Home / Romansa / Sang Penari Pujaan Hati / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Sang Penari Pujaan Hati: Chapter 51 - Chapter 60

122 Chapters

51. Kemarahan Mahesa

Happy Reading*****Mahesa melajukan kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sebelum ke arah rumah Pambudi, dia sudah menghubungi Rista untuk menunggunya di rumah. Tak bisa ditoleransi lagi, perbuatan gadis itu sungguh di luar batas. Sepuluh menit berlalu dan Mahesa sudah di depan gerbang sebuah rumah minimalis dengan cat berwarna kuning gading. Membunyikan klakson dengan keras seolah meluapkan segala kemarahannya, Mahesa sudah tak peduli dengan tata krama bertamu. Seorang lelaki seumuran dirinya dengan pakaian putih hitam, terlihat membukakan pintu. Mahesa membuka setengah kaca mobilnya. "Rista dan Om Pambudi ada di rumah?" tanya Mahesa dengan wajah menahan amarah. "Sepertinya, Bapak belum pulang, Mas. Kalau Mbak Rista baru saja masuk," kata satpam yang sudah mengenal Mahesa."Terima kasih, Mas." Mahesa segera memarkirkan mobil di tempatnya. Sebelah kanan dari halaman rumah sang Camat. Rista yang baru saja menapaki tangga menuju kamarnya, berbalik arah mendengar suara k
Read more

52. Kesibukan Jelita di mulai

Happy Reading*****Hari demi hari Jelita menjalani kesibukannya dengan sangat baik. Rias peengantin miliknya berkembang pesat, loundry juga miliknya juga baru buka cabang lagi. Artimya, dia sudah memiliki 3 usaha laundry. Sementara usaha baru yang dia punya adalah sewa tenda sekaligus kursi untuk hajatan. Dia juga sudah memiliki banyak dekor untuk dipajang di atas pelaminan. Hanya dalam kurun waktu kurang dua tahun, Jelita mampu melakukannya. Semua berkat kerja sama seluruh keluarganya, termasuk Eyang dan Riyan. Sementara Mahesa, Jelita sudah tak ambil pusing. Walau lelaki itu terus datang ke rumah Jelita, tetapi tak sekalipun ditemui. Hari ini adalah tahap akhir renovasi rumah miliknya. Dari rumah sederhana yang sering diejek oleh para tetangga menjadi salah satu rumah yang cukup megah. Jelita menjelma menjadi seorang yang cukup diperhitungkan saat ini. Tak ada lagi tetangga yang nyinyir tentang kesuksesannya. Rata-rata para tetangga malah bersyukur karena sebagian dari mereka ya
Read more

53. Diakah Anakku?

Happy Reading*****Wandra diam mematung menatap kepergian seseorang. Sekedar menyapa lelaki yang selalu berada di dekat Jelita, kaki dan mulutnya seperti tertempel lem. Entah mengapa, Wandra tak memiliki keberanian sama sekali. Mungkin membayangkan pertemuan sebelumnya yang membuat dadanya begitu sesak atau lelaki itu memang enggan bertemu dengan pujaannya lagi. Entahlah, Wandra seolah berada dalam dilema besar. Namun, dia mulai menyadari jika kehadiran Jelita di sana tidak mungkin. Perempuam yang dicintainya sudah menikah. Tentu, dia akan tinggal bersama suaminya. 'Naif sekali kamu, Ndra. Lita itu di Yogya bersama suaminya. Kenapa kamu masih kepikiran dia bersama Pak Larso. Jelita mungkin sudah bukan penari lagi.' Pikiran Wandra terus saja bermain-main saat melihat Sularso keluar dari aula itu. "Ngelamunin apa, Pak. Sampai dipanggil tidak mendengar sama sekali." Seorang lelaki seusia Pambudi menepuk bahu Wandra. "Maaf, Pak," ucap Wandra pada klien yang ditemuinya di hotel ini. M
Read more

54. Sebuah Kemungkinan

Happy Reading*****Jantung Wandra seakan terhenti. Apa yang didengarnya barusan seolah petunjuk yang diberikan Tuhan. Sekaligus sebagai jawaban dari semua semua doa yang telah dia panjatkan. Dia ingin menjadi suami Jelita. Jika benar gadis kecil itu adalah putrinya, maka rencananya semula akan dijalankan. Tanpa Wandra tahu bahwa jika seorang anak perempuan terlahir bukan karena pernikahan atau dengan kata lain anak hasil perzinahan. Maka, anak itu tak bernasab pada ayah biologisnya. Dia, hanya akan menjadi milik ibunya. Wandra mengabaikan semua itu. Si lelaki berjalan mendekat pada panggung. Menghampiri Jelita dan arunika. "Apa kabar, Lit?" sapa Wandra saat si gadis turun dari panggung dengan menuntun keponakannya. Sikapnya lembut karena kebahagiaan dan harapan menghampirinya kini. Jelita mematung. Tak percaya di hadapannya telah berdiri Wandra. Seorang lelaki yang selama hampir lima tahun ini mati-matian ingin dilupakan. Gengaman tangannya pada Arunika mengerat. "Ma, sakit," ri
Read more

55. Usaha yang Tertunda

Happy Reading*****Langkah kaki Wandra terasa ringan. Dia benar-benar menemukan harapan baru yang selama ini hampir dikubur karena takdir yang sepertinya tak pernah berpihak. "Jelita, tunggu!" teriak Wandra keras. Arunika menoleh dan menarik-narik pergelangan tangan perempuan yang menuntunnya. "Jangan hiraukan dia, Sayang. Kita harus secepatnya kembali ke hotel,kasihan Kakek sedang sakit," bisik Jelita agar Arunika tak terpengaruh dengan perkataan Wandra. Tak menghiraukan panggilan Wandra, Jelita mempercepat langkahnya. Namun, lelaki itu bisa mengejar dan mencekal pergelangan tangan si gadis. "Lit, Mas minta maaf jika sudah berprasangka buruk." Panggilan Wandra untuk penyebutan didirinya sendiri berubah. Tak lagi menggunakan kata aku. "Tolong jelaskan. Siapa sebenarnya anak ini? Apakah benar dia putri kita?" Wajah Wandra melas, penuh pengharapan bahwa gadisnya akan menjelaskan siapa sebenarnya Arunika. Melihat wajah penasaran Wandra, Jelita mulai tersentuh hatinya. "Jangan bicar
Read more

56. Maafkan Aku

Happy Reading*****Seminggu sudah berlalu, hari ini Wandra sengaja mengantarkan Jelita ke bandara. "Aku akan segera pulang dan menyelesaikan semua masalah kita. Nggak akan ada yang mampu memisahkanmu dariku," kata Wandra meyakinkan gadisnya. Lelaki itu sudah mengetahui semua kebenaran yang membuatnya salah paham. Termasuk kebenaran siapa Arunika sebenarnya dan Jelita tidak keberatan sama sekali jika Wandra akan memperjuangkan cinta mereka walau hal itu sangatlah sulit. Ajeng dan seluruh keluarga lelaki itu tentu tidak akan pernah rela jika bersatu. "Aku nggak akan berharap banyak, Mas. Jika memang Mas Wandra mau memperjuangkan hubungan ini. Tentunya aku sangat bahagia, tapi seandainya mereka menolakku kembali bagaimana?" tanya Jelita sedih. "Berdoa saja, Lit. Kali ini Mas terjang semua halangan itu. Andai Papa sama Mama masih melarang, Mas akan bawa kamu ke sini. Kita hidup di Jakarta saja."Walau berat, Jelita tetap menganggukkan kepala. Arunika sudah dibiasakan memanggil Papa p
Read more

57. Haruskah Mundur?

Happy Reading*****Entah berapa lama Mahesa berdiam diri di mobil. Ketukan pada kaca menyadarkan semua kewarasannya bahwa dia masih berada di pekarangan rumah Puspa. Membuka kaca hingga separuh, Mahesa bertanya, "Ada apa, Bu?"Puspa tersenyum. "Harusnya Ibu yang tanya demikian, Nak. Kamu kenapa dari tadi cuma diem di mobil? Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu pada Nak Esa.""Maaf, Bu. Saya tadi lagi telponan sama salah satu klien dan setelah itu entah mengapa kepala pusing banget. Makanya, saya memutuskan untuk tidur sejenak,' alibi Mahesa. "Ya Allah. Kenapa nggak masuk terus minta obat sama ibu aja. Sekarang gimana keadaannya?""Alhamdulillah mendingan. Kalau gitu saya pamit dulu, ya, Bu." Mahesa mulai menghidupkan mesin kendaraannnya. "Hati-hati, Nak. jangan ngebut, jaga kesehatanmu." Puspa merasakan hal aneh setelah lelaki itu keluar dari rumahnya. Semacam rasa sedih, kecewa, bimbang dan mungkin sedikit rasa takut. Mahesa menganggukkan kepala. Bukan kesehatan yang harus dijaga,
Read more

58. Mundur

Happy Reading*****Jelita tak pernah menginginkan pertemuan, hanya berdua dengan Mahesa. Entahlah, dia terlampau takut untuk menyakiti perasaan lelaki yang selama ini sudah begitu baik. Menemani setiap langkah, di saat dia belum menjadi siapa pun hingga sekarang semua usahanya berkembang pesat. Waktu dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk Jelita mencoba menjauh bahkan memberi pengertian bahwa Mahesa pantas mendapat seseorang yang lebih baik. Nyatanya, lelaki itu masih saja mengharap balasan rasa dari Jelita. Sekarang, saat Mahesa menuntut penjelasan tentang hubungannya dengan Wandra. Mau tak mau si gadis harus menyelesaikannya. Sebuah kafe berkonsep lesehan sengaja di pilih oleh Mahesa karena dekat dengan kantor Jelita. Baru menapaki kaki di pintu masuk, lambaian tangan dari lelaki itu sudah terlihat. "Sudah lama nunggu, Mas? Maaf, sudah buat Mas nunggu," ucap Jelita di saat dia sudah berada di depan meja lesehan Mahesa. "Mas juga baru datang, Lit. Maaf juga kalau memaksamu
Read more

59. Pambudi

Happy Reading*****Tak bisa menolak apa yang diminta oleh seseorang yang meneleponnya, Jelita mengiyakan ajakan itu. Dia tak jadi pulang, malah melajukan motornya ke tempat yang disebutkan tadi. Sepuluh menit saja, Jelita sudah sampai di sebuah restoran yang mewah. Nyaris tertutup tidak seperti kebanyakan restoran biasa. Tempat makan ini memang sangat terkenal dengan privasi para pelanggannya. Setelah menanyakan reservasi atas nama si penelepon tadi. Jelita langsung menuju tempat yang ditunjukkan.Sebuah suara yang menyuruhnya masuk terdengar. Jantung Jelita berpacu dengan cepat. Apalagi wajah sang penelepon tampak tegang. "Duduk!" titah lelaki yang tak lain adalah Pambudi.Jelita mendaratkan tubuh di kursi, tepat di hadapan orang tua lelaki yang dicintainya. "Tidak perlu memesan minuman. Bapak sudah memesannya. Pada pertemuan ini, Bapak mau kamu membalas semua Budi yang sudah Bapak lakukan sama kamu." Tatapan Pambudi semakin tajam."Saya nggak merasa punya hutang sama njenengan,
Read more

60. Tersandung Kasus

Happy Reading*****Baru saja membuka pintu, tatapan mata Ajeng sudah menguliti suaminya. Pambudi mengembuskan napas lelah, sebentar lagi, sang istri pasti mengomel. Menyalahkannya tanpa mau mendengar penjelasan. "Papa itu bodoh apa gimana, sih. Masak hal sebesar itu bisa terendus sama tim penyidik KPK? Mama nggak mau tahu, ya. Kalau sampai Papa di penjara gara-gara kasus korupsi. Siap-siap kita pisahan." Perkataan Ajeng sudah ada dalam benak Pambudi. "Papa capek," jawab lelaki itu. Dia berjalan melewati istrinya begitu saja. "Jangan menghindari pembahasan kita. Mama nggak mau, ya. Papa ngambil tabungan atau menjual salah satu aset kita buat ganti rugi uang itu," kata Ajeng tegas."Tenang saja. Papa tidak akan menjual aset apa pun. Tabungan Papa masih sanggup buat bayar kompensasi masalah ini."'Meskipun Papa harus meminta bantuan Jelita pada akhirnya,' tambah Pambudi yang hanya diucapkan dalam hati."Bagus, Mama nggak mau kita jadi miskin gara-gara kebodohan yang Papa lakukan," si
Read more
PREV
1
...
45678
...
13
DMCA.com Protection Status