Beranda / Pernikahan / Tak Semanis Madu / Bab 161 - Bab 170

Semua Bab Tak Semanis Madu: Bab 161 - Bab 170

174 Bab

162. Bella mulai berubah

Selepas sholat subuh, kubuka gorden yang menutupi jendela kaca besar yang ada si sebelah dinding hotel, terlihat kaca yang sedikit mengembun menyisakan tetesan air hujan yang turun menjelang subuh. Sejuk dan dingin udara pagi ini terasa hingga ke tulang. Seiring menyejuknya hatiku yang sempat membara terbakar api cemburu. Aku memutuskan untuk berdamai dengan hatiku. Meski sakit itu suatu saat akan kembali meyeruak seiring terkuaknya setiap kenyataan di masa lalu yang tidak aku ketahui. Menata dan menyiapkan hati agar lebih siap adalah tugas dan prioritasku saat ini."Sayang." Abi datang menghampiriku memelukku dari belakang. "Terimakasih sudah bersedia untuk berdamai dengan hatimu dan memaafkan aku," lembut tuturnya, selembut perlakuan yang ia berikan padaku tadi malam, mengulang waktu pertama kali kami bercumbu. Ya, ia memperlakukan aku seolah malam tadi adalah malam pertama yang pernah kami lewati pasca ijab kabul dulu. Membuatku merasa melayang dan terbuai oleh perlakuannya."Mung
Baca selengkapnya

163. Bella mulai berubah 2

Menjelang malam kami sampai di rumah. Asri membukakan pintu gerbang begitu Abi menyalakan klakson."Selamat datang Mas Abi, Mbak Bella," sapa Asri begitu kami keluar dari mobil dengan wajah sumringah."Ambil tu koper di dalam, nggak guna," kata Abi memasuki teras."Nggak guna gimana to? Mas sama Mbak, membohongi Tuan?" tanya Asri menyelidik."Udah Sri kamu ambil aja. Harusnya sertakan baju ganti, biar liburan nggak bau terasi," kataku. Aku menggeleng lalu tersenyum."Maaf, Mbak. Kalau Asri kasih takutnya gagal.""Tanpa memakai itu pun istriku sudah menggoda, Sri," celetuk Abi aku pun sontak memukulnya. Begitu ringan dia mengucap hal yang membuatku malu. Asri tertawa kecil."Ayo, Sayang masuk." Aku pun membersamainya masuk ke dalam."Assalamualaikum, Pa," sapaku mengecup punggung tangan Papa yang terlihat duduk di ruang keluarga menyaksikan acara berita. Sedangkan Abi memilih langsung masuk ke kamar. "Waalaikumsalam, gimana? Suka hadiahnya?"POV AbiKutinggalkan menantu dan mertua it
Baca selengkapnya

164. Malaikat kecil

Akhir pekan pun tiba, tandanya acara sudah di depan mata. Rumah disulap sedemikian rupa bak istana di negeri dongeng. Halaman kami cukup luas sehingga tak perlu menyewa gedung di luar sana. Sungguh seperti impianku selama ini. Entah kapan Abi menyiapkannya, namun ia tak terlihat sibuk sama sekali saat mengambil cuti beberapa hari terakhir. Abi hanya sibuk melayani keinginanku yang akhir-akhir ini semakin banyak mau. Sampai-sampai harus pergi ke Bandung karena aku menginginkan siomay dari Bandung yang biasa mangkal di gang belakang kantor majalah."Cantik sekali istri Abimana ini?" celetuk Abi yang baru datang selepas berganti pakaian dari kamar sebelah kemudian duduk di sebelahku, meraih jemariku. Aku terpana utuk sesaat. Dia sungguh sangat tampan hati ini. "Loh, kok dingin seperti es batu? Kamu sakit apa gugup?" lanjutnya menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, menghangatkan. Malu sekali aku rasanya."Kamu suka nggak, Bell?" tanya Abi. Kami pun beradu pandang . Dia sungguh terl
Baca selengkapnya

165. Malaikat kecil 2

"Ya, Cantik kenapa? Butuh sesuatu atau ada yang kurang nyaman sama gaunnya?" tanya Tante Mayang memeriksa gaunku. Cepat aku meraih tangannya, ia pun menatapku."Maaf, maaf atas kejadian di butik tempo hari. Aku sudah bersikap kurang menyenangkan dengan berpikir negatif terhadap Tante." Tante Mayang tersenyum. Sungguh aku benar-benar malu atas kejadian itu. Bahkan aku tak beramah tamah setelah Tante Mayang mencabut kertas dari gaun Abi dan Tari. Bisa dibilang, Tante Mayang ikut menjadi korban atas kemarahanku dengan membiarkannya saja bicara sendiri tanpa sepatah kata aku menjawab waktu itu. "Nggak papa, Sayang. Tante senang, Tante tau kamu cemburu, itu tandanya kamu sangat mencintai keponakan Tante yang sedingin kulkas dua pintu ini." Penuturan Tante Mayang membuatku semakin malu."Eh, Mas Yuda, sini." Tante Mayang memanggil Papa yang terlihat berjalan melewati pintu ruangan kami. Papa pun mundur kembali."Kenapa, May?" tanya Papa melangkah masuk ke ruangan tempat kami bertiga berk
Baca selengkapnya

166. Rayuan Abi

POV ABI"Asri!" teriakku dari meja makan."Ya, Mas," tergopoh Asri datang menemui."Ini apa, Sri? Kan Bella ngga bisa makan beginian?" kataku menunjuk pada piring yang berisi roti tanpa dibakar terlebih dahulu."Semalem Mbak Bell pesennya mau makan yang gitu kok, Mas," terangnya."Yakin, kamu?" tanyaku tak percaya, selama hamil Bella selalu makan roti bakar tidak pernah tawar."Yakin, Mas, yakin." "Ya, sudah, sana balik." "Iya."Bella keluar kamar setelah Asri kembali ke dapur. Bergegas menuju meja makan. "Sayang, udah sarapan?" tanyanya menghampiri dengan sikap manis meski kadang tiba-tiba berubah sinis."Nungguin kamu, kan.""Papa, mana?""Nggak tau." "Kok nggak tau?""Tanya aja Asri.""Gimana sih Abi,"Bella pun memanggil Asri dan bertanya keberadaan mertua kesayangan itu dan Asri mengatakan bahwa Papa sedang berolahraga. Kami pun memutuskan untuk sarapan, karena hari sudah mulai siang dan aku harus pergi ke kantor."Bi, ini apa, aku nggak mau. Enek tau nggak, kan aku
Baca selengkapnya

167. Rayuan Abi 2

Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta
Baca selengkapnya

168. Ribetnya seorang Abimana

Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Baca selengkapnya

169. Ribetnya seorang Abimana 2

"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Baca selengkapnya

170. Kedatangan tamu

Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
Baca selengkapnya

171. Kedatangan tamu 2

"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
131415161718
DMCA.com Protection Status