Happy Reading*****Ancaman Harun mampu membuat Hamdiyah tercengang. Namun, detik berikutnya si perempuan mendaratkan tamparan yang cukup keras. "Berani kamu melakukan itu, Ibu nggak segan-segan melapor pada polisi. Ingat, ya, kamu pernah mencuri uang Ibu dan juga menjual tanah tanpa ijin."Bukannya takut, Harun malah tertawa lebar. "Laporin aja, Bu. Toh nggak ada bukti kalau aku yang mencuri uang dan menjual tanah Ibu. Apa iya polisi akan percaya begitu saja dengan perkataan Ibu jika tanpa bukti?" "Oh, ya? Ibu memang nggak punya bukti, tapi saksi hidup atas kejahatanmu masih ada dan dia bersedia mengatakan yang sebenarnya." Harun mundur beberapa langkah. Duduk kembali pada kursi. Pikirannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu. Saat dirinya dengan tega mencuri uang asuransi ayahnya yang baru saja dicairkan. Dia juga membawa lari sertifikat tanah, lalu menjualnya pada seseorang."Diam, kan?" bentak Hamdiyah, "sebaiknya kamu pulang sekarang. Ibu nggak mau lihat kamu di sini."
Happy Reading*****"Jangan percaya omongannya, Mbak. Dia memang pandai berbohong." Hamdiyah menatap tajam pada putra sulungnya, lalu melirik Risma. Makin geram dengan kelakuan si sulung. Teganya dia berbuat demikian pada orang yang sudah merawat cucunya. "Ibu tenang saja. Saya nggak papa, kok," kata Risma menenangkan Hamdiyah. "Mas Harun ini adalah putra sulung Ibu, kan?" tanyanya pada lelaki yang baru saja mengatakan kebenaran tentang Fattah. Perkataan Risma cukup lembut. Tak ada sekalipun tanda-tanda dia terkejut dengan kalimat yang diucapkan Harun. "Iya bener. Saya memang anak kandung Ibu, tetapi saya nggak setuju dengan kelakuan Ibu yang menjual cucunya sendiri pada njenengan. Makanya, saya mengatakan kebenaran ini." Omongan Harun makin ngelantur membuat perempuan sepuh itu geregetan. Garis bibir Risma terangkat, seakan mencemooh perkataan si lelaki. Dia tetap tenang menghadapi lelaki itu. "Benarkah Ibu melakukannya atau njenengan yang nggak mau bertanggung jawab merawat bayi
Happy Reading*****"Eh, anak Mama sudah bangun," sapa Risma. Fattah menunjukkan senyumnya. Walau masih belum menjawab perkataan Risma. "Yang, nggak jadi, nih?" rajuk Riswan. Si lelaki masih menempel erat di belakang Risma sambil memeluk pinggang ramping sang istri dari belakang. "Bentar, ih. Kasihan dia terbangun jam segini.""Alamat nggak bakal tidur sampai malam," jawab Riswan, "ya, sudah. Mas, mandi dulu saja. Kamu nenenin Fattah siapa tahu dia cepet tidur lagi.""Ish, baru juga bangun suruh tidur lagi. Mas ini nggak kasihan sama anaknya." Risma mengangguk-anggukkan kepala pada bayi di depannya. "Bener kan kata Mama, Sayang?" Dia mengulurkan tangannya untuk meraih Fattah yang kakinya mulai menendang-nendang, seperti tak sabar minta digendong. Riswan mencubit pipi Fattah pelan. "Mulai pinter, ya, sekarang. Papa nggak boleh berduaan sama Mama. Mas, mau mendominasi Mama, ya?"Sebuah ocehan tak jelas keluar dari bibir mungil itu membuat kedua orang tua angkatnya semakin gemas. "K
Happy Reading*****"Mandi dulu, nanti diceritain," kata Risma dan Rofikoh bersamaan. "Siap!" Riswan mengangkat tangan kanan memberi hormat. Sepeninggal suaminya, Risma menceritakan kejadian kemarin pada mertuanya. Tentang bagaimana Harun mengancam dan membeberkan semua rahasia mengenai Fattah. Termasuk ketakutan Bu Hamdiyah mengenai keadaannya. "Untung Bunda sudah cerita semuanya." Raut bahagia terpancar dari Rofikoh. Entah mengapa sejak Risma bercerita bahwa sulung Hamdiyah mengunjunginya, hatinya tergerak untuk menceritakan kebenaran tentang Fattah. "Naluri seorang Ibu, Mbak, kuat pastinya." Rofikoh masih menimang-nimang Fattah dan mencandai bayi menggemaskan itu. "Oh, ya. Hari ini Bunda sudah ada janji sama pengacara perihal pengurusan surat adopsi. Syarat-syarat sudah kita penuhi semua tinggal ngasih ke beliau. Semoga nggak ada kendala, jadi kita bisa merawat Fattah dengan baik. Semoga juga prosesnya cepat agar nggak ada lagi ancaman dari Harun.""Amin. Mas Riswan belum tanda
Happy Reading*****"Ibu yang sudah memaksaku melakukan ini. Jadi, jangan menyesal jika aku mengambilnya dengan paksa," ancamnya. Harun menatap Hamdiyah seolah-olah perempuan itu sudah merenggut seluruh kebahagiaannya. "Maksudmu apa? Ibu melakukan apa?" tanya Hamdiyah bingung. Menengok pada Riswan seakan bertanya apakah dia tahu maksud dari sulungnya itu. "Ibu nggak ngabulin permintaanku. Jadi, aku mengambil paksa apa yang menjadi hakku.""Ngomong yang jelas, Mas. Nggak usah berbelit-belit. Nggak lihat Bu Hamdiyah bingung. Lagian, hak apa yang belum diberikan oleh beliau?" tanya Riswan. Dia berharap dalam hati, semoga perkiraannya salah dan apa yang dipikirkannya tak pernah terjadi. Walau bagaimanapun, Hamdiyah adalah ibu kandung lelaki di hadapannya."Sebaiknya nggak usah ikut campur, Mas. Ini urusan antara aku dan ibu. Kamu nggak berhak apa pun. Apalagi sampai tanya ini dan itu. Ngerti?" Mata Harun membola. Sadis dan terkesan tak punya perasaan bahkan terlihat seperti memiliki den
Happy Reading*****"Apa-apaan kamu, Mas. Jangan beraninya sama orang tua! Lelaki macam apa kamu, bisanya cuma ngancam," kata Riswan keras. Melihat pisau yang ditodongkan pada Hamdiyah. "Apa kamu sudah kehilangan akal? Sampai-sampai mengancam ibumu sendiri," imbuhnya. "Diam di sana! Jangan suka mencampuri urusan kami. Dia itu ibuku, suka-suka aku mau ngapain aja," balas Harun tak kalah keras. "Dia ini sudah nggak adil. Harusnya aku yang dapat bagian rumah ini dan juga tanah di dekat jalan raya, tapi Ibu malah memberikannya pada adikku dan sekarang malah diwariskan pada Fattah.""Harun!" kata Hamdiyah, "Ibu akan memberikan hak Fattah padamu, tapi kenapa kamu masih serakah. Padahal bagianmu sudah jauh lebih besar. Apa kamu nggak ingat kalau pernah mencuri uang assuransi ayahmu dan menjual tanah ibu. Sekarang, saat ibu ikhlas memberikan bagian Fattah, kamu masih bersikukuh untuk menjual rumah ini. Ibu nggak akan menyerahkan akta jual beli padamu. Walau nyawa taruhannya. Silakan goreskan
Happy Reading*****"Mas, jangan laporkan Harun. Kasihan dia kalau sampai dipenjara. Ibu sudah nggak papa, kok." Hamdiyah menyatukan kedua tangannya. Memohon agar sang majikan tak melakukan apa yang baru saja didengar. "Bu, dia itu sudah mengancam njenengan. Kami, hanya ingin memerikan efek jera saja. Jika diteruskan seperti itu, Mas Harun bakalan terus menjadi ancaman. Bu nggak mau hidup tenang dan damai?" tanya Riswan. Hamdiyah menatap orang sekelilingnya. "Saya cuma nggak mau dia dendam setelah kejadian itu, Mas. Njenengan nggak tahu seberapa besar kemarahannya ketika dia sudah kehilangan kewarasan. Lebih baik nggak usah dilaporkan. Ibu nggak mau makin lebar masalahnya.""Nggak bisa gitu, Bu. Harun sudah sangat meresahkan. Sama ibunya saja dia berani apalagi sama orang lain," sahut Lutfi. "Setidaknya biarkan dia mendapat efek jera, Bu." Rini menambahkan. "Saya nggak yakin Harun bakalan jera, Bu. Dia malah akan semakin dendam pada saya dan keluarga ini. Sejak kecil sifatnya mema
Happy Reading*****Melihat senyum majikannya, Hamdiyah mengambil berkas yang diberikan Harun. Duduk pada sofa di ruang tamu dan membacanya dengan saksama. Garis bibirnya terangkat sedikit setelah beberapa menit membaca isi syarat tersebut. "Kamu sudah baca keseluruhan isi dari syarat ini? Pasal mana yang menyebutkan bahwa Mas Riswan memisahkan hubungan anak dengan ibunya?" Hamdiyah mendelik pada putra sulung dan satu-satunya buah hati yang dimilikinya saat ini. Harun menatap bingung, pasalnya dia membaca setiap kalimat yang tertera di sana tidak ada hal menguntung sama sekali untuknya. Padahal lelaki itu sudah memiliki segudang rencana setelah menjual aset milik Hamdiyah. Apalagi mengetahui siapa orang yang membelinya. Si sulung merebut kembali kertas itu dan mulai membaca dengan benar, tetapi tak ada satu pun yang menguntungkan. Semua menyudutkan Harun dari segi mana pun juga. "Mana ada, Bu. Semua syarat di sini mengatakan aku harus menjauh setelah menerima uang pembayaran rumah
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw