Namun reaksi wajah Bayantika masih memperlihatkan kesan yang tak begitu meyakinkan. Dia terlihat masih belum siap dengan ide tersebut. “Tapi, Panglima!” sahut Bayantika. “Aku tahu ini sesuatu yang baru bagi kerajaan kita,” sergah Tarendra menyela. “Tak ada orang lain yang lebih baik dari dirimu untuk hal seperti ini. Sisanya akan aku serahkan padamu. Jika langkah ini berhasil, aku akan mempertimbangkan untuk menambah prajurit untuk dididik secara khusus untuk tugas ini,” tutup Panglima tersebut. Setelah itu Tarendra menepuk bahu Bayantika sekali sebelum dia pergi meninggalkan tempat tersebut. “Apa Panglima ingin kembali?” tanya Bayantika menyusulnya. “Kamu istirahat saja di sini. Tampangmu saat ini benar-benar mekhawatirkanku. Aku bisa kembali sendiri,” balas Panglima Tarendra. Namun belum jauh Tarendra meninggalkan tempat tersebut, dia kembali menoleh ke belakang seperti teringat sesuatu. “Ada apa, Panglima?” tanya Bayantika datang menghampiri. “Jangan bilang kalau selama ini
“Jadi, hanya dengan mengandalkan tenaga dalam saja tidak cukup, ya?” lanjut Bayantika bertanya untuk memastikan hal tersebut pada Arifin. “Tidak juga. Tenaga dalam juga masih bagian dari energi. Tuan mungkin masih bisa menggunakannya untuk menggangu kestabilan dari roh jahat itu. Tapi kalau untuk melukainya, mungkin butuh tenaga dalam yang jauh lebih kuat. Dengan kata lain, melukai mereka secara paksa dengan merusak kestabilan dari kondisi roh mereka. Kalau pun Tuan bisa mengerahkan tenaga dalam sebesar itu, Tuan akan kehabisan tenaga jadinya.” “Menggunakan energi jiwa yang lebih stabil ini jauh lebih efektif,” tutup Arifin sembari memperlihatkan kondisi dari satu kerambit yang digenggamnya. Bayantika memperhatikan kondisi kerambit itu dengan seksama. Dia seperti bisa melihat ada sesuatu yang menyelimuti bilah kerambit itu. Memang benar, sesuatu yang menyelimuti senjata itu kondisinya mirip dengan kondisi tubuh dari para roh jahat yang akhir-akhir ini sering ditemuinya. Bercahaya pu
Memang hari sudah mulai senja juga, dan tempat itu sudah mulai gelap. Bayantika nampak terkesima melihat bagaimana Rangkahasa melakukan gerakan tikaman yang sama berulang-ulang dengan pedangnya.Dia melihat kondisi yang sama yang sebelumnya diperlihatkan oleh Arifin dengan kerambit miliknya.“Jadi, itu juga energi yang sama?” tanya Bayantika.“Ya,” jawab Arifin singkat, dan setelah itu terdiam memperhatikan Rangkahasa dengan seksama dari kejauhan.“Tapi setahuku, pedang yang digunakannya terbuat dari besi yang sama dengan pedang biasanya. Memang terlihat unik sih, karena itu adalah pedang damaskus dari tanah persia,” papar Bayantika.“Itu juga yang aku tak mengerti sampai sekarang,” sahut Arifin. “Tidak lah mudah untuk mengalirkan energi jiwa pada pedang. Apa lagi, sebelum-sebelumnya aku sama sekali tak melihat dia seperti melakukan persiapan apa-apa untuk menarik energi jiwa itu keluar. Langsung saja, tiba-tiba tebasannya memiliki sifat sama dengan serangan energi jiwa seperti yang k
Arifin pun menarik sebuah kain yang jadi tempat barang bawaannya, tak jauh dari tempat Bayantika saat ini berbaring. Dari sana dia mengeluarkan sejenis alat musik tiup saluang* yang terbuat dari bambu tipis jenis talang. Sesaat kemudian, dia pun memainkan saluang tersebut, cukup sendu terasa menggambarkan lara yang dirasakannya. Lantunan musiknya sedikit memancing perhatian Rangkahasa yang saat ini sedang bertarung dengan beberapa dedemit, cukup jauh dari tempat tersebut. “Hm?” reaksi wajah Rangkahasa sedikit berubah sesaat setelah samar-samar mendengar suara saluang tersebut. “Mulai lagi si Aifin,” gumamnya dengan sedikit tersenyum. Seketika itu, satu tentakel berujung tajam mencuat dari tubuh satu dedemit di sebelahnya. Namun dengan entengnya Rangkahasa menarik bahunya, hanya sedikit saja bergerak untuk menghindari serangan itu. Sejurus kemudian, dengan mulus dia mengangkat pedangnya dan memotong tentakel tersebut sebelum sempat di tarik kembali. Selaras dengan Rangkahasa membuk
Menjelang tengah malam, Arifin pun menghentikan lantunan musik saluangnya karena sudah tak tahu lagi apa yang mau dimainkannya. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan oleh pergerakan kecil di semak-semak di luar perkarangan gubuk itu. Sejurus kemudian, beberapa orang berhamburan keluar sembari mengayunkan pedang. “Rangkahasa, bangun!” seru Arifin sembari menyentak bahu Rangkahasa sekali dengan sikutnya. Namun dia langsung pergi meninggalkan gubuk tersebut. Karena saat ini, kesebelas prajurit dari hutan di dekat Candrapura datang membawa begitu banyak dedemit yang memburu mereka. “Maaf, kami terpaksa datang dan malah memancing mereka ke tempat ini,” papar Ekawira menyambut kedatangan Arifin. Arifin pun hanya sibuk memeriksa kondisi Ishwar yang saat ini dipapah oleh Ekawira. “Segera bawa dia ke gubuk, aku akan membantu yang lainnya,” ujar Arifin meninggalkan Ekawira. Rangkahasa pun tersentak oleh kegaduhan dan kedatangan Ekawira membopong Ishwar. Dia tak banyak tanya karena sudah meli
Subuhnya, Bayantika tersentak dan menemukan dua kaki dari dua orang prajurit berbeda di atas dadanya. Dia pun menggesernya, dan bangkit dalam keadaan kebingungan menemukan Prajurit Khusus Kalongrolas itu ada di sana bersamanya. Bayantika pun melihat Arifin nampak sibuk menyeret beberapa potongan tubuh dedemit di pekarangan sekitar gubuk. Dia pun pergi meninggalkan gubuk itu, berjalan keluar sambil melongo hingga menemukan Rangkahasa duduk bersandar di bawah sebuah pohon, nampak tertidur sembari memeluk pedangnya. “Apa yang terjadi? Bagaimana tempat ini bisa kembali ramai oleh para dedemit?” tanya Bayantika pada Arifin yang baru kembali setelah menyeret dua mayat dedemit menjauhi gubuk. “Tuh!” sahut Arifin sembari mengarahkan dagunya ke arah prajurit lain yang masih tertidur di gubuk. Bayantika menoleh ke belakang sembari mengusap-usap kepalanya dengan sedikit menggeleng-gelengkan kepala seperti mengerti bagaimana tempat itu kembali ramai oleh kunjungan dedemit. “Kenapa tidak memba
Ketika sampai di lingkungan keraton, Panglima Tarendra langsung bergegas menuju ke tempat kediaman sang Prabu. Dia bahkan sama sekali tak peduli untuk mengistirahatkan diri setelah perjalanan yang panjang itu. “Dharma, kau tunggulah di pendopo sana. Biarkan aku sendirian menghadap Prabu Yashaskar,” seru Tarendra. “Baiklah, Kangmas!” jawab Dharma sedikit menundukkan pandangannya sebelum dia pergi menuju ke sebuah pendopo di perkerangan lingkungan keraton tersebut. Namun belum lama Dharma duduk sendirian di sana, perhatiannya langsung teralihkan oleh kedatangan Putri Tanisha dari luar. Dharma langsung berdiri melihat kedatangan seorang Putri Raja yang begitu terlihat anggun olehnya dari kejauhan. Meski begitu, Putri Tanisha hanya sesaat melirik ke arahnya, dan terus berlalu dengan menaikkan sedikit dagunya menatap lurus ke arah aula utama kediaman sang raja. Meski hanya sesaat Putri Tanisha melirik ke arahnya. Namun bagi Dharma lirikan itu terasa cukup lama seakan putri itu bergerak
Tanisha kembali menaikkan dagunya dan membuang muka, langsung pergi meninggalkan teras tersebut. Dia nampak cepat berjalan menuju kediamannya yang masih berada di dalam lingkungan keraton tersebut. Ketika sampai di teras di depan kediamannya, dia sempat melirik sesaat ke arah Dharma dan Tarendra yang saat ini nampak asyik mengobrol. Sampai sekarang Tanisha masih tak menunjukkan rasa segan dan hormatnya pada Tarendra. Dia tak habis pikir saja, bagaimana bisa dua orang yang berdarah biru itu bisa terlihat bersahaja bercanda konyol seperti rakyat jelata seperti itu. Hingga kemudian, perhatian kedua orang itu beralih pada dirinya. Dharma nampak kikuk menyembunyikan tawa konyolnya, sementara tarendra terlihat menyenggol lengan Dharma dengan sikutnya. “Mereka?!” gumam Tanisha terlihat tak senang. Kening Tanisha pun langsung berkerut, merasa bahwa kedua orang itu sedang menjadikan dirinya bahan candaan. “Kalian menertawakanku?” bentaknya dari kejauhan. Dharma langsung menunduk rada-rada
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann