Beranda / Pernikahan / Tak Semanis Madu / Bab 141 - Bab 150

Semua Bab Tak Semanis Madu: Bab 141 - Bab 150

174 Bab

142. Go Public 3

Kuhembuskan napas panjang ditengah suasana yang memanas, akhirnya saat ini datang juga. Namun, yang lebih menarik perhatian adalah nama Atmajaya yang biasa Abi selipkan di belakang namaku sekarang berubah menjadi Abimana, jadi Abi benar-benar menanggalkan nama Atmajaya? "Bell, ayo naik!" kata Abi yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku tanpa aku sadari membuatku menepis segala pikiran tentang nama belakang Abi.Tanpa menunggu jawaban, Abi meraih tanganku dan membantuku naik. "Abi, aku gugup, apa yang harus aku lakukan di sana?" tanyaku."Gugup? Aku tidak akan membiarkanmu sendiri, Bell, pegang tanganku terus, ya. Biar nggak gugup," ucapnya memberi arahan. Tangan hangat yang menggenggam tanganku membuat tanganku yang terasa dingin sedikit menghangat.Sesampainya aku di panggung, suara-suara bak lebah yang mendengung saling bersahutan pun kembali terjadi, mereka pun sesekali melirik ke arahku. Membuatku kembali tegang. "Abi, mereka ....""Duduklah, kakimu akan sakit," kata Abi memberi
Baca selengkapnya

143. Saling mengasihi

Dengan berat hati aku terima microfon dari Abi. "Nggak perlu berdiri, duduk aja," kata Abi saat melihatku hendak berdiri. Aku pun kembali duduk. Entah apa yang terjadi padaku saat ini. Bahkan, dengan Abi pun aku tidak bisa menjawab atau memberontak sekarang. Tampaknya aku sedang dikuasai oleh rasa gugup.Aku duduk dan Abi mundur beberapa langkah menuju arah belakangku. Namun, tak sedikitpun ia meninggalkan atau melepaskan aku, kedua tangganya kini terus memegang pundakku menguatkan. "Katakan semua yang ingin kamu katakan, Bell, semua, agar hatimu lega, aku di sini," bisik Abi di telingaku dengan mengusap lembut kedua lenganku. Aku hanya bisa mengangguk patah-patah. Yang menjadi pusat perhatianku saat ini hanyalah Mbak Mei dan Mbak Selly. Mereka berdiri tepat di hadapanku, menatapku dengan air muka kecewa, sebuah kemarahan terlihat jelas di mata mereka.Kuambil napas lalu kubuang perlahan untuk menghilangkan rasa gugup, lantas kemudian perlahan aku mengangkat microfon pemberian Abi. "
Baca selengkapnya

144. Saling mengasihi 2

"Jangan memanggilku seperti itu, aku tidak nyaman," tolakku, tampak Mbak Mei dan Mbak Selly dengan muka masam tak memandangku sama sekali."Bi, bisa meninggalkan aku dulu?""Kamu yakin?" Aku pun mengangguk pelan, akan tidak nyaman jika Abi terus mengekori. Pembicaraan kami juga tidak akan natural jika ada Abi. Pembicaraan hanya akan terjadi selayaknya karyawan dan atasan, memaafkan atau tidak, hanya akan menjadi formalitas jika Abi terus di dekatku."Ya sudah, aku ke sana. Jangan lama-lam, Sayang. Kita harus pulang. Eh, kamu Mei! Jangan kasar-kasar sama istri saya, ya! Awas!" ancam Abi pada Mbak Mei yang justru akan akan memperkeruh suasana. Bukan Abimana jika tidak menimbulkan masalah untukku. Aku mendesah kesal."Sudah lah, Bi. Pergilah dulu," pintaku lembut."Ya, aku pergi. Aku ada di ruangan, tampaknya Raka sudah menungguku." Lagi-lagi Abi memperkeruh suasana dengan mengecup singkat kepalaku sebelum pergi. Membuatku begitu malu. Terlihat beberapa rekanku tersenyum, sedangkan Mb
Baca selengkapnya

145. Abimana yang bijaksana

POV AbiMendengar pernyataan cinta dari Bella membuat hatiku berdebar tak percaya. Mungkin jika tidak sedang di atas panggung, aku sudah melompat kegirangan, dan menghambur ke pelukannya. Bella, bagiku adalah segalanya, sosoknya yang mampu membuat Abimana lupa segalanya. Tak pernah aku merasakan perasaan seperti pada Bella sebelumnya. Padahal dulu aku tak pernah menyadari adanya cinta, diantara kami hanya ada rasa tanggung jawab menjalani amanah dari Pak Wira.Penuturan Bella yang dilontarkan begitu mantap membuat hatiku pun mantap memutuskan suatu hal yang mungkin di luar dugaanku sebelumnya. Aku pun bergegas ke ruangan yang sudah dipastikan bahwa Raka menungguku di sana. Sebab, aku tidak melihat batang hidungnya lagi di tempat acara.Kubuka pintu dan benar dugaanku, Raka sudah menunggu di ruangan tertunduk lesu. Dengan sigap dia berdiri membungkukkan badannya setelah menyadari kedatanganku. Apa dia sudah sadar sekarang? Sehingga dia terlihat menghormati pimpinannya kembali."Duduk!"
Baca selengkapnya

146. Abimana yang bijaksana

POV BellaDeg! Deg! Deg! Terasa jantung ini berdegup, saat Abi menyerukan Ema untuk masuk ke dalam setelah membantuku untuk duduk di sofa. Terlihat Ema dengan langkah ragu masuk menapaki ruangan ini."Kenapa berhenti di sana? Duduk!" seru Abi mulai yang mulai menunjukkan wajah dinginnya. Jujur kalau sudah begini aku pun tak berani membantah. Ema duduk di depan Abi. Saat ini aku hanya bisa melihat nanar Ema dari sofa. Tak bisa melihat wajah Ema saat ini, namun aku bisa merasakan suasana mencekam, kini Ema hanya menundukkan wajah tanpa suara. "Apa yang mau kamu katakan?"Ema tak menjawab, hanya terdengar suara isakan dari balik tubuh yang saat ini memunggungiku itu. "Saya nggak butuh air mata kamu, Ema. Saya butuh jawaban," tegas Abi. Aku beranjak hendak mendekat dan ikut serta namun Abi menahan dengan mengangkat tangannya."Mau kamu apa Ema?" Kali ini Abi bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi. "Sa—saya, minta maaf, Pak." akhirnya saudara ditengah isak tangis Ema keluar den
Baca selengkapnya

147. Hotel

Usai mendengar pengakuan Ema dan permintaan maaf darinya secara terbuka, kami pun pergi ke rumah sakit seperti rencana. Menemui dokter Riswan seperti yang sudah dijadwalkan. Ya, hari ini satu per satu masalah terselesaikan dengan baik berkat suami hebat yang saat ini duduk setia menemani di bangku poli tulang dengan sabar. Tak henti-hentinya rasa syukur aku ucapkan setiap kali melihat kesetiaan seorang Abimana.Namun, ada yang menyita perhatian saat kulihat ruang sebelah adalah poli kandungan. Di sana tampak pasangan dengan perut buncit ditemani sang suami memeriksakan kandungan. Anganku pun mulai melayang, tak punya sanak saudara dan merupakan anak tunggal membuatku begitu ingin mendapatkan momongan secepatnya. "Ngapain? Elus-elus perut? Kamu lapar, Bell," tanya Abi menyadarkan saat tanpa sadar aku mengusap perut yang masih rata ini. Cepat aku menurunkannya."Ah, Abi, mengganggu orang lagi berkhayal aja.""Berkhayal tentang apa?" "Kamu sibuk dengan ponselmu terus darintadi. Jadi
Baca selengkapnya

148. Hotel 2

Sebuah cafe dengan hiasan lampu begitu indah menjadi pilihan Abi sebagai tempat makan malam romantis. Dengan pemandang khas Bandung, yaitu hamparan hijau dari ketinggian, membuat suasana terasa tenang.Bukan tempat mewah memang. Namun, keunikan ada di sini, tempat makan dengan bentuk sangkar dari tenda plastik bening dan terpisah satu sama lain, membuat suasana lebih intens. "Dari mana nemu tempat seperti ini, Bi?" tanyaku duduk di kursi yang disediakan di dalam tenda bening dan tak henti-hentinya mengamati setiap detail dari bentuk cafe unik tersebut."Ada lah, di mesin pencarian juga banyak. Kamu suka?" Dengan cepat aku mengangguk. "Kalau cafe di Jakarta dibuat seperti ini, seru kali ya, Bi? Lain dari pada yang lain." Abi tampak mengulum senyum setelah aku mengutarakan ideku."Jakarta beda sama Lembang, Jakarta panas, gimana mau bertahan di tenda plastik seperti ini? Yang dibutuhkan AC. Lagi pula kita sedang berkencan, jadi jangan membahas pekerjaan, lah," kata Abi mengingatkan."
Baca selengkapnya

149. Benalu

Selalu ada bintang di balik awan yang gelap, selalu ada pelangi setelah hujan menerpa saat sedang sibuk-sibuknya. Selalu ada matahari di balik mendung yang gelap dan selalu ada hikmah di balik kesusahan. Kata bijak yang sering kudengar dan kuanggap hanya pemanis belaka, nyatanya terjadi pula pada seorang Salsa Bella. Aku merasakan bahagia yang kuat biasa bersama Abi setelah apa yang aku alami selama ini. Bahkan, kebahagiaanku lebih besar dari penderitaanku.Mengintip sedikit ke arah luar. Mendung terlihat menghiasi langit Bandung pagi ini sehingga matahari bersembunyi di baliknya, Sama seperti lelakiku yang masih bersembunyi dan enggan keluar dari balik selimut tebal itu setelah malam panjang yang sudah kami lewati. Kudekati wajah rupawan yang masih terlihat nyenyak usai kubersihkan diri, ingin mengecup walau hanya sekedar pipi. Namun, aku takut jika sampai dia memergoki saat aku melakukannya, bisa-bisa jadi bahan buli berhari-hari. Aku pun mengurungkan niatku."Abi, bangun." Kugonc
Baca selengkapnya

150. Benalu 2

POV AbiAku terperanjat saat aku sadar bahwa aku menyerahkan urusan Papa pada Asri semalam, begitu fokusnya aku pada Bella sampai aku lupa tak menanyakan kelanjutan dan berhasil tidaknya Asri menahan Papa. Pikiranku mulai gamang setiap melihat Bella yang berada di sampingku saat ini."Bell, apa kamu ke majalah aja? Biar nggak capek bolak-balik." Akan lebih baik jika Bella tidak pulang sebelum aku tahu kondisi di sana seperti apa. Terlebih Asri tidak juga membalas pesan atau mengangkat panggilan telepon dariku. Aku semakin khawatir dan cemas dengan keadaan di sana seperti apa. "Jam berapa? Mau jadikan aku OB jam segini ke kantor?! Lagi pula kamu bilang aku nggak perlu kesana lagi? Kan besok kita sudah balik ke Jakarta," tolak Bella, ketegangan membuatku lupa akan perintahku pada Bella beberapa waktu lalu. "Ya, kan apa salahnya menemani suamimu, " bujukku lagi."Tumben?" tanya Bella dengan tatapan menyelidik seraya tersenyum genit."Iya, kan aku nggak mau jauh-jauh dari kamu," rayuku
Baca selengkapnya

151. Benalu 2

"Suara derit pintu dibuka. Asri datang membuka pintu.""Waalaikumsalam, Mas. Syukurlah sudah datang.""Kamu nggak papa kan, Sri? Pintu kok masih dikunci? Kamu nggak ke pasar?" tanya Bella pada Asri bahkan sebelum pintu dibuka sempurna.Cepat aku berdehem memberi isyarat pada Asri untuk diam. "Aku yang menyuruhnya, Bell. Kita kan nggak di rumah, aku dengar banyak perampokan jadi mulai sekarang aku menyuruh Asri selalu mengunci pintunya," sergahku memutus percakapan Asri dengan Bella, sebelum semua berantakan."Iya, Mbak, betul," sahut Asri memantapkan alasanku, tampaknya dia tanggap apa maksudku."Oh, ya udah. Aku masuk!" Dengan cepat seperti kilat tubuh mungil dan lincah Bella beringsut masuk mendahuluiku, melewati aku dan Asri. Aku pun dengan cepat mengikuti.Beberapa langkah kami masuk. Langkah kembali terhenti. Ternyata dugaanku salah, kukira semua akan baik-baik saja. Tapi nyatanya Papa masih kekeh, duduk di sofa dengan koper di sebelahnya. "Asri, kenapa nggak bilang, kalau Papa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
131415161718
DMCA.com Protection Status