Dengan berat hati aku terima microfon dari Abi. "Nggak perlu berdiri, duduk aja," kata Abi saat melihatku hendak berdiri. Aku pun kembali duduk. Entah apa yang terjadi padaku saat ini. Bahkan, dengan Abi pun aku tidak bisa menjawab atau memberontak sekarang. Tampaknya aku sedang dikuasai oleh rasa gugup.Aku duduk dan Abi mundur beberapa langkah menuju arah belakangku. Namun, tak sedikitpun ia meninggalkan atau melepaskan aku, kedua tangganya kini terus memegang pundakku menguatkan. "Katakan semua yang ingin kamu katakan, Bell, semua, agar hatimu lega, aku di sini," bisik Abi di telingaku dengan mengusap lembut kedua lenganku. Aku hanya bisa mengangguk patah-patah. Yang menjadi pusat perhatianku saat ini hanyalah Mbak Mei dan Mbak Selly. Mereka berdiri tepat di hadapanku, menatapku dengan air muka kecewa, sebuah kemarahan terlihat jelas di mata mereka.Kuambil napas lalu kubuang perlahan untuk menghilangkan rasa gugup, lantas kemudian perlahan aku mengangkat microfon pemberian Abi. "
"Jangan memanggilku seperti itu, aku tidak nyaman," tolakku, tampak Mbak Mei dan Mbak Selly dengan muka masam tak memandangku sama sekali."Bi, bisa meninggalkan aku dulu?""Kamu yakin?" Aku pun mengangguk pelan, akan tidak nyaman jika Abi terus mengekori. Pembicaraan kami juga tidak akan natural jika ada Abi. Pembicaraan hanya akan terjadi selayaknya karyawan dan atasan, memaafkan atau tidak, hanya akan menjadi formalitas jika Abi terus di dekatku."Ya sudah, aku ke sana. Jangan lama-lam, Sayang. Kita harus pulang. Eh, kamu Mei! Jangan kasar-kasar sama istri saya, ya! Awas!" ancam Abi pada Mbak Mei yang justru akan akan memperkeruh suasana. Bukan Abimana jika tidak menimbulkan masalah untukku. Aku mendesah kesal."Sudah lah, Bi. Pergilah dulu," pintaku lembut."Ya, aku pergi. Aku ada di ruangan, tampaknya Raka sudah menungguku." Lagi-lagi Abi memperkeruh suasana dengan mengecup singkat kepalaku sebelum pergi. Membuatku begitu malu. Terlihat beberapa rekanku tersenyum, sedangkan Mb
POV AbiMendengar pernyataan cinta dari Bella membuat hatiku berdebar tak percaya. Mungkin jika tidak sedang di atas panggung, aku sudah melompat kegirangan, dan menghambur ke pelukannya. Bella, bagiku adalah segalanya, sosoknya yang mampu membuat Abimana lupa segalanya. Tak pernah aku merasakan perasaan seperti pada Bella sebelumnya. Padahal dulu aku tak pernah menyadari adanya cinta, diantara kami hanya ada rasa tanggung jawab menjalani amanah dari Pak Wira.Penuturan Bella yang dilontarkan begitu mantap membuat hatiku pun mantap memutuskan suatu hal yang mungkin di luar dugaanku sebelumnya. Aku pun bergegas ke ruangan yang sudah dipastikan bahwa Raka menungguku di sana. Sebab, aku tidak melihat batang hidungnya lagi di tempat acara.Kubuka pintu dan benar dugaanku, Raka sudah menunggu di ruangan tertunduk lesu. Dengan sigap dia berdiri membungkukkan badannya setelah menyadari kedatanganku. Apa dia sudah sadar sekarang? Sehingga dia terlihat menghormati pimpinannya kembali."Duduk!"
POV BellaDeg! Deg! Deg! Terasa jantung ini berdegup, saat Abi menyerukan Ema untuk masuk ke dalam setelah membantuku untuk duduk di sofa. Terlihat Ema dengan langkah ragu masuk menapaki ruangan ini."Kenapa berhenti di sana? Duduk!" seru Abi mulai yang mulai menunjukkan wajah dinginnya. Jujur kalau sudah begini aku pun tak berani membantah. Ema duduk di depan Abi. Saat ini aku hanya bisa melihat nanar Ema dari sofa. Tak bisa melihat wajah Ema saat ini, namun aku bisa merasakan suasana mencekam, kini Ema hanya menundukkan wajah tanpa suara. "Apa yang mau kamu katakan?"Ema tak menjawab, hanya terdengar suara isakan dari balik tubuh yang saat ini memunggungiku itu. "Saya nggak butuh air mata kamu, Ema. Saya butuh jawaban," tegas Abi. Aku beranjak hendak mendekat dan ikut serta namun Abi menahan dengan mengangkat tangannya."Mau kamu apa Ema?" Kali ini Abi bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi. "Sa—saya, minta maaf, Pak." akhirnya saudara ditengah isak tangis Ema keluar den
Usai mendengar pengakuan Ema dan permintaan maaf darinya secara terbuka, kami pun pergi ke rumah sakit seperti rencana. Menemui dokter Riswan seperti yang sudah dijadwalkan. Ya, hari ini satu per satu masalah terselesaikan dengan baik berkat suami hebat yang saat ini duduk setia menemani di bangku poli tulang dengan sabar. Tak henti-hentinya rasa syukur aku ucapkan setiap kali melihat kesetiaan seorang Abimana.Namun, ada yang menyita perhatian saat kulihat ruang sebelah adalah poli kandungan. Di sana tampak pasangan dengan perut buncit ditemani sang suami memeriksakan kandungan. Anganku pun mulai melayang, tak punya sanak saudara dan merupakan anak tunggal membuatku begitu ingin mendapatkan momongan secepatnya. "Ngapain? Elus-elus perut? Kamu lapar, Bell," tanya Abi menyadarkan saat tanpa sadar aku mengusap perut yang masih rata ini. Cepat aku menurunkannya."Ah, Abi, mengganggu orang lagi berkhayal aja.""Berkhayal tentang apa?" "Kamu sibuk dengan ponselmu terus darintadi. Jadi
Sebuah cafe dengan hiasan lampu begitu indah menjadi pilihan Abi sebagai tempat makan malam romantis. Dengan pemandang khas Bandung, yaitu hamparan hijau dari ketinggian, membuat suasana terasa tenang.Bukan tempat mewah memang. Namun, keunikan ada di sini, tempat makan dengan bentuk sangkar dari tenda plastik bening dan terpisah satu sama lain, membuat suasana lebih intens. "Dari mana nemu tempat seperti ini, Bi?" tanyaku duduk di kursi yang disediakan di dalam tenda bening dan tak henti-hentinya mengamati setiap detail dari bentuk cafe unik tersebut."Ada lah, di mesin pencarian juga banyak. Kamu suka?" Dengan cepat aku mengangguk. "Kalau cafe di Jakarta dibuat seperti ini, seru kali ya, Bi? Lain dari pada yang lain." Abi tampak mengulum senyum setelah aku mengutarakan ideku."Jakarta beda sama Lembang, Jakarta panas, gimana mau bertahan di tenda plastik seperti ini? Yang dibutuhkan AC. Lagi pula kita sedang berkencan, jadi jangan membahas pekerjaan, lah," kata Abi mengingatkan."
Selalu ada bintang di balik awan yang gelap, selalu ada pelangi setelah hujan menerpa saat sedang sibuk-sibuknya. Selalu ada matahari di balik mendung yang gelap dan selalu ada hikmah di balik kesusahan. Kata bijak yang sering kudengar dan kuanggap hanya pemanis belaka, nyatanya terjadi pula pada seorang Salsa Bella. Aku merasakan bahagia yang kuat biasa bersama Abi setelah apa yang aku alami selama ini. Bahkan, kebahagiaanku lebih besar dari penderitaanku.Mengintip sedikit ke arah luar. Mendung terlihat menghiasi langit Bandung pagi ini sehingga matahari bersembunyi di baliknya, Sama seperti lelakiku yang masih bersembunyi dan enggan keluar dari balik selimut tebal itu setelah malam panjang yang sudah kami lewati. Kudekati wajah rupawan yang masih terlihat nyenyak usai kubersihkan diri, ingin mengecup walau hanya sekedar pipi. Namun, aku takut jika sampai dia memergoki saat aku melakukannya, bisa-bisa jadi bahan buli berhari-hari. Aku pun mengurungkan niatku."Abi, bangun." Kugonc
POV AbiAku terperanjat saat aku sadar bahwa aku menyerahkan urusan Papa pada Asri semalam, begitu fokusnya aku pada Bella sampai aku lupa tak menanyakan kelanjutan dan berhasil tidaknya Asri menahan Papa. Pikiranku mulai gamang setiap melihat Bella yang berada di sampingku saat ini."Bell, apa kamu ke majalah aja? Biar nggak capek bolak-balik." Akan lebih baik jika Bella tidak pulang sebelum aku tahu kondisi di sana seperti apa. Terlebih Asri tidak juga membalas pesan atau mengangkat panggilan telepon dariku. Aku semakin khawatir dan cemas dengan keadaan di sana seperti apa. "Jam berapa? Mau jadikan aku OB jam segini ke kantor?! Lagi pula kamu bilang aku nggak perlu kesana lagi? Kan besok kita sudah balik ke Jakarta," tolak Bella, ketegangan membuatku lupa akan perintahku pada Bella beberapa waktu lalu. "Ya, kan apa salahnya menemani suamimu, " bujukku lagi."Tumben?" tanya Bella dengan tatapan menyelidik seraya tersenyum genit."Iya, kan aku nggak mau jauh-jauh dari kamu," rayuku
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta