Home / Pernikahan / Setahun Tanpa Sentuhanmu / 141. Naluri Seorang Ibu

Share

141. Naluri Seorang Ibu

Author: pramudining
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Happy Reading

*****

"Yang, kamu?" kata Riswan melongo melihat adegan di depannya. Tanpa berkedip sama sekali.

"Kenapa, Mas? Kok aneh gitu lihatnya? Dia nangis mungkin karena kehausan. Kasihan dari semalam belum aku kasih ASI," ucap Risma enteng. Seolah-olah bayi itu adalah anak mereka.

Garis bibir Riswan terangkat, bukan bahagia, tetapi bingung harus menjawab apa. Bayi mungil yang sedang diberi ASI itu bukanlah anak mereka. Jika kelak lahir seorang bayi dari rahim Risma, mereka akan menjadi saudara sepersusuan. Padahal tak ada niat sama sekali hal ini akan terjadi.

Ah, rasanya Riswan terlalu panjang memikirkan masa depan mereka, sedangkan dia saja belum tahu reaksi Bu Hamdiyah. Apakah perempuan sepuh itu akan menerima tindakan Risma atau malah sebaliknya? Dia akan menjauhkan cucunya dari sang istri.

"Mas, kok malah bengong. Katanya mau jalan-jalan. Kita ajak anak kita sekalian, setelah aku kasih ASI dia pasti tertidur karena kenyang. Jadi, gimana jalan-jalannya?"

"Hmm. Bentar, ya.
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   142. Sebuah Nama

    Happy Reading*****"Ibu apa kabar?" tanya Risma pada Hamdiyah. Perempuan sepuh itu mengusap air matanya. Entah mengapa, dia tak bisa membendung lelehan air itu ketika sapaan Risma menyapa rungu. Apalagi ketika melihat barang belanjaan yang dibawa sebuah kereta dorong bayi dan juga tempat tidur dipegang oleh Riswan. "Kabar Ibu baik, Mbak. Gimana keadaan Mbak Risma?" tanya balik Hamdiyah. Sepertinya memang Risma tak menginggat apa pun padahal semalam, Hamdiyah sudah menyapanya saat berpamitan pulang. Namun, memori itu seakan lenyap tak berbekas. "Baik. Ibu tahu nggak kalau saya sudah melahirkan. Bayiku cowok," jelasnya, "itu dia, si dedek yang digendong sama Ibu." Risma menunjuk bayi dalam gendongan Rini. Hamdiyah cuma bisa mengelus dada. Mengangguk walau mulutnya ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, wajah Risma yang penuh kebahagiaan mengurungkan semua niat perempuan sepuh itu. Memori Hamdiyah terlempar pada kejadian semalam saat wajah Risma tanpa ekspresi. Kosong, diam dan

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   143. Ikhlasnya Hati

    Happy Reading*****Perkataan Hamdiyah terhenti. Risma berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Beberapa saat kemudian, Risma kembali membawa cucu perempuan sepuh itu dalam gendongannya. Tawa kecil perempuan itu perlihatkan, berbicara sendiri sambil menatap sang bayi. Sungguh, interaksi keduanya sudah seperti ibu dan anak."Sepertinya dia takut sendirian di kamar. Pas bangun tengok kanan kiri nggak ada orang, langsung nangis, deh. Ih, dedek bikin gemes aja." Risma menciumi bayi itu. Duduk di sebelah suaminya, lalu menatap pada Hamdiyah dan bertanha "Jadi, siapa nama yang Ibu sarankan untuk anak saya?""Ah, Mbak Risma masih inget saja." Hamdiyah mengibaskan tangannya di depan muka sendiri. Sedikit tawa kecil lolos. "Ya, ingetlah, Bu. Wong cuma beberapa menit yang lalu. Kalau bukan karena si kecil nangis mana mungkin percakapan kita tertunda. Jadi, siapa nama yang Ibu sarankan?" tanya ulang Risma. "Sudah nggak sabat pengen tahu."Hamdiyah memejamkan mata. Setelahnya mengembuskan napas pa

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   144. Acara Akikah

    Happy Reading*****Setengah terkejut, Riswan melirik istrinya. Namun, kedua kelopak mata Risma masih terpejam dengan erat. Si lelaki mengelus dada. Ternyata perempuan itu cuma mengigau. "Kirain kamu beneran dengar omonganku tadi, Yang. Ternyata ngigau. Huh, sampai deg-degan."Lambat laun, Riswan pun ikut tertidur di sebelah Risma sambil memeluk pinggang yang semakin ramping saja. Malam ini, dia pasti akan tertidur pulas karena melihat kebahagiaan istrinya. Pagi menjelang, kediaman Riswan sudah dipenuhi kehebohan dengan tangisan Fattah. Baru sebentar ditinggal Risma untuk mandi, tangisnya sudah membahana. Candaan serta gendongan penuh kasih sayang dari para orang tua tak mampu menghentikannya. Riswan sendiri mulai panik, pasalnya sang istri belum juga keluar dari kamar mandi. Sekalipun dia sudah mengetuk pintu dan juga memanggil namanya. "Apa dia laper, ya?" tanya Rofikoh, "gimana kalau kita kasih pisang yang dikerok kayak jaman dulu itu?" "Hust!" kata Fadil memperingati. "Nggak

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   145. Tamu Tak Diundang

    Happy Reading*****"Itu temen kita pas SMP dulu," jawab Zikri. Dia memutar keras otaknya agar Risma tak sampai curiga. Sementara Davian, menatap lelaki itu dengan aneh. Entah apa yang dipikirkan, tetapi setelah kepergian Risma nanti, Zikri akan menjelaskan semuanya. Sahabat Risma itu sudah diwanti-wanti agar tak menyinggung ataupun menceritakan hal sebenarnya oleh Riswan tadi. "Siapa, Zik? Kasihan banget anaknya meninggal," kata Risma. "Itu lho, si Nety. Inget nggak?""Nety yang mana, Zik?" Kali ini Davian makin tidak mengerti dengan perkataan sahabatnya. Makin dibuat bingung dengan nama yang Zikri sebutkan. "Kayaknya kamu lupa, Dav. Dia memang nggak sekelas sama kita, cuma kami sering makan bareng di kantin dulu. Iya kan, Ris?"Perempuan yang ditanya malah melongo. Pasalnya, Risma belum mampu mengingat nama Nety sebagai salah satu sahabatnya. "Au, ah. Aku nggak inget banget. Kali aja Intan tahu. Meninggal kenapa anaknya?"Dalam hati, Zikri merutuki kebohongannya. Apa yang harus

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   146. Tamu Tak Diundang 2

    Happy Reading*****Lelaki dengan tinggi sekitar 170 cm, rambut ikal, kulit sawo matang, tengah mengambil sebuah jam tangan yang tergeletak di meja ruang tamu. Hamdiyah yakin, barang tersebut adalah milik Riswan. "Hey apa yang kamu lakukan?" tanya Hamdiyah sedikit membentak. Lelaki itu mendongakkan kepala dan tersenyum. Baru Hamdiyah sadari bahwa tamu itu adalah putra sulungnya. "Harun!" pekik Hamdiyah. Dia juga melototkan mata ketika melihat perbuatan putra sulungnya. "Kembalikan barang itu pada tempatnya!""Ibu kenapa, sih? Barang ini sudah nggak berguna bagi pemiliknya, maka ditaruh seenaknya saja. Dari pada gitu, kan, mending aku yang nyimpen. Lumayan kalau dijual bisa buat beli beras dan jajan anak-anak." Harun mencium arloji yang diperkirakan berharga fantastis itu. "Ibu nggak pernah ngajarin kamu mencuri. Kembalikan arloji itu sebelum Mas Riswan tahu." Hamdiyah berusaha merebut jam tangan yang berada di tangan putranya. Namun, karena tingginya yang tak seberapa dibanding pu

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   147. Harun Oh Harun

    Happy Reading*****Ancaman Harun mampu membuat Hamdiyah tercengang. Namun, detik berikutnya si perempuan mendaratkan tamparan yang cukup keras. "Berani kamu melakukan itu, Ibu nggak segan-segan melapor pada polisi. Ingat, ya, kamu pernah mencuri uang Ibu dan juga menjual tanah tanpa ijin."Bukannya takut, Harun malah tertawa lebar. "Laporin aja, Bu. Toh nggak ada bukti kalau aku yang mencuri uang dan menjual tanah Ibu. Apa iya polisi akan percaya begitu saja dengan perkataan Ibu jika tanpa bukti?" "Oh, ya? Ibu memang nggak punya bukti, tapi saksi hidup atas kejahatanmu masih ada dan dia bersedia mengatakan yang sebenarnya." Harun mundur beberapa langkah. Duduk kembali pada kursi. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu. Saat dirinya dengan tega mencuri uang asuransi ayahnya yang baru saja dicairkan. Dia juga membawa lari sertifikat tanah, lalu menjualnya pada seseorang."Diam, kan?" bentak Hamdiyah, "sebaiknya kamu pulang sekarang. Ibu nggak mau lihat kamu di sini."

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   148. Terungkap

    Happy Reading*****"Jangan percaya omongannya, Mbak. Dia memang pandai berbohong." Hamdiyah menatap tajam pada putra sulungnya, lalu melirik Risma. Makin geram dengan kelakuan si sulung. Teganya dia berbuat demikian pada orang yang sudah merawat cucunya. "Ibu tenang saja. Saya nggak papa, kok," kata Risma menenangkan Hamdiyah. "Mas Harun ini adalah putra sulung Ibu, kan?" tanyanya pada lelaki yang baru saja mengatakan kebenaran tentang Fattah. Perkataan Risma cukup lembut. Tak ada sekalipun tanda-tanda dia terkejut dengan kalimat yang diucapkan Harun. "Iya bener. Saya memang anak kandung Ibu, tetapi saya nggak setuju dengan kelakuan Ibu yang menjual cucunya sendiri pada njenengan. Makanya, saya mengatakan kebenaran ini." Omongan Harun makin ngelantur membuat perempuan sepuh itu geregetan. Garis bibir Risma terangkat, seakan mencemooh perkataan si lelaki. Dia tetap tenang menghadapi lelaki itu. "Benarkah Ibu melakukannya atau njenengan yang nggak mau bertanggung jawab merawat bayi

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   149. Pengganggu Cilik

    Happy Reading*****"Eh, anak Mama sudah bangun," sapa Risma. Fattah menunjukkan senyumnya. Walau masih belum menjawab perkataan Risma. "Yang, nggak jadi, nih?" rajuk Riswan. Si lelaki masih menempel erat di belakang Risma sambil memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang. "Bentar, ih. Kasihan dia terbangun jam segini.""Alamat nggak bakal tidur sampai malam," jawab Riswan, "ya, sudah. Mas, mandi dulu saja. Kamu nenenin Fattah siapa tahu dia cepet tidur lagi.""Ish, baru juga bangun suruh tidur lagi. Mas ini nggak kasihan sama anaknya." Risma mengangguk-anggukkan kepala pada bayi di depannya. "Bener kan kata Mama, Sayang?" Dia mengulurkan tangannya untuk meraih Fattah yang kakinya mulai menendang-nendang, seperti tak sabar minta digendong. Riswan mencubit pipi Fattah pelan. "Mulai pinter, ya, sekarang. Papa nggak boleh berduaan sama Mama. Mas, mau mendominasi Mama, ya?"Sebuah ocehan tak jelas keluar dari bibir mungil itu membuat kedua orang tua angkatnya semakin gemas. "K

Latest chapter

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   2 14. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   213. Ulang Tahun Pernikahan 2

    Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   212. Ulang tahun Pernikahan

    Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   211. Rencana Pernikahan masal

    Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   210. Keberanian Hilmi

    Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   209. Kebahagiaan Datang

    Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   208. Rencana Masa Depan

    Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   207. Terguncang

    Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   206. Janin Dara

    Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw

DMCA.com Protection Status