"Nama panggilan yang lo kasih ke gue freak banget deh, Vin!" Aku berdecak kesal. Pria yang duduk di sampingku itu, malah seperti orang yang tidak merasa bersalah sama sekali. Manda yang duduk di sebelahnya tampak memperhatikan tingkahku, dengan tatapan datarnya.Aku membatin, "Gadis kecil itu sedang tertekan atau sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Tatapannya seakan mempunyai makna tertentu. Benar-benar sangat aneh!""Ar, nama bagus itu, loh. Lagian, nama Achilio itu kepanjangan, dan sulit untuk disebut." Calvin mengelak seraya mengerucutkan bibir. "Kalian bisa diam gak, sih?" Degree yang tampak mengendalikan pesawat berkata dengan nada, yang terdengar seperti menahan emosi.Aku tidak ingin pria itu marah dengan kami. Lebih baik mengalah untuk sementara waktu, daripada berurusan dengan Degree. "Ya udah, terserah lo mau manggil gue apa, Vin!""Manda, kamu bisa pake earphone. Gak usah terlalu didengerin omongan mereka berdua tuh," kata Sera sambil memberikan benda itu pada Manda."Ma
"Maafkan aku, Kak Achilio. Maafkan aku semuanya." Air mata gadis itu tampak berjatuhan mengenai magic Degree, yang sepertinya hampir setengah menghilang."Kita akan mati sama-sama. Jadi, tenang aja!" Degree bersimpuh, lalu menundukkan kepalanya. "Terkadang, kebaikan sepertinya tetap tidak bisa mengubah niat jahat."Ada sedikit rasa penyesalan menolong gadis kecil itu. Namun, aku mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu, dan tidak ada gunanya menyesali kesalahan di masa itu. Semuanya telah terjadi, dan mungkin merupakan bagian dari takdir."Salah satu di antara kita harus berkorban," ucap Sera sambil mengeluarkan magic api pelindung."Tapi kekuatanmu hampir habis, Ra!" Aku memadamkan api di tangannya. "Seluruh ahli magic akan mati jika kekuatannya melebih batas maksimal.""Kita gak punya pilihan lain lagi." Sera mendorongku kasar. Gadis itu terlihat sangat marah, matanya semakin berwarna merah menyala. "Aku gak mau kehilangan lagi!""Gak ada gunan
"Selamat datang kembali ke rumah, Tuan muda." Seorang wanita paruh baya berperawakan kurus menyambut kedatangan kami. Rumah kediaman keluarga Smith itu masih sama seperti sebelumnya. Masih terlihat mewah tanpa menghilangkan unsur budaya setempat.Aku mempercepat langkah, agar sampai ke atas sana lebih cepat. Lift tidak bisa digunakan, karena renovasi besar-besaran. Ocehan dan keluhan yang berulangkali dilontarkan oleh Calvin, menemani perjalanan sepanjang tangga melingkar itu."Bisa dipercepat gak langkahnya?" Aku berjalan hampir setengah lunglai. Napasku naik turun, karena lelah menaiki anak tangga, yang entah berapa jumlahnya itu. "Tenang, bentar lagi sampai kok, Ar!" Sera berkata sambil menyemangatiku. Aku menghela napas, lalu menatap datar pada gadis yang ada di sampingku itu."Terhitung sepuluh kali kamu ucapin kalimat yang sama, Ra." Aku menggerutu. "Huh! Kapan coba beneran sampainya?"Degree yang ada di depanku tiba-tiba berhenti. "Gak ada perjuangan tanpa pengorbanan yang sep
"Hahaha. Jokesnya benaran gak lucu, tahu!" Aku melemparkan sebuah gumpalan kertas ke arah Degree."Aku sedang tidak bercanda." Degree menjawab dengan nada beraksen dingin. Tangan pria itu mengambil kertas yang kulempar, lalu memasukkannya ke dalam keranjang sampah. Aku menyobekkan kertas lagi, dan mengulangi hal yang sama. Namun, pria bermata abu-abu itu tidak terlihat marah sama sekali. Kenapa dia selalu bisa menahan emosinya? Aku benar-benar dibuat bingung oleh perubahannya."Sayangi pohon dan alam, Lio! Jangan buang-buang kertas seperti ini!" Degree menegurku dengan suara yang terdengar seperti berbisik. Karena usil, aku pun berpura-pura tidak mendengarkan ucapannya."Kita lihat sampai mana batas kesabarannya," ucapku dalam hati. Mataku terus memantau pria yang duduk di sofa itu. "Kalian ngapain?" Calvin masuk ke dalam ruangan dengan pakaian tidur. Bunny hat di atas kepalanya tampak menggemaskan. Aku pun berniat untuk meminjamkannya sebentar. "Vin, boleh pinjam gak?" Aku menyent
Gadis itu terlihat menangis, dan tidak bisa kutenangkan seperti biasanya. Apa yang membuat sepatah kata itu sungguh menusuk baginya? Aku tidak terlalu ahli dalam memahami wanita. Terutama, ketika situasi tidak memungkinkan seperti itu."Hei, Eunoia," ucapku memanggilnya dengan suara yang dilembut-lembutkan. Sebenarnya aku agak kesal, karena dia tidak menjawab setiap pertanyaan yang kulontarkan.Mata biru itu tampak mengeluarkan semua kesedihannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali terus-menerus menenangkannya lewat motivasi kata. Aku melirik jam arloji, yang ada di pergelangan tangan kirinya. Sial! Sudah pukul sembilan, itu tandanya sudah banyak waktu berlalu dengan percuma.Aku menyandarkan tubuh, di dinding bercat biru terang itu. Menatap sekilas pada pajangan foto-foto masa kecil Eunoia, lalu kembali memperhatikan gerak-gerik gadis di depanku. Kenapa Eunoia merasa tidak bahagia, padahal semua harta berlimpah padanya?Aku sedikit iri dengan kehidupannya, yang melebihi kemewaha
Apalagi yang salah dengan kekuatan portalku? Kenapa setelah mencoba berulangkali tetap tidak bisa terbuka? Aku bersimpuh, lalu menatap langit-langit di atas sana. Kegelapan yang berhasil teratasi dengan cahaya magic, tidak bisa memberikan kebahagiaan lagi. Aku dipenjara rasa takut, dan kegelisahan yang memuncak.Pikiran buruk dan juga ketakutan yang timbul seakan menjerat. Sudah berkeliling ke mana-mana, bahkan ke setiap sudut ruangan di istana itu. Namun, aku tidak bisa menemukan keberadaan Eunoia. Gadis itu seakan hilang ditelan kesunyian, dia pergi ke mana?Eunoia hilang dalam waktu secepat itu. Bahkan, aku tidak menyadarinya. Huh! Aku sepertinya harus melatih skill kewaspadaan. Langkah kakiku terhenti di sebuah ruang piano. Ada kejanggalan yang tampak tersembunyi, di dalam lemari itu. "Aku yakin tadi ada orang di sana," gumamku. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun membuka perlahan pintu lemari kayu itu. "Ternyata hanya perasaanku saja." Aku menghela napas lega, lalu menutup
Hutan belantara atau mungkin penjara pinus itu, seakan menyesatkan jalan. Kami sepertinya telah melewati jembatan kayu yang sama, sebanyak sekitar lima belas kali. Aku mencoba untuk meyakinkan Zay bahwa, tempat itu penuh dengan ilusi. Namun, vampir itu malah menyuruhku untuk diam.Apakah menyampaikan sebuah pendapat adalah sebuah kesalahan? Hak bicaraku seakan dibatasi oleh pria itu. Kalau saja dia bukan Zay, aku mungkin telah mengajaknya duel. "Apakah kamu masih marah denganku, Achilio?" Zay menancapkan pedangnya ke tanah. Aku menatapnya sekilas, lalu mengalihkan padangan ke arah lain—semak-semak belukar di dekatnya."Hei, tidak ada gunanya marah seperti ini, Achilio. Apakah kamu lupa bahwa, seorang pangeran tidak boleh bersikap seperti anak kecil?" Zay sepertinya mencoba untuk membujukku. Namun, aku tetap membungkam. Aku sengaja membiarkannya terus berbicara, hingga dia lelah sendiri.Rembulan di atas sana menyinari hutan gelap itu. Suara jangkrik, dan beberapa binatang malam; buru
"Nama lengkapku adalah Zay Vernost. Golonganku biasa memanggilku Zac. Namun, bagi calon korbanku, mereka sering menyebutku 'Munafik'." Zay memulai obrolan di tengah perjalanan menuju Perusahaan SSM.Orang-orang di bus tampak sibuk sendiri; beberapa di antaranya hanya sibuk bermain ponsel; sebagian lagi, tertidur sambil bersandar di kursi bus."Mu munafik? Hah?" Aku terperanjat, tetapi dengan nada kecil—hampir tidak terdengar seperti ekspresi orang terkejut. "Aku tidak paham dengan apa yang kamu bicarakan.""Aku hanyalah pria yang biasa-biasa saja dengan kehidupan tragis. Ya, tidak ada hal yang menarik dalam hidupku." Zay menyilangkan tangannya, lalu bersandar pelan."Aku jadi ingat saat kita duduk di bawah bangunan, yang sudah hampir setengah hancur, Zay." Aku tersenyum pahit. "Imbas dari perang antar kerajaan memang hanya menyisakan luka, ya?""Seperti katamu, tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu. Sudahlah, jalani saja kehidupan dengan semestinya. Tidak usah repot untuk memikirk