Home / Pendekar / Keris Bunga Bangkai / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of Keris Bunga Bangkai: Chapter 121 - Chapter 130

197 Chapters

121 - Hansa Dan Nareswati

Setelah itu, Tarendra menutup kembali gulungan pesan tersebut dan menunggu jawaban dari perempuan yang ada di hadapannya.“Bukankah itu pesan yang ditujukan untuk Raja Yasoka? Melihat kondisi dari Istana Candrapura, aku tahu Raja Yasoka menolaknya. Jadi, apa kalian akan membumihanguskan Kerajaan Cindani?” tanya perempuan tersebut. “Jika itu yang kalian ingin lakukan, aku tak akan surut dari tempat ini.”Setelah itu perempuan tersebut mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.“Untuk rakyat Cindani!” serunya.Dan seruannya pun disambut oleh sahutan pasukan loyalnya yang tak seberapa, dengan jumlahnya yang sama sekali tak bisa dibandingkan dengan besarnya prajurit Marajaya.Namun Tarendra malah kembali berlutut dan menundukkan kepalanya, membuat seluruh prajuritnya kembali berlutut mengikuti dirinya. Tentu saja semua prajurit Cindani yang sedikit itu semakin kebingungan melihat ratusan prajurit Marajaya itu berlutut di hadapan mereka yang tak seberapa.“Pesan dari Prabu Yashaskar, untuk mengem
last updateLast Updated : 2022-05-16
Read more

122 - Mantan Putri Raja

Tarendra terpaksa menunda keberangkatannya, dan tak juga yakin Bhadra akan secepat itu bisa menemukan Bayantika dan ke 12 orang prajurit tersebut. Dia pun keluar dari kediamannya, melirik ke segala arah. Ada begitu banyak prajurit yang mondar-mandir dengan kesibukan mereka memulihkan kondisi di sekitar istana Candrapura. Banyak dari mereka yang menundukkan pandangan, namun Tarendra malah terlihat tak bersemangat menerimanya. Karena wajah Bayantika yang diharapkannya ada di antara mereka tak kunjung terlihat. “Prajurit!” seru Tarendra memanggil satu orang prajurit yang lewat. “Ya, Panglima!” balas prajurit itu datang menghampiri. “Aku ingin keluar sebentar. Jika nanti Bayantika datang di saat aku tidak ada, suruh saja dia untuk menungguku di sini hingga aku kembali,” jelas Tarendra. “Siap, Panglima!” sahut prajurit tersebut. Tarendra pun berjalan keluar, hendak menelusuri seluk beluk Candrapura tersebut untuk membuang kebosanannya. Hingga langkahnya sampai di suatu tempat yang me
last updateLast Updated : 2022-05-17
Read more

123 - Pedang Tanpa Noda

Senyuman manis seorang Putri Raja yang beberapa saat yang lalu sempat dia sembunyikan serta merta hilang. Saat ini, yang terlihat oleh Tarendra hanyalah wajah dari seorang Panglima Perang.      “Aku juga sama sekali tak berpikir kalau Panglima Tarendra yang namanya begitu mahsyur itu adalah Hansa yang kukenali,” balas Nareswati. “Kenapa seorang Putra Mahkota tunggal sepertimu bisa menjadi Panglima Perang? Apa di Marajaya juga terjadi sesuatu dengan Raja Aryasatya?” tanyanya.     “Tidak juga. Beliau menyerahkan kekuasaan pada adik beliau, Prabu Yashaskar yang saat ini berkuasa. Aku sendiri waktu itu masih terlalu muda, malah memilih hidup di gunung karena ingin bebas dari segala kesibukan di kekeratonan. Aku baru pulang sesaat sebelum Ayahanda wafat, dan menjadi Panglima karena wasiat yang beliau tinggalkan,” jelas Tarendra.     “Apa kamu tak ada niat untuk mengambil alih tahta
last updateLast Updated : 2022-05-17
Read more

124 - Keputusan Bayantika

Saat Tarendra sampai di kediaman sementaranya di dekat reruntuhan Istana Candrapura, Bayantika dan Bhadra sudah terlihat duduk di teras menantikan kedatangannya. Kedua Senopati itu langsung berdiri menyambut kedatangan panglima mereka. Tarendra menatap begitu serius ke arah Bayantika dan membuat Bayantika menjadi serba salah. “Maafkan aku, Panglima. Belakangan aku begitu jarang ada untuk membantu kesibukan di sini,” tutur Bayantika menundukkan pandangannya. Tarendra sama sekali tak menyahut permintaan maaf Bayantika tersebut, dan membuat Bayantika tak kunjung bisa mengangkat wajahnya. Dia terus berjalan memasuki teras rumah dan duduk di depan Bayantika, masih memperhatikannya begitu serius. Bayantika yang tak kunjung mendapatkan respon dari Tarendra menjadi semakin merasa bersalah. “Mohon ampun, Panglima. Aku...” ujar Bayantika bersegera untuk berlutut. Namun langsung di cegah oleh tarendra dan memintanya untuk kembali berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Tarendra bukannya marah
last updateLast Updated : 2022-05-17
Read more

125 - Adaptasi

“Lalu, bagaimana dengan 12 prajurit itu? Di mana mereka saat ini?” tanya Tarendra pada Bayantika. “Mereka adalah prajurit dari Panglima Danadyaksa. Dari 50 orang prajurit yang ikut denganku, hanya mereka yang selamat. Aku tak bisa membuat keputusan terkait ini tanpa membicarakannya dulu dengan Danadyaksa.” “Ah, soal itu...” sergah Bhadra menyela. “Menurutku mereka benar-benar tak bisa menghadap saat ini, Panglima,” lanjutnya menjelaskan. “Kalau begitu bawa aku ke tempat mereka. Bagaimana pun aku masih bertanggung jawab karena meminta mereka untuk ikut menemaniku ke sini,” jelas Tarendra langsung berdiri dari tempat duduknya. Karena suatu alasan tertentu, Bayantika nampak sedikit enggan. Namun dia tak mungkin lagi menolak permintaan Tarendra dengan perkembangan situasinya saat ini yang sudah mengecewakan panglima tersebut. “Bhadra, kamu di sini saja dulu awasi semuanya selama aku pergi,” seru Tarendra. “Baik, Panglima!” jawab Bhadra sedikit menundukkan kepalanya. Akhirnya Bayantik
last updateLast Updated : 2022-05-18
Read more

126 - Pasukan Khusus Kalongrolas

Dua orang prajurit itu, Nandika dan Wisnu, hanya bisa terdiam dan murung. Tentu mereka sudah sadar juga efek buruk dari keputusan tersebut terhadap kondisi tubuh mereka. Karena mereka sudah mencoba menjalaninya selama beberapa minggu, sudah nampak begitu putus asa dengan keadaan mereka saat ini. “Tapi kenyataannya, ada pendekar yang jauh lebih muda dari kami bisa bertahan dan terbiasa dengan kondisi seperti ini,” sahut satu orang prajurit bernama Ekawira, yang saat ini berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Meski berkata seperti ingin menyanggah kata-kata Tarendra, tapi tatapan prajurit itu benar-benar kosong nampak tak berdaya. Seakan kata-kata yang terlontar dari mulutnya itu seperti sedang mengigau saja. “Aku dengar, pendekar itu bisa bertahan menjalani malam seperti ini bertahun-tahun. Aku merasa, justru kondisi seperti inilah yang menempa dirinya menjadi lebih kuat,” terang Arifin. Perhatian Tarendra pun jadi teralihkan untuk sesaat. Dia pun menjadi semakin penasaran dengan pe
last updateLast Updated : 2022-05-18
Read more

127 - Kestabilan Energi

Namun reaksi wajah Bayantika masih memperlihatkan kesan yang tak begitu meyakinkan. Dia terlihat masih belum siap dengan ide tersebut. “Tapi, Panglima!” sahut Bayantika. “Aku tahu ini sesuatu yang baru bagi kerajaan kita,” sergah Tarendra menyela. “Tak ada orang lain yang lebih baik dari dirimu untuk hal seperti ini. Sisanya akan aku serahkan padamu. Jika langkah ini berhasil, aku akan mempertimbangkan untuk menambah prajurit untuk dididik secara khusus untuk tugas ini,” tutup Panglima tersebut. Setelah itu Tarendra menepuk bahu Bayantika sekali sebelum dia pergi meninggalkan tempat tersebut. “Apa Panglima ingin kembali?” tanya Bayantika menyusulnya. “Kamu istirahat saja di sini. Tampangmu saat ini benar-benar mekhawatirkanku. Aku bisa kembali sendiri,” balas Panglima Tarendra. Namun belum jauh Tarendra meninggalkan tempat tersebut, dia kembali menoleh ke belakang seperti teringat sesuatu. “Ada apa, Panglima?” tanya Bayantika datang menghampiri. “Jangan bilang kalau selama ini
last updateLast Updated : 2022-05-19
Read more

128 - Taring Cindaku

“Jadi, hanya dengan mengandalkan tenaga dalam saja tidak cukup, ya?” lanjut Bayantika bertanya untuk memastikan hal tersebut pada Arifin. “Tidak juga. Tenaga dalam juga masih bagian dari energi. Tuan mungkin masih bisa menggunakannya untuk menggangu kestabilan dari roh jahat itu. Tapi kalau untuk melukainya, mungkin butuh tenaga dalam yang jauh lebih kuat. Dengan kata lain, melukai mereka secara paksa dengan merusak kestabilan dari kondisi roh mereka. Kalau pun Tuan bisa mengerahkan tenaga dalam sebesar itu, Tuan akan kehabisan tenaga jadinya.” “Menggunakan energi jiwa yang lebih stabil ini jauh lebih efektif,” tutup Arifin sembari memperlihatkan kondisi dari satu kerambit yang digenggamnya. Bayantika memperhatikan kondisi kerambit itu dengan seksama. Dia seperti bisa melihat ada sesuatu yang menyelimuti bilah kerambit itu. Memang benar, sesuatu yang menyelimuti senjata itu kondisinya mirip dengan kondisi tubuh dari para roh jahat yang akhir-akhir ini sering ditemuinya. Bercahaya pu
last updateLast Updated : 2022-05-19
Read more

129 - Berguru Pada Alam

Memang hari sudah mulai senja juga, dan tempat itu sudah mulai gelap. Bayantika nampak terkesima melihat bagaimana Rangkahasa melakukan gerakan tikaman yang sama berulang-ulang dengan pedangnya.Dia melihat kondisi yang sama yang sebelumnya diperlihatkan oleh Arifin dengan kerambit miliknya.“Jadi, itu juga energi yang sama?” tanya Bayantika.“Ya,” jawab Arifin singkat, dan setelah itu terdiam memperhatikan Rangkahasa dengan seksama dari kejauhan.“Tapi setahuku, pedang yang digunakannya terbuat dari besi yang sama dengan pedang biasanya. Memang terlihat unik sih, karena itu adalah pedang damaskus dari tanah persia,” papar Bayantika.“Itu juga yang aku tak mengerti sampai sekarang,” sahut Arifin. “Tidak lah mudah untuk mengalirkan energi jiwa pada pedang. Apa lagi, sebelum-sebelumnya aku sama sekali tak melihat dia seperti melakukan persiapan apa-apa untuk menarik energi jiwa itu keluar. Langsung saja, tiba-tiba tebasannya memiliki sifat sama dengan serangan energi jiwa seperti yang k
last updateLast Updated : 2022-05-19
Read more

130 - Tarian Pedang Rangkahasa

Arifin pun menarik sebuah kain yang jadi tempat barang bawaannya, tak jauh dari tempat Bayantika saat ini berbaring. Dari sana dia mengeluarkan sejenis alat musik tiup saluang* yang terbuat dari bambu tipis jenis talang. Sesaat kemudian, dia pun memainkan saluang tersebut, cukup sendu terasa menggambarkan lara yang dirasakannya. Lantunan musiknya sedikit memancing perhatian Rangkahasa yang saat ini sedang bertarung dengan beberapa dedemit, cukup jauh dari tempat tersebut. “Hm?” reaksi wajah Rangkahasa sedikit berubah sesaat setelah samar-samar mendengar suara saluang tersebut. “Mulai lagi si Aifin,” gumamnya dengan sedikit tersenyum. Seketika itu, satu tentakel berujung tajam mencuat dari tubuh satu dedemit di sebelahnya. Namun dengan entengnya Rangkahasa menarik bahunya, hanya sedikit saja bergerak untuk menghindari serangan itu. Sejurus kemudian, dengan mulus dia mengangkat pedangnya dan memotong tentakel tersebut sebelum sempat di tarik kembali. Selaras dengan Rangkahasa membuk
last updateLast Updated : 2022-05-20
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
20
DMCA.com Protection Status