Senyuman manis seorang Putri Raja yang beberapa saat yang lalu sempat dia sembunyikan serta merta hilang. Saat ini, yang terlihat oleh Tarendra hanyalah wajah dari seorang Panglima Perang. “Aku juga sama sekali tak berpikir kalau Panglima Tarendra yang namanya begitu mahsyur itu adalah Hansa yang kukenali,” balas Nareswati. “Kenapa seorang Putra Mahkota tunggal sepertimu bisa menjadi Panglima Perang? Apa di Marajaya juga terjadi sesuatu dengan Raja Aryasatya?” tanyanya. “Tidak juga. Beliau menyerahkan kekuasaan pada adik beliau, Prabu Yashaskar yang saat ini berkuasa. Aku sendiri waktu itu masih terlalu muda, malah memilih hidup di gunung karena ingin bebas dari segala kesibukan di kekeratonan. Aku baru pulang sesaat sebelum Ayahanda wafat, dan menjadi Panglima karena wasiat yang beliau tinggalkan,” jelas Tarendra. “Apa kamu tak ada niat untuk mengambil alih tahta
Saat Tarendra sampai di kediaman sementaranya di dekat reruntuhan Istana Candrapura, Bayantika dan Bhadra sudah terlihat duduk di teras menantikan kedatangannya. Kedua Senopati itu langsung berdiri menyambut kedatangan panglima mereka. Tarendra menatap begitu serius ke arah Bayantika dan membuat Bayantika menjadi serba salah. “Maafkan aku, Panglima. Belakangan aku begitu jarang ada untuk membantu kesibukan di sini,” tutur Bayantika menundukkan pandangannya. Tarendra sama sekali tak menyahut permintaan maaf Bayantika tersebut, dan membuat Bayantika tak kunjung bisa mengangkat wajahnya. Dia terus berjalan memasuki teras rumah dan duduk di depan Bayantika, masih memperhatikannya begitu serius. Bayantika yang tak kunjung mendapatkan respon dari Tarendra menjadi semakin merasa bersalah. “Mohon ampun, Panglima. Aku...” ujar Bayantika bersegera untuk berlutut. Namun langsung di cegah oleh tarendra dan memintanya untuk kembali berdiri dan memperlihatkan wajahnya. Tarendra bukannya marah
“Lalu, bagaimana dengan 12 prajurit itu? Di mana mereka saat ini?” tanya Tarendra pada Bayantika. “Mereka adalah prajurit dari Panglima Danadyaksa. Dari 50 orang prajurit yang ikut denganku, hanya mereka yang selamat. Aku tak bisa membuat keputusan terkait ini tanpa membicarakannya dulu dengan Danadyaksa.” “Ah, soal itu...” sergah Bhadra menyela. “Menurutku mereka benar-benar tak bisa menghadap saat ini, Panglima,” lanjutnya menjelaskan. “Kalau begitu bawa aku ke tempat mereka. Bagaimana pun aku masih bertanggung jawab karena meminta mereka untuk ikut menemaniku ke sini,” jelas Tarendra langsung berdiri dari tempat duduknya. Karena suatu alasan tertentu, Bayantika nampak sedikit enggan. Namun dia tak mungkin lagi menolak permintaan Tarendra dengan perkembangan situasinya saat ini yang sudah mengecewakan panglima tersebut. “Bhadra, kamu di sini saja dulu awasi semuanya selama aku pergi,” seru Tarendra. “Baik, Panglima!” jawab Bhadra sedikit menundukkan kepalanya. Akhirnya Bayantik
Dua orang prajurit itu, Nandika dan Wisnu, hanya bisa terdiam dan murung. Tentu mereka sudah sadar juga efek buruk dari keputusan tersebut terhadap kondisi tubuh mereka. Karena mereka sudah mencoba menjalaninya selama beberapa minggu, sudah nampak begitu putus asa dengan keadaan mereka saat ini. “Tapi kenyataannya, ada pendekar yang jauh lebih muda dari kami bisa bertahan dan terbiasa dengan kondisi seperti ini,” sahut satu orang prajurit bernama Ekawira, yang saat ini berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Meski berkata seperti ingin menyanggah kata-kata Tarendra, tapi tatapan prajurit itu benar-benar kosong nampak tak berdaya. Seakan kata-kata yang terlontar dari mulutnya itu seperti sedang mengigau saja. “Aku dengar, pendekar itu bisa bertahan menjalani malam seperti ini bertahun-tahun. Aku merasa, justru kondisi seperti inilah yang menempa dirinya menjadi lebih kuat,” terang Arifin. Perhatian Tarendra pun jadi teralihkan untuk sesaat. Dia pun menjadi semakin penasaran dengan pe
Namun reaksi wajah Bayantika masih memperlihatkan kesan yang tak begitu meyakinkan. Dia terlihat masih belum siap dengan ide tersebut. “Tapi, Panglima!” sahut Bayantika. “Aku tahu ini sesuatu yang baru bagi kerajaan kita,” sergah Tarendra menyela. “Tak ada orang lain yang lebih baik dari dirimu untuk hal seperti ini. Sisanya akan aku serahkan padamu. Jika langkah ini berhasil, aku akan mempertimbangkan untuk menambah prajurit untuk dididik secara khusus untuk tugas ini,” tutup Panglima tersebut. Setelah itu Tarendra menepuk bahu Bayantika sekali sebelum dia pergi meninggalkan tempat tersebut. “Apa Panglima ingin kembali?” tanya Bayantika menyusulnya. “Kamu istirahat saja di sini. Tampangmu saat ini benar-benar mekhawatirkanku. Aku bisa kembali sendiri,” balas Panglima Tarendra. Namun belum jauh Tarendra meninggalkan tempat tersebut, dia kembali menoleh ke belakang seperti teringat sesuatu. “Ada apa, Panglima?” tanya Bayantika datang menghampiri. “Jangan bilang kalau selama ini
“Jadi, hanya dengan mengandalkan tenaga dalam saja tidak cukup, ya?” lanjut Bayantika bertanya untuk memastikan hal tersebut pada Arifin. “Tidak juga. Tenaga dalam juga masih bagian dari energi. Tuan mungkin masih bisa menggunakannya untuk menggangu kestabilan dari roh jahat itu. Tapi kalau untuk melukainya, mungkin butuh tenaga dalam yang jauh lebih kuat. Dengan kata lain, melukai mereka secara paksa dengan merusak kestabilan dari kondisi roh mereka. Kalau pun Tuan bisa mengerahkan tenaga dalam sebesar itu, Tuan akan kehabisan tenaga jadinya.” “Menggunakan energi jiwa yang lebih stabil ini jauh lebih efektif,” tutup Arifin sembari memperlihatkan kondisi dari satu kerambit yang digenggamnya. Bayantika memperhatikan kondisi kerambit itu dengan seksama. Dia seperti bisa melihat ada sesuatu yang menyelimuti bilah kerambit itu. Memang benar, sesuatu yang menyelimuti senjata itu kondisinya mirip dengan kondisi tubuh dari para roh jahat yang akhir-akhir ini sering ditemuinya. Bercahaya pu
Memang hari sudah mulai senja juga, dan tempat itu sudah mulai gelap. Bayantika nampak terkesima melihat bagaimana Rangkahasa melakukan gerakan tikaman yang sama berulang-ulang dengan pedangnya.Dia melihat kondisi yang sama yang sebelumnya diperlihatkan oleh Arifin dengan kerambit miliknya.“Jadi, itu juga energi yang sama?” tanya Bayantika.“Ya,” jawab Arifin singkat, dan setelah itu terdiam memperhatikan Rangkahasa dengan seksama dari kejauhan.“Tapi setahuku, pedang yang digunakannya terbuat dari besi yang sama dengan pedang biasanya. Memang terlihat unik sih, karena itu adalah pedang damaskus dari tanah persia,” papar Bayantika.“Itu juga yang aku tak mengerti sampai sekarang,” sahut Arifin. “Tidak lah mudah untuk mengalirkan energi jiwa pada pedang. Apa lagi, sebelum-sebelumnya aku sama sekali tak melihat dia seperti melakukan persiapan apa-apa untuk menarik energi jiwa itu keluar. Langsung saja, tiba-tiba tebasannya memiliki sifat sama dengan serangan energi jiwa seperti yang k
Arifin pun menarik sebuah kain yang jadi tempat barang bawaannya, tak jauh dari tempat Bayantika saat ini berbaring. Dari sana dia mengeluarkan sejenis alat musik tiup saluang* yang terbuat dari bambu tipis jenis talang. Sesaat kemudian, dia pun memainkan saluang tersebut, cukup sendu terasa menggambarkan lara yang dirasakannya. Lantunan musiknya sedikit memancing perhatian Rangkahasa yang saat ini sedang bertarung dengan beberapa dedemit, cukup jauh dari tempat tersebut. “Hm?” reaksi wajah Rangkahasa sedikit berubah sesaat setelah samar-samar mendengar suara saluang tersebut. “Mulai lagi si Aifin,” gumamnya dengan sedikit tersenyum. Seketika itu, satu tentakel berujung tajam mencuat dari tubuh satu dedemit di sebelahnya. Namun dengan entengnya Rangkahasa menarik bahunya, hanya sedikit saja bergerak untuk menghindari serangan itu. Sejurus kemudian, dengan mulus dia mengangkat pedangnya dan memotong tentakel tersebut sebelum sempat di tarik kembali. Selaras dengan Rangkahasa membuk
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann