Beranda / Pernikahan / Tak Semanis Madu / Bab 151 - Bab 160

Semua Bab Tak Semanis Madu: Bab 151 - Bab 160

174 Bab

152. Syarat dari Papa

POV BellaMelihat kedua lelaki hebatku keluar bersama, rasanya hati ini damai. Kiranya masih ada kedekatan yang intens diantara anak dan ayah tersebut. Namun, ada yang menyita perhatian saat Papa berjalan mendahului Abi, tanpa menyapa atau mengatakan sesuatu pada Abi yang ada di depannya.Ah, sudah lah, kutepis semua pikiran buruk yang ada di benakku. Aku tak boleh berpikir yang macam-macam. Karena kadang, apa yang kita pikirkan akan menjadi sugesti dan berakhir menjadi kenyataan."Duduk, Pa," seruku pada Papa yang sudah berjalan mendekati meja makan kemudian duduk di sana, sedangkan Abi masih berdiri mematung di depan pintu kamar Papa."Bi, ayo, lihat sudah jam berapa?" tanyaku mengingatkan Abi dengan menunjuk pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan."Ya." Cepat Abi berjalan menuju meja makan lalu duduk di sebelahku, tepatnya di kursi yang biasa ia tempati."Ini, susu coklat pesananmu." Kusodorkan satu gelas susu coklat yang dipesan olehnya. Cepat Abi merai
Baca selengkapnya

153. Syarat dari Papa 2

Kupersiapkan makan siang dan kuletakkan di box dengan rapi, makan siang untuk Abi yang pergi membawa seribu jawaban atas pertanyaan yang bergelantungan di benakku, setelah Papa bersedia untuk tinggal dengan syarat aku tak marah dan tak ada pertengkaran antara aku dan Abi karenanya.Tentu aku mengiyakan syarat itu. Menurunkan ego pada Abi, mengalah bukan berarti kalah, aku sedang berusaha mengembalikan apa yang sudah semestinya."Asri, jadi sejak semalam Papa mau pergi?" Bertanya pada Asri akan lebih baik dari pada bertanya pada Abi dan akhirnya menimbulkan pertengkaran setiap kami membahas Papa."Iya, Mbak. Maaf, Asri sudah menghubungi Mas Abi. Asri kira Mas Abi sudah memberi tahu pada Mbak," lirih suara Asri menjawab.Saat ini yang bisa aku lakukan hanya berpikir positif, mungkin Abi tidak ingin aku kepikiran tentang Papa. Ya, aku tidak boleh berpikir macam-macam. "Ya, sudah. Kamu lanjutkan berkemas. Aku akan ke majalah mangantar makan siang."Kubersihkan wajah sembab lalu memoles
Baca selengkapnya

154. Merajut impian

POV AbiMelihat begitu setianya Bella yang tidur meletakkan kepalanya di sebelahku. Membuat diri ini merasa sangat dicintai. Tak bisa dipungkiri, dalam hal ini aku pun salah, masalahku dengan Papa membuat lidahku seolah mati rasa. Wajah papa yang sudah mengeluarkan aura berbeda kala itu membuatku lupa rasa susu coklat yang aku pun tak menyukainya, bagiku coklat tidak enak saja. Sempat aku merasakan keanehan tapi tak kuhiraukan karena begitu inginnya aku berlari dari tempat itu tanpa meninggalkan keributan. Apakah rasa takut pada Papa masih ada dalam diriku? Sehingga aku tak bisa merasakan perbedaan susu yang masih bagus dan tidak, malah meneguknya tanpa sisa? Lidah pemilih yang selama ini aku miliki pun tak bisa bekerja dengan baik saat aku dihadapkan dengan Papa yang memasang wajah menakutkan, wajah yang selama ini membuat nyaliku selalu menciut saat Papa sudah mengeluarkannya. Ah, entahlah. Maka, setelah dokter menyatakan aku keracunan, pikiranku tentu langsung tertuju pada susu ta
Baca selengkapnya

155. Merajut impian 2

POV Bella.Malam setelah kami pulang dari rumah sakit. Abi tetap kekeh ingin pulang ke Jakarta. Entah apa yang sebenarnya ingin dia kerjakan dan tidak bisa lagi ditunda. Urusan majalah tentang peraturan baru itu juga sudah terselesaikan dengan sedikit bantuan dariku. Selepas sholat Isya kamipun memulai perjalanan.Sopir pun terpaksa kami sewa karena Abi tak mungkin melakukan perjalanan jauh sendiri. Mobil Mercy tak cukup untuk kami berempat, sehingga kami menyewa mobil yang lebih besar. Barang kami pun cukup banyak, bukan barang kami, tapi barangku. Sehingga tak mungkin hanya mengandalkan mobil Abi. Aku dan Abi ikut mobil Abi yang disupiri oleh Mang Usman sendiri, villa Mang Usman dititipkan ke tetangga untuk sementara. Sedangkan Papa memilih ikut mobil yang kami sewa bersama Asri dan supirnya.Kami duduk di bangku belakang. Dalam perjalan malam ini, Abi lebih banyak tidur dan bersandar di pundakku. "Sayang, kita sudah sampai rumah." Tak mungkin menggendong Abi masuk, aku pun me
Baca selengkapnya

156. Bidadariku yang terluka

Seperti apa yang Abi perintahkan, dengan bantuan sopir dari kantor, aku bergegas menuju butik yang Abi sudah katakan pagi tadi. Butik besar dan megah ada di hadapanku saat ini. Memasukinya dengan langkah pelan namun pasti. Seorang wanita paruh baya dengan tampilan modis pun menghampiri. "Bella, ya? Istri Abimana?" ucapnya menyambutku."Iya, Tante, jawabku tersenyum ramah." "Yuk, masuk," ajaknya menggandeng tanganku, tampaknya dia sudah kenal baik dengan Abi, terlihat dari caranya memperlakukanku yang begitu ramah."Sebuah ruangan penuh dengan gaun cantik, aku pun memasukinya. Kuedarkan pandangan dengan penuh rasa takjub melihat hasil karya yang begitu mempesona dan indah dipandang mata. Sebuah gaun di sudut ruangan menyita perhatian, aku pun mendekati toh Tante Mayang masih mempersiapkan alat dan design untuk gaunku. "Indah sekali," gumamku memandang dengan mata kagum. Kuamati setiap detailnya, sepasang gaun pengantin warna emas begitu indah dan sedap dipandang mata. Hingga langk
Baca selengkapnya

157. Bidadariku yang terluka 2

POV AbimanaPagi ini aku harus bertemu pihak Batam yang sudah tidak bisa ditunda lagi, setelahnya aku ke Hayuda. Meta menghubungi agar aku segera ke sana begitu sampai Jakarta."Eh, Meta, nggak bisa lebih lembut kalau ngajarin? Cantik-cantik, kasar!""Bapak itu harus diajari seperti ini, biar cepat pintar, heran, sudah berkali diajari tetap saja belum paham!" Kudengar perdebatan antara Adip dan Meta saat aku hendak masuk ke ruangan Adip."Pantes jadi perawan tua, galak kayak singa!" "Bapak nggak ngaca? Umur berapa? Bahkan di luar sana orang seumuran Bapak sudah punya anak, dua malah!" "Ehm, pagi," sapaku masuk ke ruangan yang saat ini hanya diisi oleh Meta dan juga Adip."Pagi, Pak." Cepat Meta berdiri memberi hormat. "Gimana, Met, ada perkembangan?""Sedikit.""Sedikit?! Sedikit kamu bilang? Kau bahkan menyuruhku lembur setiap hari, Met?" sela Adip tak terima."Tapi belum sempurna, Pak.""Saya perhatikan kalian ribut dari tadi. Setiap hati seperti ini? Gimana ada titik temu? Kamu
Baca selengkapnya

158. Terlena

Ini adalah kali pertama aku menolak Abi, penolakan yang berakhir benar-benar dengan penolakan. Jika biasanya penolakanku hanya pura-pura karena gengsi dan berujung mengarungi samudra cinta bersama. Namun, tidak untuk malam ini. Aku benar-benar menolaknya. Dosa? Pasti, sebagai seorang istri, seharusnya aku melayani suamiku kapanpun ia menginginkannya, tapi kali ini aku benar-benar ling lung oleh masa lalu.Kami makan malam seperti biasa, kulayani Abi sebagaimana mestinya meski hati sebenarnya masih enggan menatapnya. Tak ada suara, hanya sesekali aku menangkap Abi tengah mencuri pandang padaku yang duduk di sebelah Papa. Ya, malam ini sengaja aku mengubah posisi duduk yang sebelumnya di sebelah Abi menjadi di sebelah Papa. Aku membutuhkan waktu untuk sendiri.Beruntung Papa tidak banyak bertanya, dan langsung masuk ke kamarnya begitu makan malam selesai. Berbeda dengan Abi yang masih duduk di ruang tengah menikmati acara moto GP kegemaran.Aku? Setelah makan malam selesai, aku memban
Baca selengkapnya

159. Terlena 2

Kembali aku masuk ke dalam kamar. Mengembalikan mukena ke lemari. Abi pun masuk sebelum aku bergegas ke dapur. Mengunci pintu lalu mendekatiku. Membingkai tubuhku dengan kedua tangan yang bertumpu pada lemari yang ada di belakangku, aku tercekat. Tak mampu lagi bersuara. Kami saling beradu pandang, dia terus memangkas jarak diantara kami membuatku semakin tercekat, kala hembusan napasnya menyapu setiap bulu halus di kulit wajahku, hangat aku rasakan. "Aku mencintaimu, Bell, hanya kamu," lirihnya di sela tatapan mata yang menusuk tepat pada jantungku. Jantung yang debarannya pun selalu ada nama Abimana. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Dengan berani dia menc*um bibirku, aku terbuai dan terlena oleh suasana. Sehingga harus berakhir dengan kalah, ya aku sudah kalah melawan manusia gigih dan sekeras batu ini, sampai akhirnya kami pun harus mengarungi nirwana dan terbuai kenikmatan di waktu subuh. Begitu garangnya Abi melampiaskan hasrat yang sempat tertunda oleh penolakan, membuatnya
Baca selengkapnya

160. Hadiah dari Papa

Usai mengantar Papa kembali ke rumah, aku dan Abi melanjutkan perjalan tepatnya setelah dhuhur kami berangkat seperti apa yang Papa perintahkan. Papa tidak memberi tahukan apa yang diinginkan, akan diberi tahu nanti katanya kalau kami sudah sampai.Kami melakukan perjalanan sesuai map, Abi di depan kemudi dan aku tetap di bangku penumpang. "Kamu yakin, Bell? Ini sesuai? Kamu nggak salah baca map, kan?" tanya Abi di depan kemudi yang tampak bingung dengan arah tujuan."Yakin. Udah nurut aja!" perintahku."Coba aku lihat," pintanya mengulurkan tangan meminta ponselku. Cepat aku menjauhkannya."Nggak boleh, nanti kamu mengarahkan ke tempat lain lagi."Ia menghela napas. "Ya sudah lah, oke. Aku ikut kamu." Kembali kami melanjutkan perjalanan, dengan aku sebagai penunjuk jalannya. Tempat mengarah pada sebuah hotel mewah di kawasan yang bertuliskan Ancol. Aku tak pernah ke tempat ini sebelumnya, tapi aku tau kalau Ancol adalah tempat wisata. Kembali aku cek lokasi dan benar ini sudah ses
Baca selengkapnya

161. Hadiah dari Papa 2

"Apa? Kita nggak bisa pulang kok Alhamdulillah?!" Ponsel di dalam Sling bag yang kubawa kembali bergetar. Kuambil lalu kubuka, sebuah pesan lagi dari Papa.[Asri sudah menyiapkan kebutuhan kalian di dalam koper. Semoga bermanfaat.]Tak lupa papa membubuhkan emoticon semangat di akhir kalimat.Aku menghela napas, rupanya mereka sudah bekerja sama, Asri dan Papa bekerja sama."Kenapa?" Lagi-lagi Abi bertanya."Mana kopernya, aku mau mandi," ucapku mengambil koper kecil dari tangan Abi lalu membukanya. Dan lagi, aku kembali tercengang saat melihat semua lingerie milikku ada di sana. Tanpa ada baju ganti untukku. Terdapat tulisan juga di sana yang menempel pada penutup koper bagian dalam 'Selamat berbulan madu anak-anak. Semoga suka dengan hadiah dari Papa, bawalah cucu sebagai imbalannya'. Seperti itulah tulisan yang ada di balik koper itu.Abi pun terlihat mematung saat aku membuka koper, tampaknya dia pun melihat apa yang aku lihat. Cepat aku menutupnya sebelum wajahku berubah warna ka
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
131415161718
DMCA.com Protection Status