"Apa? Kita nggak bisa pulang kok Alhamdulillah?!" Ponsel di dalam Sling bag yang kubawa kembali bergetar. Kuambil lalu kubuka, sebuah pesan lagi dari Papa.[Asri sudah menyiapkan kebutuhan kalian di dalam koper. Semoga bermanfaat.]Tak lupa papa membubuhkan emoticon semangat di akhir kalimat.Aku menghela napas, rupanya mereka sudah bekerja sama, Asri dan Papa bekerja sama."Kenapa?" Lagi-lagi Abi bertanya."Mana kopernya, aku mau mandi," ucapku mengambil koper kecil dari tangan Abi lalu membukanya. Dan lagi, aku kembali tercengang saat melihat semua lingerie milikku ada di sana. Tanpa ada baju ganti untukku. Terdapat tulisan juga di sana yang menempel pada penutup koper bagian dalam 'Selamat berbulan madu anak-anak. Semoga suka dengan hadiah dari Papa, bawalah cucu sebagai imbalannya'. Seperti itulah tulisan yang ada di balik koper itu.Abi pun terlihat mematung saat aku membuka koper, tampaknya dia pun melihat apa yang aku lihat. Cepat aku menutupnya sebelum wajahku berubah warna ka
Selepas sholat subuh, kubuka gorden yang menutupi jendela kaca besar yang ada si sebelah dinding hotel, terlihat kaca yang sedikit mengembun menyisakan tetesan air hujan yang turun menjelang subuh. Sejuk dan dingin udara pagi ini terasa hingga ke tulang. Seiring menyejuknya hatiku yang sempat membara terbakar api cemburu. Aku memutuskan untuk berdamai dengan hatiku. Meski sakit itu suatu saat akan kembali meyeruak seiring terkuaknya setiap kenyataan di masa lalu yang tidak aku ketahui. Menata dan menyiapkan hati agar lebih siap adalah tugas dan prioritasku saat ini."Sayang." Abi datang menghampiriku memelukku dari belakang. "Terimakasih sudah bersedia untuk berdamai dengan hatimu dan memaafkan aku," lembut tuturnya, selembut perlakuan yang ia berikan padaku tadi malam, mengulang waktu pertama kali kami bercumbu. Ya, ia memperlakukan aku seolah malam tadi adalah malam pertama yang pernah kami lewati pasca ijab kabul dulu. Membuatku merasa melayang dan terbuai oleh perlakuannya."Mung
Menjelang malam kami sampai di rumah. Asri membukakan pintu gerbang begitu Abi menyalakan klakson."Selamat datang Mas Abi, Mbak Bella," sapa Asri begitu kami keluar dari mobil dengan wajah sumringah."Ambil tu koper di dalam, nggak guna," kata Abi memasuki teras."Nggak guna gimana to? Mas sama Mbak, membohongi Tuan?" tanya Asri menyelidik."Udah Sri kamu ambil aja. Harusnya sertakan baju ganti, biar liburan nggak bau terasi," kataku. Aku menggeleng lalu tersenyum."Maaf, Mbak. Kalau Asri kasih takutnya gagal.""Tanpa memakai itu pun istriku sudah menggoda, Sri," celetuk Abi aku pun sontak memukulnya. Begitu ringan dia mengucap hal yang membuatku malu. Asri tertawa kecil."Ayo, Sayang masuk." Aku pun membersamainya masuk ke dalam."Assalamualaikum, Pa," sapaku mengecup punggung tangan Papa yang terlihat duduk di ruang keluarga menyaksikan acara berita. Sedangkan Abi memilih langsung masuk ke kamar. "Waalaikumsalam, gimana? Suka hadiahnya?"POV AbiKutinggalkan menantu dan mertua it
Akhir pekan pun tiba, tandanya acara sudah di depan mata. Rumah disulap sedemikian rupa bak istana di negeri dongeng. Halaman kami cukup luas sehingga tak perlu menyewa gedung di luar sana. Sungguh seperti impianku selama ini. Entah kapan Abi menyiapkannya, namun ia tak terlihat sibuk sama sekali saat mengambil cuti beberapa hari terakhir. Abi hanya sibuk melayani keinginanku yang akhir-akhir ini semakin banyak mau. Sampai-sampai harus pergi ke Bandung karena aku menginginkan siomay dari Bandung yang biasa mangkal di gang belakang kantor majalah."Cantik sekali istri Abimana ini?" celetuk Abi yang baru datang selepas berganti pakaian dari kamar sebelah kemudian duduk di sebelahku, meraih jemariku. Aku terpana utuk sesaat. Dia sungguh sangat tampan hati ini. "Loh, kok dingin seperti es batu? Kamu sakit apa gugup?" lanjutnya menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, menghangatkan. Malu sekali aku rasanya."Kamu suka nggak, Bell?" tanya Abi. Kami pun beradu pandang . Dia sungguh terl
"Ya, Cantik kenapa? Butuh sesuatu atau ada yang kurang nyaman sama gaunnya?" tanya Tante Mayang memeriksa gaunku. Cepat aku meraih tangannya, ia pun menatapku."Maaf, maaf atas kejadian di butik tempo hari. Aku sudah bersikap kurang menyenangkan dengan berpikir negatif terhadap Tante." Tante Mayang tersenyum. Sungguh aku benar-benar malu atas kejadian itu. Bahkan aku tak beramah tamah setelah Tante Mayang mencabut kertas dari gaun Abi dan Tari. Bisa dibilang, Tante Mayang ikut menjadi korban atas kemarahanku dengan membiarkannya saja bicara sendiri tanpa sepatah kata aku menjawab waktu itu. "Nggak papa, Sayang. Tante senang, Tante tau kamu cemburu, itu tandanya kamu sangat mencintai keponakan Tante yang sedingin kulkas dua pintu ini." Penuturan Tante Mayang membuatku semakin malu."Eh, Mas Yuda, sini." Tante Mayang memanggil Papa yang terlihat berjalan melewati pintu ruangan kami. Papa pun mundur kembali."Kenapa, May?" tanya Papa melangkah masuk ke ruangan tempat kami bertiga berk
POV ABI"Asri!" teriakku dari meja makan."Ya, Mas," tergopoh Asri datang menemui."Ini apa, Sri? Kan Bella ngga bisa makan beginian?" kataku menunjuk pada piring yang berisi roti tanpa dibakar terlebih dahulu."Semalem Mbak Bell pesennya mau makan yang gitu kok, Mas," terangnya."Yakin, kamu?" tanyaku tak percaya, selama hamil Bella selalu makan roti bakar tidak pernah tawar."Yakin, Mas, yakin." "Ya, sudah, sana balik." "Iya."Bella keluar kamar setelah Asri kembali ke dapur. Bergegas menuju meja makan. "Sayang, udah sarapan?" tanyanya menghampiri dengan sikap manis meski kadang tiba-tiba berubah sinis."Nungguin kamu, kan.""Papa, mana?""Nggak tau." "Kok nggak tau?""Tanya aja Asri.""Gimana sih Abi,"Bella pun memanggil Asri dan bertanya keberadaan mertua kesayangan itu dan Asri mengatakan bahwa Papa sedang berolahraga. Kami pun memutuskan untuk sarapan, karena hari sudah mulai siang dan aku harus pergi ke kantor."Bi, ini apa, aku nggak mau. Enek tau nggak, kan aku
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta