POV AbiMelihat begitu setianya Bella yang tidur meletakkan kepalanya di sebelahku. Membuat diri ini merasa sangat dicintai. Tak bisa dipungkiri, dalam hal ini aku pun salah, masalahku dengan Papa membuat lidahku seolah mati rasa. Wajah papa yang sudah mengeluarkan aura berbeda kala itu membuatku lupa rasa susu coklat yang aku pun tak menyukainya, bagiku coklat tidak enak saja. Sempat aku merasakan keanehan tapi tak kuhiraukan karena begitu inginnya aku berlari dari tempat itu tanpa meninggalkan keributan. Apakah rasa takut pada Papa masih ada dalam diriku? Sehingga aku tak bisa merasakan perbedaan susu yang masih bagus dan tidak, malah meneguknya tanpa sisa? Lidah pemilih yang selama ini aku miliki pun tak bisa bekerja dengan baik saat aku dihadapkan dengan Papa yang memasang wajah menakutkan, wajah yang selama ini membuat nyaliku selalu menciut saat Papa sudah mengeluarkannya. Ah, entahlah. Maka, setelah dokter menyatakan aku keracunan, pikiranku tentu langsung tertuju pada susu ta
POV Bella.Malam setelah kami pulang dari rumah sakit. Abi tetap kekeh ingin pulang ke Jakarta. Entah apa yang sebenarnya ingin dia kerjakan dan tidak bisa lagi ditunda. Urusan majalah tentang peraturan baru itu juga sudah terselesaikan dengan sedikit bantuan dariku. Selepas sholat Isya kamipun memulai perjalanan.Sopir pun terpaksa kami sewa karena Abi tak mungkin melakukan perjalanan jauh sendiri. Mobil Mercy tak cukup untuk kami berempat, sehingga kami menyewa mobil yang lebih besar. Barang kami pun cukup banyak, bukan barang kami, tapi barangku. Sehingga tak mungkin hanya mengandalkan mobil Abi. Aku dan Abi ikut mobil Abi yang disupiri oleh Mang Usman sendiri, villa Mang Usman dititipkan ke tetangga untuk sementara. Sedangkan Papa memilih ikut mobil yang kami sewa bersama Asri dan supirnya.Kami duduk di bangku belakang. Dalam perjalan malam ini, Abi lebih banyak tidur dan bersandar di pundakku. "Sayang, kita sudah sampai rumah." Tak mungkin menggendong Abi masuk, aku pun me
Seperti apa yang Abi perintahkan, dengan bantuan sopir dari kantor, aku bergegas menuju butik yang Abi sudah katakan pagi tadi. Butik besar dan megah ada di hadapanku saat ini. Memasukinya dengan langkah pelan namun pasti. Seorang wanita paruh baya dengan tampilan modis pun menghampiri. "Bella, ya? Istri Abimana?" ucapnya menyambutku."Iya, Tante, jawabku tersenyum ramah." "Yuk, masuk," ajaknya menggandeng tanganku, tampaknya dia sudah kenal baik dengan Abi, terlihat dari caranya memperlakukanku yang begitu ramah."Sebuah ruangan penuh dengan gaun cantik, aku pun memasukinya. Kuedarkan pandangan dengan penuh rasa takjub melihat hasil karya yang begitu mempesona dan indah dipandang mata. Sebuah gaun di sudut ruangan menyita perhatian, aku pun mendekati toh Tante Mayang masih mempersiapkan alat dan design untuk gaunku. "Indah sekali," gumamku memandang dengan mata kagum. Kuamati setiap detailnya, sepasang gaun pengantin warna emas begitu indah dan sedap dipandang mata. Hingga langk
POV AbimanaPagi ini aku harus bertemu pihak Batam yang sudah tidak bisa ditunda lagi, setelahnya aku ke Hayuda. Meta menghubungi agar aku segera ke sana begitu sampai Jakarta."Eh, Meta, nggak bisa lebih lembut kalau ngajarin? Cantik-cantik, kasar!""Bapak itu harus diajari seperti ini, biar cepat pintar, heran, sudah berkali diajari tetap saja belum paham!" Kudengar perdebatan antara Adip dan Meta saat aku hendak masuk ke ruangan Adip."Pantes jadi perawan tua, galak kayak singa!" "Bapak nggak ngaca? Umur berapa? Bahkan di luar sana orang seumuran Bapak sudah punya anak, dua malah!" "Ehm, pagi," sapaku masuk ke ruangan yang saat ini hanya diisi oleh Meta dan juga Adip."Pagi, Pak." Cepat Meta berdiri memberi hormat. "Gimana, Met, ada perkembangan?""Sedikit.""Sedikit?! Sedikit kamu bilang? Kau bahkan menyuruhku lembur setiap hari, Met?" sela Adip tak terima."Tapi belum sempurna, Pak.""Saya perhatikan kalian ribut dari tadi. Setiap hati seperti ini? Gimana ada titik temu? Kamu
Ini adalah kali pertama aku menolak Abi, penolakan yang berakhir benar-benar dengan penolakan. Jika biasanya penolakanku hanya pura-pura karena gengsi dan berujung mengarungi samudra cinta bersama. Namun, tidak untuk malam ini. Aku benar-benar menolaknya. Dosa? Pasti, sebagai seorang istri, seharusnya aku melayani suamiku kapanpun ia menginginkannya, tapi kali ini aku benar-benar ling lung oleh masa lalu.Kami makan malam seperti biasa, kulayani Abi sebagaimana mestinya meski hati sebenarnya masih enggan menatapnya. Tak ada suara, hanya sesekali aku menangkap Abi tengah mencuri pandang padaku yang duduk di sebelah Papa. Ya, malam ini sengaja aku mengubah posisi duduk yang sebelumnya di sebelah Abi menjadi di sebelah Papa. Aku membutuhkan waktu untuk sendiri.Beruntung Papa tidak banyak bertanya, dan langsung masuk ke kamarnya begitu makan malam selesai. Berbeda dengan Abi yang masih duduk di ruang tengah menikmati acara moto GP kegemaran.Aku? Setelah makan malam selesai, aku memban
Kembali aku masuk ke dalam kamar. Mengembalikan mukena ke lemari. Abi pun masuk sebelum aku bergegas ke dapur. Mengunci pintu lalu mendekatiku. Membingkai tubuhku dengan kedua tangan yang bertumpu pada lemari yang ada di belakangku, aku tercekat. Tak mampu lagi bersuara. Kami saling beradu pandang, dia terus memangkas jarak diantara kami membuatku semakin tercekat, kala hembusan napasnya menyapu setiap bulu halus di kulit wajahku, hangat aku rasakan. "Aku mencintaimu, Bell, hanya kamu," lirihnya di sela tatapan mata yang menusuk tepat pada jantungku. Jantung yang debarannya pun selalu ada nama Abimana. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Dengan berani dia menc*um bibirku, aku terbuai dan terlena oleh suasana. Sehingga harus berakhir dengan kalah, ya aku sudah kalah melawan manusia gigih dan sekeras batu ini, sampai akhirnya kami pun harus mengarungi nirwana dan terbuai kenikmatan di waktu subuh. Begitu garangnya Abi melampiaskan hasrat yang sempat tertunda oleh penolakan, membuatnya
Usai mengantar Papa kembali ke rumah, aku dan Abi melanjutkan perjalan tepatnya setelah dhuhur kami berangkat seperti apa yang Papa perintahkan. Papa tidak memberi tahukan apa yang diinginkan, akan diberi tahu nanti katanya kalau kami sudah sampai.Kami melakukan perjalanan sesuai map, Abi di depan kemudi dan aku tetap di bangku penumpang. "Kamu yakin, Bell? Ini sesuai? Kamu nggak salah baca map, kan?" tanya Abi di depan kemudi yang tampak bingung dengan arah tujuan."Yakin. Udah nurut aja!" perintahku."Coba aku lihat," pintanya mengulurkan tangan meminta ponselku. Cepat aku menjauhkannya."Nggak boleh, nanti kamu mengarahkan ke tempat lain lagi."Ia menghela napas. "Ya sudah lah, oke. Aku ikut kamu." Kembali kami melanjutkan perjalanan, dengan aku sebagai penunjuk jalannya. Tempat mengarah pada sebuah hotel mewah di kawasan yang bertuliskan Ancol. Aku tak pernah ke tempat ini sebelumnya, tapi aku tau kalau Ancol adalah tempat wisata. Kembali aku cek lokasi dan benar ini sudah ses
"Apa? Kita nggak bisa pulang kok Alhamdulillah?!" Ponsel di dalam Sling bag yang kubawa kembali bergetar. Kuambil lalu kubuka, sebuah pesan lagi dari Papa.[Asri sudah menyiapkan kebutuhan kalian di dalam koper. Semoga bermanfaat.]Tak lupa papa membubuhkan emoticon semangat di akhir kalimat.Aku menghela napas, rupanya mereka sudah bekerja sama, Asri dan Papa bekerja sama."Kenapa?" Lagi-lagi Abi bertanya."Mana kopernya, aku mau mandi," ucapku mengambil koper kecil dari tangan Abi lalu membukanya. Dan lagi, aku kembali tercengang saat melihat semua lingerie milikku ada di sana. Tanpa ada baju ganti untukku. Terdapat tulisan juga di sana yang menempel pada penutup koper bagian dalam 'Selamat berbulan madu anak-anak. Semoga suka dengan hadiah dari Papa, bawalah cucu sebagai imbalannya'. Seperti itulah tulisan yang ada di balik koper itu.Abi pun terlihat mematung saat aku membuka koper, tampaknya dia pun melihat apa yang aku lihat. Cepat aku menutupnya sebelum wajahku berubah warna ka
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta