"Kenapa kamu selalu memaafkan semua kesalahanku, Vin?" Aku berkata tanpa menoleh ke arah pria itu. "Aku telah membunuh Reizo, orang yang paling kamu sayang, kan?"Dia hanya bergeming tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Aku bahkan telah merebut Sera darimu. Apakah kamu benar-benar memaafkanku, di hari itu?" Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang."Kamu adalah seorang guardian. Aku percaya kamu akan membawa kita pada kebahagiaan." Calvin mengembangkan senyum khasnya. "Aku akan tetap melakukannya. Meski, aku harus mengorbankan seluruh kebahagiaanku untukmu, Achilio."Deg! Deg! Deg!Jantungku berdetak kencang. Apa yang telah Calvin bicarakan? Apakah aku tidak salah dengar? Kenapa dia mau berjuang keras, untuk mewujudkan mimpiku?"Itu bukan kesalahan siapa pun. Andai Reizo tidak memihak Paman Ergar, mungkin dia tidak akan terbunuh di hari itu." Senyum Calvin tampak memudar, lalu menghilang sepenuhnya. "Bagaimana jika aku nggak bisa menepati janji sebagai seorang guardian?" Aku men
Kami berjalan di tengah lapangan berwarna merah. Tempat itu tampaknya lebih mirip taman hiburan, daripada sebuah perusahaan. Aku melepaskan kacamata, dan memantau keadaan sekitar. Orang-orang di sana masih tetap sibuk bak robot, yang telah diperintahkan untuk patuh; para pekerja itu bergerak dengan sangat kaku.Apakah para pengunjung tidak ada yang curiga? Aneh sekali. Apa memang mataku yang salah lihat? Aku memberikan kode pada Degree—yang ada di samping Calvin. Namun, pria itu sepertinya tidak mengerti apa yang kusampaikan."Sera, bertukar tempat!" Aku memerintah dengan nada setengah berbisik. Wanita yang mengenakan kemeja putih, dengan berbalutkan rok setengah lutut itu tampak mengangguk. Dia sepertinya lebih mudah mencerna informasi daripada Degree."Hei, apa?" Degree menyikut bahuku. Aku memasang wajah kesal, lalu berbisik padanya."Karyawan di sini robot atau manusia, sih?" Aku memicingkan mata kananku. Degree kelihatannya baru menyadarinya juga. Sial! Dia benar-benar lemot."Ak
Karena pusing memikirkan sebuah keputusan, aku pun langsung menggendong gadis itu ke luar. Kepulan asap tebal di dekat pintu utama, memberikanku sebuah ide. "Aku mohon. Semoga kali ini bisa digunakan," gumamku. Gadis kecil itu melihatku dengan keterkejutan di wajahnya. Sorot matanya seakan ingin mengetahui apa rencanaku. Namun, aku tidak bisa membongkar rahasia magic, di depannya."Kak ... aku takut." Mata indah berwarna violet itu terlihat berkaca-kaca. Aku menghentikan langkah, lalu tersenyum hangat padanya."Gadis cantik, tutuplah matamu sebentar." Aku berkata dengan suara yang lembut. Gadis itu bergeming untuk beberapa saat, lalu memejamkan mata.Tanganku mengeluarkan magic berwarna biru. Setelah menoleh ke segala arah, aku pun memperbesar pintu portal di depan kami. Tambahan kekuatan dari magic tingkat dua milik Sean, sepertinya berhasil membuka portal dimensi itu. Asap tebal semakin menutupi penglihatanku. Kami pun masuk ke dalam portal itu, dan dengan cepat tiba di luar Perus
"Nama panggilan yang lo kasih ke gue freak banget deh, Vin!" Aku berdecak kesal. Pria yang duduk di sampingku itu, malah seperti orang yang tidak merasa bersalah sama sekali. Manda yang duduk di sebelahnya tampak memperhatikan tingkahku, dengan tatapan datarnya.Aku membatin, "Gadis kecil itu sedang tertekan atau sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Tatapannya seakan mempunyai makna tertentu. Benar-benar sangat aneh!""Ar, nama bagus itu, loh. Lagian, nama Achilio itu kepanjangan, dan sulit untuk disebut." Calvin mengelak seraya mengerucutkan bibir. "Kalian bisa diam gak, sih?" Degree yang tampak mengendalikan pesawat berkata dengan nada, yang terdengar seperti menahan emosi.Aku tidak ingin pria itu marah dengan kami. Lebih baik mengalah untuk sementara waktu, daripada berurusan dengan Degree. "Ya udah, terserah lo mau manggil gue apa, Vin!""Manda, kamu bisa pake earphone. Gak usah terlalu didengerin omongan mereka berdua tuh," kata Sera sambil memberikan benda itu pada Manda."Ma
"Maafkan aku, Kak Achilio. Maafkan aku semuanya." Air mata gadis itu tampak berjatuhan mengenai magic Degree, yang sepertinya hampir setengah menghilang."Kita akan mati sama-sama. Jadi, tenang aja!" Degree bersimpuh, lalu menundukkan kepalanya. "Terkadang, kebaikan sepertinya tetap tidak bisa mengubah niat jahat."Ada sedikit rasa penyesalan menolong gadis kecil itu. Namun, aku mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu, dan tidak ada gunanya menyesali kesalahan di masa itu. Semuanya telah terjadi, dan mungkin merupakan bagian dari takdir."Salah satu di antara kita harus berkorban," ucap Sera sambil mengeluarkan magic api pelindung."Tapi kekuatanmu hampir habis, Ra!" Aku memadamkan api di tangannya. "Seluruh ahli magic akan mati jika kekuatannya melebih batas maksimal.""Kita gak punya pilihan lain lagi." Sera mendorongku kasar. Gadis itu terlihat sangat marah, matanya semakin berwarna merah menyala. "Aku gak mau kehilangan lagi!""Gak ada gunan
"Selamat datang kembali ke rumah, Tuan muda." Seorang wanita paruh baya berperawakan kurus menyambut kedatangan kami. Rumah kediaman keluarga Smith itu masih sama seperti sebelumnya. Masih terlihat mewah tanpa menghilangkan unsur budaya setempat.Aku mempercepat langkah, agar sampai ke atas sana lebih cepat. Lift tidak bisa digunakan, karena renovasi besar-besaran. Ocehan dan keluhan yang berulangkali dilontarkan oleh Calvin, menemani perjalanan sepanjang tangga melingkar itu."Bisa dipercepat gak langkahnya?" Aku berjalan hampir setengah lunglai. Napasku naik turun, karena lelah menaiki anak tangga, yang entah berapa jumlahnya itu. "Tenang, bentar lagi sampai kok, Ar!" Sera berkata sambil menyemangatiku. Aku menghela napas, lalu menatap datar pada gadis yang ada di sampingku itu."Terhitung sepuluh kali kamu ucapin kalimat yang sama, Ra." Aku menggerutu. "Huh! Kapan coba beneran sampainya?"Degree yang ada di depanku tiba-tiba berhenti. "Gak ada perjuangan tanpa pengorbanan yang sep
"Hahaha. Jokesnya benaran gak lucu, tahu!" Aku melemparkan sebuah gumpalan kertas ke arah Degree."Aku sedang tidak bercanda." Degree menjawab dengan nada beraksen dingin. Tangan pria itu mengambil kertas yang kulempar, lalu memasukkannya ke dalam keranjang sampah. Aku menyobekkan kertas lagi, dan mengulangi hal yang sama. Namun, pria bermata abu-abu itu tidak terlihat marah sama sekali. Kenapa dia selalu bisa menahan emosinya? Aku benar-benar dibuat bingung oleh perubahannya."Sayangi pohon dan alam, Lio! Jangan buang-buang kertas seperti ini!" Degree menegurku dengan suara yang terdengar seperti berbisik. Karena usil, aku pun berpura-pura tidak mendengarkan ucapannya."Kita lihat sampai mana batas kesabarannya," ucapku dalam hati. Mataku terus memantau pria yang duduk di sofa itu. "Kalian ngapain?" Calvin masuk ke dalam ruangan dengan pakaian tidur. Bunny hat di atas kepalanya tampak menggemaskan. Aku pun berniat untuk meminjamkannya sebentar. "Vin, boleh pinjam gak?" Aku menyent
Gadis itu terlihat menangis, dan tidak bisa kutenangkan seperti biasanya. Apa yang membuat sepatah kata itu sungguh menusuk baginya? Aku tidak terlalu ahli dalam memahami wanita. Terutama, ketika situasi tidak memungkinkan seperti itu."Hei, Eunoia," ucapku memanggilnya dengan suara yang dilembut-lembutkan. Sebenarnya aku agak kesal, karena dia tidak menjawab setiap pertanyaan yang kulontarkan.Mata biru itu tampak mengeluarkan semua kesedihannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali terus-menerus menenangkannya lewat motivasi kata. Aku melirik jam arloji, yang ada di pergelangan tangan kirinya. Sial! Sudah pukul sembilan, itu tandanya sudah banyak waktu berlalu dengan percuma.Aku menyandarkan tubuh, di dinding bercat biru terang itu. Menatap sekilas pada pajangan foto-foto masa kecil Eunoia, lalu kembali memperhatikan gerak-gerik gadis di depanku. Kenapa Eunoia merasa tidak bahagia, padahal semua harta berlimpah padanya?Aku sedikit iri dengan kehidupannya, yang melebihi kemewaha