"Maafkan aku, Kak Achilio. Maafkan aku semuanya." Air mata gadis itu tampak berjatuhan mengenai magic Degree, yang sepertinya hampir setengah menghilang."Kita akan mati sama-sama. Jadi, tenang aja!" Degree bersimpuh, lalu menundukkan kepalanya. "Terkadang, kebaikan sepertinya tetap tidak bisa mengubah niat jahat."Ada sedikit rasa penyesalan menolong gadis kecil itu. Namun, aku mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu, dan tidak ada gunanya menyesali kesalahan di masa itu. Semuanya telah terjadi, dan mungkin merupakan bagian dari takdir."Salah satu di antara kita harus berkorban," ucap Sera sambil mengeluarkan magic api pelindung."Tapi kekuatanmu hampir habis, Ra!" Aku memadamkan api di tangannya. "Seluruh ahli magic akan mati jika kekuatannya melebih batas maksimal.""Kita gak punya pilihan lain lagi." Sera mendorongku kasar. Gadis itu terlihat sangat marah, matanya semakin berwarna merah menyala. "Aku gak mau kehilangan lagi!""Gak ada gunan
"Selamat datang kembali ke rumah, Tuan muda." Seorang wanita paruh baya berperawakan kurus menyambut kedatangan kami. Rumah kediaman keluarga Smith itu masih sama seperti sebelumnya. Masih terlihat mewah tanpa menghilangkan unsur budaya setempat.Aku mempercepat langkah, agar sampai ke atas sana lebih cepat. Lift tidak bisa digunakan, karena renovasi besar-besaran. Ocehan dan keluhan yang berulangkali dilontarkan oleh Calvin, menemani perjalanan sepanjang tangga melingkar itu."Bisa dipercepat gak langkahnya?" Aku berjalan hampir setengah lunglai. Napasku naik turun, karena lelah menaiki anak tangga, yang entah berapa jumlahnya itu. "Tenang, bentar lagi sampai kok, Ar!" Sera berkata sambil menyemangatiku. Aku menghela napas, lalu menatap datar pada gadis yang ada di sampingku itu."Terhitung sepuluh kali kamu ucapin kalimat yang sama, Ra." Aku menggerutu. "Huh! Kapan coba beneran sampainya?"Degree yang ada di depanku tiba-tiba berhenti. "Gak ada perjuangan tanpa pengorbanan yang sep
"Hahaha. Jokesnya benaran gak lucu, tahu!" Aku melemparkan sebuah gumpalan kertas ke arah Degree."Aku sedang tidak bercanda." Degree menjawab dengan nada beraksen dingin. Tangan pria itu mengambil kertas yang kulempar, lalu memasukkannya ke dalam keranjang sampah. Aku menyobekkan kertas lagi, dan mengulangi hal yang sama. Namun, pria bermata abu-abu itu tidak terlihat marah sama sekali. Kenapa dia selalu bisa menahan emosinya? Aku benar-benar dibuat bingung oleh perubahannya."Sayangi pohon dan alam, Lio! Jangan buang-buang kertas seperti ini!" Degree menegurku dengan suara yang terdengar seperti berbisik. Karena usil, aku pun berpura-pura tidak mendengarkan ucapannya."Kita lihat sampai mana batas kesabarannya," ucapku dalam hati. Mataku terus memantau pria yang duduk di sofa itu. "Kalian ngapain?" Calvin masuk ke dalam ruangan dengan pakaian tidur. Bunny hat di atas kepalanya tampak menggemaskan. Aku pun berniat untuk meminjamkannya sebentar. "Vin, boleh pinjam gak?" Aku menyent
Gadis itu terlihat menangis, dan tidak bisa kutenangkan seperti biasanya. Apa yang membuat sepatah kata itu sungguh menusuk baginya? Aku tidak terlalu ahli dalam memahami wanita. Terutama, ketika situasi tidak memungkinkan seperti itu."Hei, Eunoia," ucapku memanggilnya dengan suara yang dilembut-lembutkan. Sebenarnya aku agak kesal, karena dia tidak menjawab setiap pertanyaan yang kulontarkan.Mata biru itu tampak mengeluarkan semua kesedihannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali terus-menerus menenangkannya lewat motivasi kata. Aku melirik jam arloji, yang ada di pergelangan tangan kirinya. Sial! Sudah pukul sembilan, itu tandanya sudah banyak waktu berlalu dengan percuma.Aku menyandarkan tubuh, di dinding bercat biru terang itu. Menatap sekilas pada pajangan foto-foto masa kecil Eunoia, lalu kembali memperhatikan gerak-gerik gadis di depanku. Kenapa Eunoia merasa tidak bahagia, padahal semua harta berlimpah padanya?Aku sedikit iri dengan kehidupannya, yang melebihi kemewaha
Apalagi yang salah dengan kekuatan portalku? Kenapa setelah mencoba berulangkali tetap tidak bisa terbuka? Aku bersimpuh, lalu menatap langit-langit di atas sana. Kegelapan yang berhasil teratasi dengan cahaya magic, tidak bisa memberikan kebahagiaan lagi. Aku dipenjara rasa takut, dan kegelisahan yang memuncak.Pikiran buruk dan juga ketakutan yang timbul seakan menjerat. Sudah berkeliling ke mana-mana, bahkan ke setiap sudut ruangan di istana itu. Namun, aku tidak bisa menemukan keberadaan Eunoia. Gadis itu seakan hilang ditelan kesunyian, dia pergi ke mana?Eunoia hilang dalam waktu secepat itu. Bahkan, aku tidak menyadarinya. Huh! Aku sepertinya harus melatih skill kewaspadaan. Langkah kakiku terhenti di sebuah ruang piano. Ada kejanggalan yang tampak tersembunyi, di dalam lemari itu. "Aku yakin tadi ada orang di sana," gumamku. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun membuka perlahan pintu lemari kayu itu. "Ternyata hanya perasaanku saja." Aku menghela napas lega, lalu menutup
Hutan belantara atau mungkin penjara pinus itu, seakan menyesatkan jalan. Kami sepertinya telah melewati jembatan kayu yang sama, sebanyak sekitar lima belas kali. Aku mencoba untuk meyakinkan Zay bahwa, tempat itu penuh dengan ilusi. Namun, vampir itu malah menyuruhku untuk diam.Apakah menyampaikan sebuah pendapat adalah sebuah kesalahan? Hak bicaraku seakan dibatasi oleh pria itu. Kalau saja dia bukan Zay, aku mungkin telah mengajaknya duel. "Apakah kamu masih marah denganku, Achilio?" Zay menancapkan pedangnya ke tanah. Aku menatapnya sekilas, lalu mengalihkan padangan ke arah lain—semak-semak belukar di dekatnya."Hei, tidak ada gunanya marah seperti ini, Achilio. Apakah kamu lupa bahwa, seorang pangeran tidak boleh bersikap seperti anak kecil?" Zay sepertinya mencoba untuk membujukku. Namun, aku tetap membungkam. Aku sengaja membiarkannya terus berbicara, hingga dia lelah sendiri.Rembulan di atas sana menyinari hutan gelap itu. Suara jangkrik, dan beberapa binatang malam; buru
"Nama lengkapku adalah Zay Vernost. Golonganku biasa memanggilku Zac. Namun, bagi calon korbanku, mereka sering menyebutku 'Munafik'." Zay memulai obrolan di tengah perjalanan menuju Perusahaan SSM.Orang-orang di bus tampak sibuk sendiri; beberapa di antaranya hanya sibuk bermain ponsel; sebagian lagi, tertidur sambil bersandar di kursi bus."Mu munafik? Hah?" Aku terperanjat, tetapi dengan nada kecil—hampir tidak terdengar seperti ekspresi orang terkejut. "Aku tidak paham dengan apa yang kamu bicarakan.""Aku hanyalah pria yang biasa-biasa saja dengan kehidupan tragis. Ya, tidak ada hal yang menarik dalam hidupku." Zay menyilangkan tangannya, lalu bersandar pelan."Aku jadi ingat saat kita duduk di bawah bangunan, yang sudah hampir setengah hancur, Zay." Aku tersenyum pahit. "Imbas dari perang antar kerajaan memang hanya menyisakan luka, ya?""Seperti katamu, tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu. Sudahlah, jalani saja kehidupan dengan semestinya. Tidak usah repot untuk memikirk
Satu bulan setelahnya, kami memulai suatu misi penyelidikan rahasia. Nona Filia bersama dengan Eunoia memberikan sejumlah informasi berharga, dan aku tidak mungkin menyia-nyiakan hal itu. Bertemu kembali dengan Sera, Calvin, dan juga Degree seakan telah memberiku semangat baru.Kota Scramble tampak ramai, dan sibuk seperti biasanya. Aku duduk di atas bumi yang mungkin sebentar lagi akan hancur. Di depan Toko Argos—pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di Scramble, kuperhatikan setiap orang yang melintas di depanku."Manusia-manusia menyebalkan. Mereka terlihat kaya, dan berkecukupan. Tapi, tidak ada belas kasihan sedikit pun dengan penyamaranku," ucapku menggerutu di dalam hati.Menjadi seorang anak kecil gelandangan sepertinya tidak mengurangi rasa egois mereka. Ya, tidak ada simpati maupun pertolongan yang mereka berikan. Tidak ada sedikit pun rasa kecewa, setelah mengetahui karakteristik penduduk Scramble. Memang belum ada kemajuan, sejak beberapa hari sebelumnya.Terkadang aku be
Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh
Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,
Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj
"ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b
Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,
"Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia
Perjuanganku selama ini tidak ada gunanya lagi. Aku menghancurkan semua benda yang ada di sekitar sana. Kemarahanku sudah tak bisa ditampung. Dalam satu kali semburan api, aku membakar seluruh sisi lapangan.Harvey mencoba menghentikan, tetapi kekuatanku jauh lebih besar. Hanya menggunakan satu persen magis, anak Dewa Naga itu tak kuasa menahannya. Portal pelindung tingkat tinggi yang dia bangun, kuhancurkan dengan satu kali pukulan.Magis sempurnaku telah bangkit kembali. Kekuatan keseimbangan alam yang bercampur, dengan kristal phoenix telah menguasai seluruh universe. Jentikan jariku bisa mengalahkan siapa pun. Aku tidak takut tewas, karena keabadian telah menjadi milik.Kehancuran akibat magis tingkat tinggiku, menghantarkan Tim Treize ke lokasi. Aku menerbangkan diri menggunakan sayap guardian. Kemudian, memasang garis pembatas, agar mereka tidak terlibat.Degree bersama Bibi Naya mencoba untuk menghancurkan dinding tebal itu. Namun, tentu saja tidak akan bisa. Kekuatan rendahan
Kristal phoenix berhasil ditemukan. Nenek itu sangat baik hati, karena menyerahkan benda itu padaku. Aku bersama dengan Calvin berhasil mempersingkat kultivasi sempurna, hanya dalam dua hari. Kemajuan yang sangat luar biasa, bukan?Keberangkatan kami menuju Kota Linear membutuhkan waktu sekitar lima jam. Perjalanan termakan lama, lantaran macet di ibu kota. Setelah diceramahi oleh Calvin, aku kembali sadar tentang satu hal, yaitu bukan tentang bagaimana menjadi seorang guardian sejati, tetapi proses perjuangan selama ini.Aku membuka layar ponsel. Pesan di SC tampak menumpuk. Ada sekitar lima ribu chat dari gabungan grub, dan chatting personal. Tidak. Bukan itu yang kucari. Beberapa hari sebelumnya, sebuah nomor yang tidak dikenal memberikanku pesan bertuliskan,"Temui aku sendirian, Azo. Mari selesaikan ini tanpa menggunakan kekuatan sedikit pun. Aku berjanji tidak akan bertarung dengan curang. Kali ini, jika aku menang, maka kau harus bersumpah untuk membunuh dirimu sendiri. Tapi ji
Sudah tiga hari aku gelisah. Tubuhku panas dingin. Kepalaku ingin pecah dari tempurung tengkorak. Sebuah pedang yang menancap di atas televisi, tidak bisa ditarik. Berat."Sebenarnya, apa sih, isi kotak kayu itu? Kok pedangku nggak bisa menembusnya, ya?" gumamku seorang diri, sambil memutari televisi yang sudah gosong itu. Di malam sebelum kejadian itu, aku sibuk menonton acara kesayangan—film romantis. Film yang berjudul, "Onze hope for your enemy", karya sutradara terkenal di Linear, memang patut diberi rate seribu dari per sepuluh. Film yang bercerita tentang kehidupan asmara Ceyda–seorang gadis remaja broken home, menuai banyak respon positif dari fansnya. Pertemuan Ceyda dengan seorang pria dingin–Atan, adalah kisah paling unik sepanjang sejarah. Tisuku habis hanya untuk menyeka air mata yang jatuh, ketika menyaksikan film itu di layar televisi.Dua jam setelahnya, aku memutuskan untuk tidur. Lamaran pekerjaanku menjadi asisten lab telah disetujui Tuan Clay—kepala laboratorium