana aku capek,” keluh Justin. “Capek jika harus mengomelimu terus perkara makanan. Semua yang ku siapkan, itu yang terbaik.” Meletakkan tangannya di perut Hana. “Ingat, kan ... sekarang kamu lagi hamil.”“Apa aku sudah membuat kerugian besar dengan kepulanganmu di jam segini?”Dahi Justin berkerut saat mendapatkan pertanyaan itu. “Aku nggak mau makan, karena aku nggak suka dengan semua makanan itu. Iya, aku paham jika semua itu yang terbaik. Tapi bisakah memberikanku makanan yang terbaik dan juga yang ku suka.”“Kamu nggak suka?”“Enggak,” jawabnya cepat. Perasaan entah sudah berapa kali ia
Sampai di rumah setelah dijemput oleh supir, Hana mengirimi pesan untuk Justin agar jangan lupa makan siang dan minum obat. Setelah itu ia segera mengganti seragam dan membaca buku. Ayolah ... hari-hari tersulit sedang berlangsung. Di mana dirinya akan menghadapi tugas demi tugas setiap harinya. Tapi tetap, ya ... Justin dan kehamilannya adalah yang paling utama.Justin tak menuntutnya agar mendapat nilai yang begitu tinggi, tapi justru ia sendiri yang akan merasa minder jika memiliki suami yang pintar, tapi ia malah memiliki nilai yang buruk.Hingga jam menunjukkan pukul 5 sore, barulah buku-buku yang dipelajari mulai ia tutup. Kemudian menyambar ponsel di nakas yang sedari tadi ia kesampingkan.“Loh, kok pesan gue belum dibuka sama Justin?” tanyanya heran sambil mengecek chat nya yang masih berstatus belum dibaca.Biasanya suaminya ini pasti akan membuka pesan darinya. Setidaknya dia akan membalas dengan pesan atau bahkan menghubungi balik.Segera menghubungi Justin lewat telepon. P
Semalam akhirnya yang menjaga Riga adalah Tian dan Willy bersama Justin. Sedangkan Hana, Rhea dan Vio pulang ke rumah. Itupun penuh drama malam tengah malam, karena Vio tak ingin pulang jika Riga tak pulang bersamanya. Akhirnya dengan bujukan kakaknya itu semua bisa kelar. Sudahlah, kalau Vio mulai merengek dan tak terima akan sesuatu, bersiap saja untuk mendengar dia menangis dan mewek mewek. Dan pagi ini, tepat saat sarapan bersama Hana, gadis kecil itu kembali berulah. Dia nggak mau sarapan dan sekolah, jika tak bersama Riga. Membuat Hana dibuat pusing di pagi hari. “Riga nggak pernah suka dengan apa yang kamu lakukan ini, Sayang.” “Aku mau dia di sini denganku. Aku janji, Ma ... nggak akan berbuat yang bikin dia kesal. Aku janji nggak akan merengek dan berteriak teriak lagi di dalam rumah. Tapi, bawa kakak pulang.” Lihatlah, mukanya sudah memerah, menahan air mata yang sudah mengenang di kelopak matanya. Tapi sepertinya dia sedang menahan rasa itu. “Apa sekarang kamu mau ikut
Tian mendorong kursi roda, dengan Riga yang duduk di sana. Sementara Willy memgangi tabung cairan infus, agar berada tetap di posisi lebih tinggi. TadinyaTadinya Riga meminta dokter agar infusnya dilepaskan, tapi dokter ternyata tak menginjinkan. Dikarenakan kondisi tubuhnya yang memang belum stabil.Sampai di depan sebuah ruang perawatan, Tian menghentikan langkahnya. Sedikit berjongkok dihadapan bocah 9 tahun itu.“Ga, kamu ingat, kan, apa yang dokter bilang.”Mengangguk pertanda ia paham apa yang di maksud oleh Tian.“Aku janji nggak akan bikin Papa khawatir, aku juga nggak ingin Papa sakit hanya karena memikirkanku. Kau baik baik saja, dan akan selalu baik baik saja,” terangnya.Bahkan hanya mendengar putranya berkata seperti itu saja, mampu membuat hati Hana teriris. Dia sakit, bisa dikatakan sakit parah ... tapi lihatlah, sikap yang dia tunjukkan bahkan seolah tak sedang sakit. Hal yang membuatnya benar benar bangga memiliki Riga.Willy membuka pintu ruangan itu. Melangkah masu
Sudah hampir satu jam Semuanya pergi dan sekarang tentu saja Rhea merasa was was. Apa yang tengah terjadi, kenapa semuanya belum kembali satu orang pun? Jadi makin dibuat bingung karena Riga terus bertanya kenapa orang tua dia belum kembali.“Tante, kenapa Papa sama Mama belum kembali?”Rhea tersenyum manis pada Riga, kemudian mengelus wajah manis itu dengan lembut.“Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sama Papa kamu lagi mendengarkan penjelasan dokter dulu. Atau, mungkin dokternya lagi ada pasien, jadinya mereka harus nunggu deh.”“Alasan yang nggak meyakinkan,” responnya dengan nada tak terima akan penjelasan Rhea yang berpatokan pada kata mungkin.Ayolah, dihadapkan pada posisi di mana dirinya hanya berdua dengan Riga, itu begitu sulit. Karena dia adalah tipe anak yang punya pikiran cerdas dan nggak akan gampang dibohongi.“Perasaanku nggak enak,” gumamnya perlahan.Di saat yang bersamaan, Tian datang. Seketika Riga langsung bangun dari posisi tidurnya dan berharap jika orang tuanya j
Seperti yang sudah direncanakan semalam, hari ini Riga akan melanjutkan pemeriksaan menyeluruh termasuk tes lab. Berharap jika apa yang diperkirakan Dokter semalam tak benar benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan jika hal buruk itu terjadi pada putranya.Lagi lagi hanya bisa menunggu ketika putranya harus menjalani pemeriksaan dalam waktu yang lama. Bahkan berjam jam. Sungguh, ini rasanya menyakitkan hatinya sebagai seorang ibu.Dari kejauhan tampak dua orang berjalan cepat mengarah pada Hana dan Justin. Ya, Tian da Rhea.“Han, gimana Riga?” tanya Rhea langsung pada Hana.Bukannya menjawab pertanyaannya, Hana justru langsung memeluknya erat. Tentu saja itu membuat hatinya justru tak tenang. Ditambah lagi dengan dia memasang wajah sendu. Tak hanya Hana, raut muka Justin juga tampak tak baik baik saja. seperti baru saja mendengar sebuah kabar tak mengenakkan.“Ada masalah sama Riga?” tanya Tian ikut bertanya pada Justin. “Dia baik baik aja, kan?”Justin hanya mengangguk. Ia sanga
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, kalau malam ini akan makan di luar. Tentu saja bukan makan malam berdua, karena harus diingat, ada Vio dan Riga.Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, si princess yang sudah dari tadi siap, hanya bisa mondar mandir seperti setrikaan rusak saat orang tuanya dan juga kakaknya belum menampakkan diri dihadapannya. “Udah siapa, Sayang?” tanya Hana pada Vio yang akhirnya duduk di sofa dengan muka cemberut.“Udah dari tadi, Mama. Tapi semua orang malah belum apa apa.”Justin tersenyum dengan tingakh putrinya yang satu ini. Pokoknya kalau mau pergi pergi, dia yang paling gercep untuk siap siap.“Riga mana?” tanya Justin karena tak mendapati putranya di sana.“Aku nggak mau ikut,” sahutnya menuruni anak tangga dari lantai atas ... masih dengan pakaian rumahannya.“Loh, kok nggak ikut?” tanya Hana menghampiri Riga yang seperti biasa ... sikapnya selalu kalem seakan tak memiliki perasaan.“Nggak kenapa kenapa, kok, Ma ... cuman males aja. Ada tugas jug
Perlahan tapi pasti, hal hal yang dianggap baru dan asing juga akan terbiasa menghiasi hari hari. Begitupun dengan apa yang sedang dialami oleh Hana. Yang tadinya ia hanya berdua dengan Justin, kini semua terasa ramai ketika ada dua anak yang seakan membuat suasana di rumah terasa hangat.Justin yang tadinya hanya fokus mengurus pekerjaan meskipun di rumah, kini seolah merombak jadwal dan aktifitasnya. Saat di rumah, dia hanya akan fokus untuk keluarga. Tak ada lagi pekerjaan kantor yang dibawa pulang.Semakin terbiasa tanpa adanya bantuan perkara urusan si kecil, membuat Hana merasa benar benar full jadi ibu seutuhnya. Semua dilakukan sendiri, meskipun harus mendengar ocehan Justin yang menganggap dirinya kecapean.Jujur saja, ini rasanya memang capek ... hanya saja semua rasa itu seolah sirna ketika melihat mereka tersenyum padanya, seakan mengatakan terimakasih.Rasanya satu hari itu berlalu begitu cepat. Masih berputar putar dan fokus pada Riga dan Vio, tiba tiba saat selesai hari
Rasanya benar benar terasa lega, ketika akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, kini kembali ke rumah. Tentunya pulang dengan tambahan dua anggota baru yang akan menghiasi suasana rumah.Sebelumnya hanya berstatus sebagai seorang istri, sekarang bertambah dengan status ibu dua anak. Ayolah, itu rasanya benar benar sulit dipercaya dengan dirinya yang masih berusia 20 tahunan.Justin membantu Hana turun dari mobil dengan si kembar yang berada dalam gendongan dua orang suster. Jangan berprasangka buruk dulu kalau dirinya akan menggunakan jasa dalam merawat anak anaknya, bukan seperti itu. Ini hanya untuk beberapa hari ke depan, setidaknya sampai luka bekas operasinya mulai membaik dan aman untuk banyak bergerak.Tak lama, dua mobil tampak memasuki area pekarangan. Bisa ditebak siapa yang datang. Itu mobil Tian dan Willy, yang artinya ... pasti pasangan mereka juga ikut.Melanjutkan langkah memasuki rumah, tempat yang membuatnya tiba tiba rindu, meskipun kadang menyebalkan juga kar