Happy Reading*****Di sinilah Wandra berada, sebuah ruangan VIP. Sejak sejam lalu, lelaki paruh baya yang menjadi pahlawan bagi keluarganya dinyatakan terkana stroke. Untuk sementara waktu, kasusnya akan ditangguhkan dan semua aset milik keluarga Pambudi masih dibekukan oleh pihak KPK. Wandra bahkan belum mendapat kabar di mana keberadaan mama serta adiknya. Sepertinya mereka menghilang ditelan bumi. Saat menelepon ke kantor Rista, si sulung mendapat kabar jika adiknya sedang cuti. "Bisa-bisanya Mama sama Rista cuti dan berlibur. Apa mereka nggak tahu kalau Papa lagi butuh keluarganya," gerutu Wandra saat dia baru menyelesaikan panggilan."Sabar, Ndra. Mungkin mereka berdua nggak mau terlibat." Mahesa menepuk bahu sahabatnya. "Aku bingung sama sikap mereka berdua itu, Sa.""Tenangkan dirimu dan fokus pada kesembuhan Om Pambudi."Tak berapa lama setelah perbincangan itu, Jelita muncul dengan membawa rantang. Setelah menghubungi kekasihnya, gegas dia berangkat ke rumah sakit. "Kali
Happy Reading*****"Papa sudah sadar?" tanya Wandra. Dia mendekat dan memegang telapak tangan lelaki paruh baya itu. "Gimana keadaan Papa?""Aku panggil dokter, ya, Mas." Jelita sengaja memberikan ruang untuk keduanya berbincang."Terima kasih, Lit," ucap Wandra dan ditanggapi dengan senyuman oleh gadis itu.Keadaan yang masih lemah membuat Pambudi tidak bisa berbicara banyak. Dia, hanya menatap haru pada Jelita dan Wandra. Sejahat apa pun rencana yang telah disusun untuk memisahkan keduanya, nyatanya kini mereka bersatu. Mungkin suatu saat nanti, Pambudi harus berbicara secara tegas pada Ajeng untuk memberikan restunya pada si sulung dan Jelita."Pa, kenapa melamun?" tanya Wandra.Pambudi menggeleng, perlahan air matanya menetes. Selalu berpikiran buruk dan memandang rendah Jelita bahkan kata-kata yang terlontar sering kali menyakiti hati. Sang pemimpin keluarga menyadari semua kesalahannya itu. Bahkan kata-kata terakhir yang didengar tadi sungguh membuka mata Pambudi. Siapa gadis b
Happy Reading*****"Papa jangan berpikir yang aneh-aneh. Mama mungkin sedang sibuk dan pekerjaannya nggak bisa ditinggal. Bukankah sudah ada Lita dan Wandra di sini," kata si sulung menenangkan."Mas tidak usah bohong. Mamamu pasti pergi jauh, Papa hafal sifatnya. Dia tidak akan pernah mau terlibat dengan urusan pelik seperti ini." Suara Pambudi melemah. Sejak dirinya diperiksa oleh pihak KPK, Ajeng sudah mengatakan tak ingin terlibat. Bahkan terang-terangan menjauh."Maaf, Pa. Sebagai anak, Wandra nggak bisa melindungi keluarga. Sampai saat ini, Mas, belum tahu keberadaan Mama sama Rista."Jelita sebagai orang yang tak seharusnya mendengar percakapan mereka, membalikkan badan. "Mau ke mana, Lit?" tanya Pambudi."Saya keluar dulu, Pak.""Tidak perlu keluar. Kamu pasti sudah tahu sifat calon mertuamu. Kelak, Papa harap kamu tidak akan mengambil sisi buruk darinya."Susah payah, Jelita menelan salivanya. Sebutan Pambudi untuk mengatakan dirinya sendiri apakah disadari? Mengapa dia men
Happy Reading*****Suka tidak suka, Wandra harus menyetujui para aparat itu untuk menjalankan pekerjaannya. Sementara Jelita sudah meminta ijin pada atasan untuk tidak masuk kerja hari ini. gadis itu juga sudah meminta ibunya untuk membawakan baju ganti dan juga makanan untuknya dan juga sang kekasih.Beberapa petugas dari KPK mulai berdatangan. Wandra dan Jelita diminta untuk kelua sementara waktu. Baru saja mereka keluar dari ruang perawatan Pambudi, wajah Mahesa terlihat. Dia datang membawa bungkusan."Kamu nginep semalam, Lit?" tanya Mahesa. Kegetiran hatinya mulai masuk kembali. Ingin sekali tidak datang mengunjungi Pambudi, tetapi rasa sungkan dan tidak enak merajai hati. "Aku yang memintanya nginep, Sa. Kamu aku hubungi nggak balas-balas." Wandra melihat rasa yang sulit diartikan dari wajah sang sahabat. Entahlah, sejak telepon dari Mahesa saat itu yang menanyakan tentang Jelita, hati WAndra merasakan keanehan."Sorry, aku banyak kerjaan semalam. Tahu sendiri dari siang aku n
Happy Reading*****"Sorry, deh. Segitunya kamu mencintai Jelita," kata Mahesa masih melanjutkan percakapan mereka tadi."Dia segalanya buat aku, Sa. Kamu tahu sendiri kalau aku sampai rela nggak nikah kalau nggak sama dia.""Menantang takdir namanya. Mana ada begitu. Setiap manusia itu pasti berpasangan. Nggak boleh menyalahi kodrat.""Jadi, kamu berencana melupakan gadis itu?" tanya Wandra masih penasaran."Tentu. Aku harus berusaha melupakan dia, biarlah dia bahagia dengan pujaan hatinya." Mahesa menatap ke jauh. Bibirnya bisa saja berkata demikian, tetapi hatinya tidak bisa memungkiri bahwa nama Jelita masih merajai hati."Sama adikku saja. Dia cinta mati tiga sama dirimu.""Ogah, nikahin Rista, sama kayak nikahin adik sendiri. Aku nggak bisa, Ndra. Mending nyari cewek lain."Keduanya tertawa. Entahlah, Mahesa lebih plong saat ini. Biarlah menjadi rahasia tanpa diketahui oleh Wandra nama gadis yang dicintainya. "Ndra, kamu nggak nyoba hubungi eyang yang di Yogya? Siapa tahu belia
Happy Reading*****"Bunda apaan sih. Mana mungkin saya berani menjodohkan dengan cucunya njenengan. Mereka kan nggak saling kenal," kata Ajeng.Rista menatap tak percaya pada orang tuanya. Ringan sekali mulut Ajeng berkata demikian. Padahal semenit lalu, dia meminta Rista supaya mau dijodohkan dengan cucu dari orang yang akan ditemuinya."Semua bisa saja terjadi, kan? Kita sudah lama nggak ketemu. Tiba-tiba kamu datang lagi ke kota ini dengan membawa seorang putri. Siapa tahu kamu masih penasaran pengin masuk dalam keluargaku." Cara bicara perempuan sepuh itu tidak ada manis-manisnya.Ajeng mengerucutkan bibir. Perempuan yang bersamanya ini seolah tahu jalan pikirannya."Ih, Bunda. Mikirnya jelek terus.""Gimana kabar keluargamu, Jeng? Aku dengar suamimu lagi kesandung kasus, tapi anehnya kamu malah datang ke kota ini. Kamu nggak menggugat cerai suamimu, kan?"Lagi-lagi, Rista tercengang dengan kalimat yang dilontarkan oleh perempuan sepuh itu. Dia seolah mengenal baik mamanya padaha
Happy Reading*****Hari-hari Jelita dan Wandra disibukkan dengan kegiatan ke rumah sakit dan kantor KPK untuk mengurus segala permasalahan Pambudi. Terhitung sudah seminggu keduanya melakukan hal itu, dibantu dengan Mahesa tentunya. Selama itu pula, Ajeng dan Rista tak pernah menghubungi Wandra maupun Pambudi.Jelita malah sering mendengar curhatan dari eyangnya yang mengatakan bahwa orang tua perempuan Wandra selalu mengajaknya ketemuan. Entah apa yang menyebabkannya. "Semua sudah siap, Yang?" tanya Wandra saat melihat kekasihnya duduk bersandar di sofa ruang perawatan Pambudi. Peluh mulai membanjiri wajahnya."Sudah, Mas. Mau pulang sekarang?" "Nunggu Pak Minto, Yang," sahut Wandra. Lelaki itu masih membantu papanya bersiap. "Terima kasih, Lit. Kamu sudah mengurus Papa dengan baik. Setelah masalah ini selesai, segeralah kalian menikah," kata Pambudi menyela obrolan sepasang kekasih itu."Bapak jangan mikir pernikahan kami dulu." "Kalian sudah terlalu lama terpisah. Papa takut k
Happy Reading*****"Mereka memang tidak saling mengenal, tapi karena hubungan kalian. Mamanya Wandra, jadi sedikit kesal sama ibumu." Begitulah penjelasan yang diberikan Pambudi.Sampai saat ini, dia sendiri belum mengetahui apa pun. Mengapa Ajeng begitu membenci Puspa. Jauh sebelum hubungan Wandra dan Jelita terendus. "Begitulah Mama, Pa. Tetap teguh pada pendiriannya bahwa Jelita tak pernah pantas menjadi istriku. Padahal derajat seorang manusia nggak bisa ditentukan oleh hartanya." Wandra menatap sang kekasih. "Sabar, Sayang. Suatu saat nanti, Mama pasti menyadari kebaikan hatimu."Gadis itu mengangguk. Namun, jauh di dalam hati dia masih mempertanyakan penyebab Ajeng membencinya. Cerita yang selalu didengar dari eyangnya tentang Ajeng yang sering meminta bertemu serta permintaan pendapat mengenai sifat dan karakter Rista makin membuat Jelita penasaran. Jika tak saling kenal dekat, mana mungkin Ajeng berbuat demikian. Laksmi adalah sosok yang tak memiliki banyak kenalan. Sepanj
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka