Home / Fantasi / The Seven Phoenix Shards / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of The Seven Phoenix Shards : Chapter 41 - Chapter 50

100 Chapters

Duel

"Kenapa kamu membunuh ayah, Achilio?" Degree menarik lenganku, lalu menghadapkan wajahku ke arahnya. "Di mana hati nuranimu!? Apa yang membuatmu sampai segila ini!?"Suaranya terdengar menggema, hingga memenuhi sudut ruangan itu. Aku menatapnya dengan sorot mata berkaca-kaca, lalu tersenyum smirk."Jika aku bisa memilih, aku nggak pengen terlahir di dunia ini, Re!" Aku melepaskan cengkeramannya. "Aku hanya bahagia di dalam imajinasiku sendiri. Sedangkan, kamu sama sekali tidak pernah merasakan pedihnya realita.""Ada apa denganmu, Achilio? Apa kamu sudah tidak waras?" Dada Degree tampak naik turun—napasnya mungkin berpacu tak stabil. "Aku masih punya akal, Re.""Jika kamu masih punya akal, kamu harusnya tahu, membunuh adalah hal yang tidak bisa dimaafkan.""Perkataan yang sangat miris!" Aku mengeluarkan api biru dari telapak tanganku. Emosi sepertinya mulai mempengaruhi tindakanku. "Ternyata, kamu sama saja dengan yang lainnya. Membela orang yang jelas-jelas memicu kematiannya sendir
Read more

Permintaan Maaf Dari Calvin

"Bagaimana menurutmu? Tiga hari yang lalu, aku dan Calvin telah menyiapkan segalanya untukmu." Sera menggandeng tanganku. Kami menemui seorang pria yang berdiri, di sana—ujung tebing yang telah dihias dengan berbagai lampu neon."Maafkan aku, Achilio." Calvin mengenakan toxedo yang sangat rapi, hari itu—tidak seperti biasanya. "Calvin ...." Aku menatap nanar pada sahabatku itu. Air mata tidak bisa kubendung lagi."Jangan menangis, Achilio! Kami berdua nggak pengen liat kamu kayak gini. Semangat dong!" Sera mengajakku duduk di sebuah kursi taman."Kalian membuat ini selama berhari-hari? A aku sangat bahagia memiliki orang-orang yang masih menyayangiku." Aku menyeka genangan air mata yang jatuh. "Terima kasih, Orang baik.""Jadi, gue dimaafin apa gak nih? Maksa banget nih gue!" Bibir Calvin nampak mengerucut. "Gue masih ngerasa sakit sama ucapan lo, Vin." Aku merangkul pria itu. "Tapi, bukan berarti gue nggak maafin lo."Calvin berhak mendapatkan kesempatan kedua. Aku berharap, dia ti
Read more

Fourd

Aku seringkali merasa bertindak gegabah dalam memutuskan suatu hal. Entah mengapa, ketika emosi mulai mengendalikan diri, aku cenderung tidak mampu berbuat apa-apa. "Tuan Farren tidak kunjung sadarkan diri. Efek dari seranganmu sepertinya berhasil membuatnya koma, Lio." Degree memijat pelipisnya. "Ya ampun, kekuatan magic-mu mengalami peningkatan yang sangat besar. Ini kabar baik, dan sekaligus kabar buruknya." Calvin memperlihatkan layar yang berisi diagram batang. Lima puluh persen data terakhir melambung drastis—lebih tinggi daripada yang lainnya."Kalo sudah begini ya, harus terima aja." Sera duduk di sampingku, lalu memberikan segelas jus jeruk. "Wajar aja, karena Achilio masih labil, dan sering bertindak mengikuti amarah.""Di malam pembunuhan itu, aku nggak ingat semuanya dengan jelas." Aku mengambil jus yang diberikan Sera. "Saat itu, emosiku meningkat karena ayah terus menyiksaku."Pembicaraan terhenti sejenak, saat sinar matahari mulai menerangi balkon; cahayanya sedikit m
Read more

Kenapa Kamu Mau Memaafkanku?

"Kenapa kamu selalu memaafkan semua kesalahanku, Vin?" Aku berkata tanpa menoleh ke arah pria itu. "Aku telah membunuh Reizo, orang yang paling kamu sayang, kan?"Dia hanya bergeming tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Aku bahkan telah merebut Sera darimu. Apakah kamu benar-benar memaafkanku, di hari itu?" Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang."Kamu adalah seorang guardian. Aku percaya kamu akan membawa kita pada kebahagiaan." Calvin mengembangkan senyum khasnya. "Aku akan tetap melakukannya. Meski, aku harus mengorbankan seluruh kebahagiaanku untukmu, Achilio."Deg! Deg! Deg!Jantungku berdetak kencang. Apa yang telah Calvin bicarakan? Apakah aku tidak salah dengar? Kenapa dia mau berjuang keras, untuk mewujudkan mimpiku?"Itu bukan kesalahan siapa pun. Andai Reizo tidak memihak Paman Ergar, mungkin dia tidak akan terbunuh di hari itu." Senyum Calvin tampak memudar, lalu menghilang sepenuhnya. "Bagaimana jika aku nggak bisa menepati janji sebagai seorang guardian?" Aku men
Read more

Misi Di Deathlf

Kami berjalan di tengah lapangan berwarna merah. Tempat itu tampaknya lebih mirip taman hiburan, daripada sebuah perusahaan. Aku melepaskan kacamata, dan memantau keadaan sekitar. Orang-orang di sana masih tetap sibuk bak robot, yang telah diperintahkan untuk patuh; para pekerja itu bergerak dengan sangat kaku.Apakah para pengunjung tidak ada yang curiga? Aneh sekali. Apa memang mataku yang salah lihat? Aku memberikan kode pada Degree—yang ada di samping Calvin. Namun, pria itu sepertinya tidak mengerti apa yang kusampaikan."Sera, bertukar tempat!" Aku memerintah dengan nada setengah berbisik. Wanita yang mengenakan kemeja putih, dengan berbalutkan rok setengah lutut itu tampak mengangguk. Dia sepertinya lebih mudah mencerna informasi daripada Degree."Hei, apa?" Degree menyikut bahuku. Aku memasang wajah kesal, lalu berbisik padanya."Karyawan di sini robot atau manusia, sih?" Aku memicingkan mata kananku. Degree kelihatannya baru menyadarinya juga. Sial! Dia benar-benar lemot."Ak
Read more

Anak Presiden

Karena pusing memikirkan sebuah keputusan, aku pun langsung menggendong gadis itu ke luar. Kepulan asap tebal di dekat pintu utama, memberikanku sebuah ide. "Aku mohon. Semoga kali ini bisa digunakan," gumamku. Gadis kecil itu melihatku dengan keterkejutan di wajahnya. Sorot matanya seakan ingin mengetahui apa rencanaku. Namun, aku tidak bisa membongkar rahasia magic, di depannya."Kak ... aku takut." Mata indah berwarna violet itu terlihat berkaca-kaca. Aku menghentikan langkah, lalu tersenyum hangat padanya."Gadis cantik, tutuplah matamu sebentar." Aku berkata dengan suara yang lembut. Gadis itu bergeming untuk beberapa saat, lalu memejamkan mata.Tanganku mengeluarkan magic berwarna biru. Setelah menoleh ke segala arah, aku pun memperbesar pintu portal di depan kami. Tambahan kekuatan dari magic tingkat dua milik Sean, sepertinya berhasil membuka portal dimensi itu. Asap tebal semakin menutupi penglihatanku. Kami pun masuk ke dalam portal itu, dan dengan cepat tiba di luar Perus
Read more

Serangan Udara

"Nama panggilan yang lo kasih ke gue freak banget deh, Vin!" Aku berdecak kesal. Pria yang duduk di sampingku itu, malah seperti orang yang tidak merasa bersalah sama sekali. Manda yang duduk di sebelahnya tampak memperhatikan tingkahku, dengan tatapan datarnya.Aku membatin, "Gadis kecil itu sedang tertekan atau sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Tatapannya seakan mempunyai makna tertentu. Benar-benar sangat aneh!""Ar, nama bagus itu, loh. Lagian, nama Achilio itu kepanjangan, dan sulit untuk disebut." Calvin mengelak seraya mengerucutkan bibir. "Kalian bisa diam gak, sih?" Degree yang tampak mengendalikan pesawat berkata dengan nada, yang terdengar seperti menahan emosi.Aku tidak ingin pria itu marah dengan kami. Lebih baik mengalah untuk sementara waktu, daripada berurusan dengan Degree. "Ya udah, terserah lo mau manggil gue apa, Vin!""Manda, kamu bisa pake earphone. Gak usah terlalu didengerin omongan mereka berdua tuh," kata Sera sambil memberikan benda itu pada Manda."Ma
Read more

Pengorbanan Manda

"Maafkan aku, Kak Achilio. Maafkan aku semuanya." Air mata gadis itu tampak berjatuhan mengenai magic Degree, yang sepertinya hampir setengah menghilang."Kita akan mati sama-sama. Jadi, tenang aja!" Degree bersimpuh, lalu menundukkan kepalanya. "Terkadang, kebaikan sepertinya tetap tidak bisa mengubah niat jahat."Ada sedikit rasa penyesalan menolong gadis kecil itu. Namun, aku mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu, dan tidak ada gunanya menyesali kesalahan di masa itu. Semuanya telah terjadi, dan mungkin merupakan bagian dari takdir."Salah satu di antara kita harus berkorban," ucap Sera sambil mengeluarkan magic api pelindung."Tapi kekuatanmu hampir habis, Ra!" Aku memadamkan api di tangannya. "Seluruh ahli magic akan mati jika kekuatannya melebih batas maksimal.""Kita gak punya pilihan lain lagi." Sera mendorongku kasar. Gadis itu terlihat sangat marah, matanya semakin berwarna merah menyala. "Aku gak mau kehilangan lagi!""Gak ada gunan
Read more

Isi Cetak Biru

"Selamat datang kembali ke rumah, Tuan muda." Seorang wanita paruh baya berperawakan kurus menyambut kedatangan kami. Rumah kediaman keluarga Smith itu masih sama seperti sebelumnya. Masih terlihat mewah tanpa menghilangkan unsur budaya setempat.Aku mempercepat langkah, agar sampai ke atas sana lebih cepat. Lift tidak bisa digunakan, karena renovasi besar-besaran. Ocehan dan keluhan yang berulangkali dilontarkan oleh Calvin, menemani perjalanan sepanjang tangga melingkar itu."Bisa dipercepat gak langkahnya?" Aku berjalan hampir setengah lunglai. Napasku naik turun, karena lelah menaiki anak tangga, yang entah berapa jumlahnya itu. "Tenang, bentar lagi sampai kok, Ar!" Sera berkata sambil menyemangatiku. Aku menghela napas, lalu menatap datar pada gadis yang ada di sampingku itu."Terhitung sepuluh kali kamu ucapin kalimat yang sama, Ra." Aku menggerutu. "Huh! Kapan coba beneran sampainya?"Degree yang ada di depanku tiba-tiba berhenti. "Gak ada perjuangan tanpa pengorbanan yang sep
Read more

Terpisah Dari Tim

"Hahaha. Jokesnya benaran gak lucu, tahu!" Aku melemparkan sebuah gumpalan kertas ke arah Degree."Aku sedang tidak bercanda." Degree menjawab dengan nada beraksen dingin. Tangan pria itu mengambil kertas yang kulempar, lalu memasukkannya ke dalam keranjang sampah. Aku menyobekkan kertas lagi, dan mengulangi hal yang sama. Namun, pria bermata abu-abu itu tidak terlihat marah sama sekali. Kenapa dia selalu bisa menahan emosinya? Aku benar-benar dibuat bingung oleh perubahannya."Sayangi pohon dan alam, Lio! Jangan buang-buang kertas seperti ini!" Degree menegurku dengan suara yang terdengar seperti berbisik. Karena usil, aku pun berpura-pura tidak mendengarkan ucapannya."Kita lihat sampai mana batas kesabarannya," ucapku dalam hati. Mataku terus memantau pria yang duduk di sofa itu. "Kalian ngapain?" Calvin masuk ke dalam ruangan dengan pakaian tidur. Bunny hat di atas kepalanya tampak menggemaskan. Aku pun berniat untuk meminjamkannya sebentar. "Vin, boleh pinjam gak?" Aku menyent
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status