Home / Pernikahan / Setahun Tanpa Sentuhanmu / Chapter 141 - Chapter 150

All Chapters of Setahun Tanpa Sentuhanmu: Chapter 141 - Chapter 150

214 Chapters

141. Naluri Seorang Ibu

Happy Reading*****"Yang, kamu?" kata Riswan melongo melihat adegan di depannya. Tanpa berkedip sama sekali. "Kenapa, Mas? Kok aneh gitu lihatnya? Dia nangis mungkin karena kehausan. Kasihan dari semalam belum aku kasih ASI," ucap Risma enteng. Seolah-olah bayi itu adalah anak mereka. Garis bibir Riswan terangkat, bukan bahagia, tetapi bingung harus menjawab apa. Bayi mungil yang sedang diberi ASI itu bukanlah anak mereka. Jika kelak lahir seorang bayi dari rahim Risma, mereka akan menjadi saudara sepersusuan. Padahal tak ada niat sama sekali hal ini akan terjadi. Ah, rasanya Riswan terlalu panjang memikirkan masa depan mereka, sedangkan dia saja belum tahu reaksi Bu Hamdiyah. Apakah perempuan sepuh itu akan menerima tindakan Risma atau malah sebaliknya? Dia akan menjauhkan cucunya dari sang istri."Mas, kok malah bengong. Katanya mau jalan-jalan. Kita ajak anak kita sekalian, setelah aku kasih ASI dia pasti tertidur karena kenyang. Jadi, gimana jalan-jalannya?""Hmm. Bentar, ya.
Read more

142. Sebuah Nama

Happy Reading*****"Ibu apa kabar?" tanya Risma pada Hamdiyah. Perempuan sepuh itu mengusap air matanya. Entah mengapa, dia tak bisa membendung lelehan air itu ketika sapaan Risma menyapa rungu. Apalagi ketika melihat barang belanjaan yang dibawa sebuah kereta dorong bayi dan juga tempat tidur dipegang oleh Riswan. "Kabar Ibu baik, Mbak. Gimana keadaan Mbak Risma?" tanya balik Hamdiyah. Sepertinya memang Risma tak menginggat apa pun padahal semalam, Hamdiyah sudah menyapanya saat berpamitan pulang. Namun, memori itu seakan lenyap tak berbekas. "Baik. Ibu tahu nggak kalau saya sudah melahirkan. Bayiku cowok," jelasnya, "itu dia, si dedek yang digendong sama Ibu." Risma menunjuk bayi dalam gendongan Rini. Hamdiyah cuma bisa mengelus dada. Mengangguk walau mulutnya ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, wajah Risma yang penuh kebahagiaan mengurungkan semua niat perempuan sepuh itu. Memori Hamdiyah terlempar pada kejadian semalam saat wajah Risma tanpa ekspresi. Kosong, diam dan
Read more

143. Ikhlasnya Hati

Happy Reading*****Perkataan Hamdiyah terhenti. Risma berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Beberapa saat kemudian, Risma kembali membawa cucu perempuan sepuh itu dalam gendongannya. Tawa kecil perempuan itu perlihatkan, berbicara sendiri sambil menatap sang bayi. Sungguh, interaksi keduanya sudah seperti ibu dan anak."Sepertinya dia takut sendirian di kamar. Pas bangun tengok kanan kiri nggak ada orang, langsung nangis, deh. Ih, dedek bikin gemes aja." Risma menciumi bayi itu. Duduk di sebelah suaminya, lalu menatap pada Hamdiyah dan bertanha "Jadi, siapa nama yang Ibu sarankan untuk anak saya?""Ah, Mbak Risma masih inget saja." Hamdiyah mengibaskan tangannya di depan muka sendiri. Sedikit tawa kecil lolos. "Ya, ingetlah, Bu. Wong cuma beberapa menit yang lalu. Kalau bukan karena si kecil nangis mana mungkin percakapan kita tertunda. Jadi, siapa nama yang Ibu sarankan?" tanya ulang Risma. "Sudah nggak sabat pengen tahu."Hamdiyah memejamkan mata. Setelahnya mengembuskan napas pa
Read more

144. Acara Akikah

Happy Reading*****Setengah terkejut, Riswan melirik istrinya. Namun, kedua kelopak mata Risma masih terpejam dengan erat. Si lelaki mengelus dada. Ternyata perempuan itu cuma mengigau. "Kirain kamu beneran dengar omonganku tadi, Yang. Ternyata ngigau. Huh, sampai deg-degan."Lambat laun, Riswan pun ikut tertidur di sebelah Risma sambil memeluk pinggang yang semakin ramping saja. Malam ini, dia pasti akan tertidur pulas karena melihat kebahagiaan istrinya. Pagi menjelang, kediaman Riswan sudah dipenuhi kehebohan dengan tangisan Fattah. Baru sebentar ditinggal Risma untuk mandi, tangisnya sudah membahana. Candaan serta gendongan penuh kasih sayang dari para orang tua tak mampu menghentikannya. Riswan sendiri mulai panik, pasalnya sang istri belum juga keluar dari kamar mandi. Sekalipun dia sudah mengetuk pintu dan juga memanggil namanya. "Apa dia laper, ya?" tanya Rofikoh, "gimana kalau kita kasih pisang yang dikerok kayak jaman dulu itu?" "Hust!" kata Fadil memperingati. "Nggak
Read more

145. Tamu Tak Diundang

Happy Reading*****"Itu temen kita pas SMP dulu," jawab Zikri. Dia memutar keras otaknya agar Risma tak sampai curiga. Sementara Davian, menatap lelaki itu dengan aneh. Entah apa yang dipikirkan, tetapi setelah kepergian Risma nanti, Zikri akan menjelaskan semuanya. Sahabat Risma itu sudah diwanti-wanti agar tak menyinggung ataupun menceritakan hal sebenarnya oleh Riswan tadi. "Siapa, Zik? Kasihan banget anaknya meninggal," kata Risma. "Itu lho, si Nety. Inget nggak?""Nety yang mana, Zik?" Kali ini Davian makin tidak mengerti dengan perkataan sahabatnya. Makin dibuat bingung dengan nama yang Zikri sebutkan. "Kayaknya kamu lupa, Dav. Dia memang nggak sekelas sama kita, cuma kami sering makan bareng di kantin dulu. Iya kan, Ris?"Perempuan yang ditanya malah melongo. Pasalnya, Risma belum mampu mengingat nama Nety sebagai salah satu sahabatnya. "Au, ah. Aku nggak inget banget. Kali aja Intan tahu. Meninggal kenapa anaknya?"Dalam hati, Zikri merutuki kebohongannya. Apa yang harus
Read more

146. Tamu Tak Diundang 2

Happy Reading*****Lelaki dengan tinggi sekitar 170 cm, rambut ikal, kulit sawo matang, tengah mengambil sebuah jam tangan yang tergeletak di meja ruang tamu. Hamdiyah yakin, barang tersebut adalah milik Riswan. "Hey apa yang kamu lakukan?" tanya Hamdiyah sedikit membentak. Lelaki itu mendongakkan kepala dan tersenyum. Baru Hamdiyah sadari bahwa tamu itu adalah putra sulungnya. "Harun!" pekik Hamdiyah. Dia juga melototkan mata ketika melihat perbuatan putra sulungnya. "Kembalikan barang itu pada tempatnya!""Ibu kenapa, sih? Barang ini sudah nggak berguna bagi pemiliknya, maka ditaruh seenaknya saja. Dari pada gitu, kan, mending aku yang nyimpen. Lumayan kalau dijual bisa buat beli beras dan jajan anak-anak." Harun mencium arloji yang diperkirakan berharga fantastis itu. "Ibu nggak pernah ngajarin kamu mencuri. Kembalikan arloji itu sebelum Mas Riswan tahu." Hamdiyah berusaha merebut jam tangan yang berada di tangan putranya. Namun, karena tingginya yang tak seberapa dibanding pu
Read more

147. Harun Oh Harun

Happy Reading*****Ancaman Harun mampu membuat Hamdiyah tercengang. Namun, detik berikutnya si perempuan mendaratkan tamparan yang cukup keras. "Berani kamu melakukan itu, Ibu nggak segan-segan melapor pada polisi. Ingat, ya, kamu pernah mencuri uang Ibu dan juga menjual tanah tanpa ijin."Bukannya takut, Harun malah tertawa lebar. "Laporin aja, Bu. Toh nggak ada bukti kalau aku yang mencuri uang dan menjual tanah Ibu. Apa iya polisi akan percaya begitu saja dengan perkataan Ibu jika tanpa bukti?" "Oh, ya? Ibu memang nggak punya bukti, tapi saksi hidup atas kejahatanmu masih ada dan dia bersedia mengatakan yang sebenarnya." Harun mundur beberapa langkah. Duduk kembali pada kursi. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu. Saat dirinya dengan tega mencuri uang asuransi ayahnya yang baru saja dicairkan. Dia juga membawa lari sertifikat tanah, lalu menjualnya pada seseorang."Diam, kan?" bentak Hamdiyah, "sebaiknya kamu pulang sekarang. Ibu nggak mau lihat kamu di sini."
Read more

148. Terungkap

Happy Reading*****"Jangan percaya omongannya, Mbak. Dia memang pandai berbohong." Hamdiyah menatap tajam pada putra sulungnya, lalu melirik Risma. Makin geram dengan kelakuan si sulung. Teganya dia berbuat demikian pada orang yang sudah merawat cucunya. "Ibu tenang saja. Saya nggak papa, kok," kata Risma menenangkan Hamdiyah. "Mas Harun ini adalah putra sulung Ibu, kan?" tanyanya pada lelaki yang baru saja mengatakan kebenaran tentang Fattah. Perkataan Risma cukup lembut. Tak ada sekalipun tanda-tanda dia terkejut dengan kalimat yang diucapkan Harun. "Iya bener. Saya memang anak kandung Ibu, tetapi saya nggak setuju dengan kelakuan Ibu yang menjual cucunya sendiri pada njenengan. Makanya, saya mengatakan kebenaran ini." Omongan Harun makin ngelantur membuat perempuan sepuh itu geregetan. Garis bibir Risma terangkat, seakan mencemooh perkataan si lelaki. Dia tetap tenang menghadapi lelaki itu. "Benarkah Ibu melakukannya atau njenengan yang nggak mau bertanggung jawab merawat bayi
Read more

149. Pengganggu Cilik

Happy Reading*****"Eh, anak Mama sudah bangun," sapa Risma. Fattah menunjukkan senyumnya. Walau masih belum menjawab perkataan Risma. "Yang, nggak jadi, nih?" rajuk Riswan. Si lelaki masih menempel erat di belakang Risma sambil memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang. "Bentar, ih. Kasihan dia terbangun jam segini.""Alamat nggak bakal tidur sampai malam," jawab Riswan, "ya, sudah. Mas, mandi dulu saja. Kamu nenenin Fattah siapa tahu dia cepet tidur lagi.""Ish, baru juga bangun suruh tidur lagi. Mas ini nggak kasihan sama anaknya." Risma mengangguk-anggukkan kepala pada bayi di depannya. "Bener kan kata Mama, Sayang?" Dia mengulurkan tangannya untuk meraih Fattah yang kakinya mulai menendang-nendang, seperti tak sabar minta digendong. Riswan mencubit pipi Fattah pelan. "Mulai pinter, ya, sekarang. Papa nggak boleh berduaan sama Mama. Mas, mau mendominasi Mama, ya?"Sebuah ocehan tak jelas keluar dari bibir mungil itu membuat kedua orang tua angkatnya semakin gemas. "K
Read more

150. Rencana Adopsi

Happy Reading*****"Mandi dulu, nanti diceritain," kata Risma dan Rofikoh bersamaan. "Siap!" Riswan mengangkat tangan kanan memberi hormat. Sepeninggal suaminya, Risma menceritakan kejadian kemarin pada mertuanya. Tentang bagaimana Harun mengancam dan membeberkan semua rahasia mengenai Fattah. Termasuk ketakutan Bu Hamdiyah mengenai keadaannya. "Untung Bunda sudah cerita semuanya." Raut bahagia terpancar dari Rofikoh. Entah mengapa sejak Risma bercerita bahwa sulung Hamdiyah mengunjunginya, hatinya tergerak untuk menceritakan kebenaran tentang Fattah. "Naluri seorang Ibu, Mbak, kuat pastinya." Rofikoh masih menimang-nimang Fattah dan mencandai bayi menggemaskan itu. "Oh, ya. Hari ini Bunda sudah ada janji sama pengacara perihal pengurusan surat adopsi. Syarat-syarat sudah kita penuhi semua tinggal ngasih ke beliau. Semoga nggak ada kendala, jadi kita bisa merawat Fattah dengan baik. Semoga juga prosesnya cepat agar nggak ada lagi ancaman dari Harun.""Amin. Mas Riswan belum tanda
Read more
PREV
1
...
1314151617
...
22
DMCA.com Protection Status