Happy Reading*****Langkah kaki Wandra terasa ringan. Dia benar-benar menemukan harapan baru yang selama ini hampir dikubur karena takdir yang sepertinya tak pernah berpihak. "Jelita, tunggu!" teriak Wandra keras. Arunika menoleh dan menarik-narik pergelangan tangan perempuan yang menuntunnya. "Jangan hiraukan dia, Sayang. Kita harus secepatnya kembali ke hotel,kasihan Kakek sedang sakit," bisik Jelita agar Arunika tak terpengaruh dengan perkataan Wandra. Tak menghiraukan panggilan Wandra, Jelita mempercepat langkahnya. Namun, lelaki itu bisa mengejar dan mencekal pergelangan tangan si gadis. "Lit, Mas minta maaf jika sudah berprasangka buruk." Panggilan Wandra untuk penyebutan didirinya sendiri berubah. Tak lagi menggunakan kata aku. "Tolong jelaskan. Siapa sebenarnya anak ini? Apakah benar dia putri kita?" Wajah Wandra melas, penuh pengharapan bahwa gadisnya akan menjelaskan siapa sebenarnya Arunika. Melihat wajah penasaran Wandra, Jelita mulai tersentuh hatinya. "Jangan bicar
Happy Reading*****Seminggu sudah berlalu, hari ini Wandra sengaja mengantarkan Jelita ke bandara. "Aku akan segera pulang dan menyelesaikan semua masalah kita. Nggak akan ada yang mampu memisahkanmu dariku," kata Wandra meyakinkan gadisnya. Lelaki itu sudah mengetahui semua kebenaran yang membuatnya salah paham. Termasuk kebenaran siapa Arunika sebenarnya dan Jelita tidak keberatan sama sekali jika Wandra akan memperjuangkan cinta mereka walau hal itu sangatlah sulit. Ajeng dan seluruh keluarga lelaki itu tentu tidak akan pernah rela jika bersatu. "Aku nggak akan berharap banyak, Mas. Jika memang Mas Wandra mau memperjuangkan hubungan ini. Tentunya aku sangat bahagia, tapi seandainya mereka menolakku kembali bagaimana?" tanya Jelita sedih. "Berdoa saja, Lit. Kali ini Mas terjang semua halangan itu. Andai Papa sama Mama masih melarang, Mas akan bawa kamu ke sini. Kita hidup di Jakarta saja."Walau berat, Jelita tetap menganggukkan kepala. Arunika sudah dibiasakan memanggil Papa p
Happy Reading*****Entah berapa lama Mahesa berdiam diri di mobil. Ketukan pada kaca menyadarkan semua kewarasannya bahwa dia masih berada di pekarangan rumah Puspa. Membuka kaca hingga separuh, Mahesa bertanya, "Ada apa, Bu?"Puspa tersenyum. "Harusnya Ibu yang tanya demikian, Nak. Kamu kenapa dari tadi cuma diem di mobil? Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu pada Nak Esa.""Maaf, Bu. Saya tadi lagi telponan sama salah satu klien dan setelah itu entah mengapa kepala pusing banget. Makanya, saya memutuskan untuk tidur sejenak,' alibi Mahesa. "Ya Allah. Kenapa nggak masuk terus minta obat sama ibu aja. Sekarang gimana keadaannya?""Alhamdulillah mendingan. Kalau gitu saya pamit dulu, ya, Bu." Mahesa mulai menghidupkan mesin kendaraannnya. "Hati-hati, Nak. jangan ngebut, jaga kesehatanmu." Puspa merasakan hal aneh setelah lelaki itu keluar dari rumahnya. Semacam rasa sedih, kecewa, bimbang dan mungkin sedikit rasa takut. Mahesa menganggukkan kepala. Bukan kesehatan yang harus dijaga,
Happy Reading*****Jelita tak pernah menginginkan pertemuan, hanya berdua dengan Mahesa. Entahlah, dia terlampau takut untuk menyakiti perasaan lelaki yang selama ini sudah begitu baik. Menemani setiap langkah, di saat dia belum menjadi siapa pun hingga sekarang semua usahanya berkembang pesat. Waktu dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk Jelita mencoba menjauh bahkan memberi pengertian bahwa Mahesa pantas mendapat seseorang yang lebih baik. Nyatanya, lelaki itu masih saja mengharap balasan rasa dari Jelita. Sekarang, saat Mahesa menuntut penjelasan tentang hubungannya dengan Wandra. Mau tak mau si gadis harus menyelesaikannya. Sebuah kafe berkonsep lesehan sengaja di pilih oleh Mahesa karena dekat dengan kantor Jelita. Baru menapaki kaki di pintu masuk, lambaian tangan dari lelaki itu sudah terlihat. "Sudah lama nunggu, Mas? Maaf, sudah buat Mas nunggu," ucap Jelita di saat dia sudah berada di depan meja lesehan Mahesa. "Mas juga baru datang, Lit. Maaf juga kalau memaksamu
Happy Reading*****Tak bisa menolak apa yang diminta oleh seseorang yang meneleponnya, Jelita mengiyakan ajakan itu. Dia tak jadi pulang, malah melajukan motornya ke tempat yang disebutkan tadi. Sepuluh menit saja, Jelita sudah sampai di sebuah restoran yang mewah. Nyaris tertutup tidak seperti kebanyakan restoran biasa. Tempat makan ini memang sangat terkenal dengan privasi para pelanggannya. Setelah menanyakan reservasi atas nama si penelepon tadi. Jelita langsung menuju tempat yang ditunjukkan.Sebuah suara yang menyuruhnya masuk terdengar. Jantung Jelita berpacu dengan cepat. Apalagi wajah sang penelepon tampak tegang. "Duduk!" titah lelaki yang tak lain adalah Pambudi.Jelita mendaratkan tubuh di kursi, tepat di hadapan orang tua lelaki yang dicintainya. "Tidak perlu memesan minuman. Bapak sudah memesannya. Pada pertemuan ini, Bapak mau kamu membalas semua Budi yang sudah Bapak lakukan sama kamu." Tatapan Pambudi semakin tajam."Saya nggak merasa punya hutang sama njenengan,
Happy Reading*****Baru saja membuka pintu, tatapan mata Ajeng sudah menguliti suaminya. Pambudi mengembuskan napas lelah, sebentar lagi, sang istri pasti mengomel. Menyalahkannya tanpa mau mendengar penjelasan. "Papa itu bodoh apa gimana, sih. Masak hal sebesar itu bisa terendus sama tim penyidik KPK? Mama nggak mau tahu, ya. Kalau sampai Papa di penjara gara-gara kasus korupsi. Siap-siap kita pisahan." Perkataan Ajeng sudah ada dalam benak Pambudi. "Papa capek," jawab lelaki itu. Dia berjalan melewati istrinya begitu saja. "Jangan menghindari pembahasan kita. Mama nggak mau, ya. Papa ngambil tabungan atau menjual salah satu aset kita buat ganti rugi uang itu," kata Ajeng tegas."Tenang saja. Papa tidak akan menjual aset apa pun. Tabungan Papa masih sanggup buat bayar kompensasi masalah ini."'Meskipun Papa harus meminta bantuan Jelita pada akhirnya,' tambah Pambudi yang hanya diucapkan dalam hati."Bagus, Mama nggak mau kita jadi miskin gara-gara kebodohan yang Papa lakukan," si
Happy Reading*****Wandra segera mengemasi barang-barangnya dan segera pulang. Dia sudah memesan tiket sebelum sampai di rumah kakeknya. Untuk mengatakan pada pria sepuh itu, tentunya Wandra tak memiliki keberanian. "Kenapa kepulanganmu terkesan mendadak, Ndra. Apa yang terjadi di Banyuwangi?" tanya sang kakek saat Wandra berpamitan akan pulang pukul sepuluh nanti. "Ada hal yang harus Wandra kerjakan, Kek. Menyangkut masa depan dan calon cicit kakek," alibi Wandra agar kakeknya tak lagi bertanya lebih mendetail."Apa sudah mendapatkan restu dari mamamu?""Belum, Kek. Makanya, Wandra mau berjuang. Kakek setuju kan kalau aku nikah sama gadis yang beberapa waktu lalu aku kenalkan?" "Setuju saja asal kamu bahagia, Ndra. Jangan sampai kamu nggak nikah seperti janjimu dulu. Kakek sangat sedih. Lagian, dia gadis yang sopan dan terlihat baik. Terlepas dari siapa orang tua dan pekerjaannya." "Terima kasih, Kek. Doakan Wandra, jika Mama sama Papa belum merestui juga, maka kami akan tinggal
Happy Reading*****Di sinilah Wandra berada, sebuah ruangan VIP. Sejak sejam lalu, lelaki paruh baya yang menjadi pahlawan bagi keluarganya dinyatakan terkana stroke. Untuk sementara waktu, kasusnya akan ditangguhkan dan semua aset milik keluarga Pambudi masih dibekukan oleh pihak KPK. Wandra bahkan belum mendapat kabar di mana keberadaan mama serta adiknya. Sepertinya mereka menghilang ditelan bumi. Saat menelepon ke kantor Rista, si sulung mendapat kabar jika adiknya sedang cuti. "Bisa-bisanya Mama sama Rista cuti dan berlibur. Apa mereka nggak tahu kalau Papa lagi butuh keluarganya," gerutu Wandra saat dia baru menyelesaikan panggilan."Sabar, Ndra. Mungkin mereka berdua nggak mau terlibat." Mahesa menepuk bahu sahabatnya. "Aku bingung sama sikap mereka berdua itu, Sa.""Tenangkan dirimu dan fokus pada kesembuhan Om Pambudi."Tak berapa lama setelah perbincangan itu, Jelita muncul dengan membawa rantang. Setelah menghubungi kekasihnya, gegas dia berangkat ke rumah sakit. "Kali
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka