Home / Romansa / Setelah Lima Tahun / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 71 - Chapter 80

158 Chapters

Part 66

 "Halo, Assalamu'alaikum, Mas." Aku buru-buru menyambar ponsel di meja dan menyentuh tombol hijau di layar. Sejak tadi ponsel berdering tapi aku masih di kamar mandi. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Dari mana tadi?" "Aku masih di kamar mandi. Lagi ngeramasi rambutnya Syifa. Hari ini dia mau berangkat ngaji lebih awal." "Oh, pantesan. Mas telepon dari tadi enggak di angkat." "Mas, sehat, 'kan? Dua hari enggak nelepon. Aku kepikiran kalau Mas lagi sakit." "Alhamdulillah, Mas sedikit flu. Tapi sudah mendingan ini. Dua hari cuaca buruk, Vi. Jadi Mas tidak bisa nelepon." "Syukurlah kalau sudah membaik. Oh ya, Mas jadi pulang, 'kan?" tanyaku tidak sabar. Terdengar Mas Ilham menghembuskan napas kasar.  "Sepertinya Mas belum bisa pulang. Bagaimana jika Vi dan Abian yang nyusul Mas ke sini?" "B
Read more

Part 67

 Ini, Ma. Papa mau ngomong sama, Mama!" Syifa memberikan ponselnya padaku. Sudah cukup lama dia bicara dengan papanya. Setelah itu dia berlari keluar. Bermain di teras dengan temannya. "Halo, Mas." "Besok jadi di antar Mas Ahmad, 'kan?" "Iya." "Penerbangan jam sembilan pagi. Sampai sini sekitar jam dua belas siang. Nanti pagi-pagi sekali Mas berangkat dari proyek." "Kasihan Syifa, Mas. Bolak-balik dia tanya, apa kita perginya jauh. Katanya kalau dia kangen mau minta di anterin sama Pak Nardi. Sedih aku tuh, Mas." Mas Ilham terdiam. Hembusan napasnya terdengar berat. "Sebulanan lagi kita bisa pulang." "Hu um." "Syifa sekarang mana?" "Lagi main di luar sama Mira. Sejam lagi guru lesnya datang. Ya udah, Mas. Aku mau ngambilin jemuran dulu, ya. Sekalian setrika."
Read more

Part 68

 "Habis ini kita langsung pulang ke proyek, kan, Mas?" tanyaku. "Tidak, Sayang. Mas sudah booking hotel dekat bandara. Lusa pagi kita baru kembali ke proyek." "Oh." "Mas ngajak kalian menginap dulu di sini biar bisa istirahat. Lagian kita perlu belanja beberapa barang. Kalau langsung kembali, tengah malam baru nyampe sana. Kasihan Abian. Lagi pula jalanan pasti gelap banget. Kita bakalan nempuh perjalanan lima jam." Aku mengangguk paham dengan penjelasan Mas Ilham. Kami menghabiskan makan dan aku sempat menyuapi Abian dengan bubur bayi instan. Dia memang sudah mulai makan dua minggu ini. "Kamu cantik banget hari ini," pujinya. Saat kami sudah di dalam mobil dan keliling di pusat kota. Bibirku mencebik. "Iyalah, dua bulan lebih enggak ketemu makanya terlihat cantik." Mas Ilham tersenyum. "Beneran Mas tak bohong." 
Read more

Part 69

 Kami saling pandang. Kecupannya di bibir membawa desiran hangat yang menyebar di seluruh syaraf tubuh. Menimbulkan riak-riak dahsyat yang menggila dalam jiwa dan kian menuntut. "Mas, sudah baca doa?" tanyaku mengingatkan. Sebab aku belum melihat bibirnya bergerak membaca doa seperti biasanya. Dia tersenyum, mengingat kealpaannya. Kemudian dia diam sejenak. Merapal doa seperti biasanya. Ucapan cinta kudengar disetiap helaan napasnya yang tidak lagi teratur. Dua bulan berpisah, telah membuatnya benar-benar tidak bisa menahan diri. Untungnya aku sudah menemui dan konsultasi dengan Dokter Endah seminggu sebelum aku berangkat ke sini. Mengingat dalam kondisi memakai kontrasepsi pun aku bisa hamil. Aku ingin mengikuti program pemerintah, dua anak cukup. Mudah-mudahan Mas Ilham juga begitu. Sebab kami belum pernah membicarakan hal ini. Sesekali aku melirik Abian yang tidur
Read more

Part 70

 Aku mendengar pembicaraan mereka di luar kamar. Gorden warna gold yang menutup jendela kaca aku singkap sedikit. Di bawah pohon sana ada seorang pria dewasa dan seorang perempuan seksi yang kuperkirakan seusia Mas Ilham. Mereka berbincang-bincang. Insting perempuan, aku melihat wanita itu tampak berbeda menatap suamiku. Padahal kata Mas Ilham tadi, mereka itu suami istri, 'kan? Abian merengek, aku segera menghampiri ranjang. Bocah itu tampak heran memandang sekeliling. "Ini tempat Papa kerja, Sayang. Jangan rewel ya di sini nanti," kataku sambil mengangkatnya dari tempat tidur. Pada saat yang bersamaan Mas Ilham masuk. "Eh, sudah bangun anak Papa. Sini, Sayang." Abian langsung menerima uluran tangan papanya. Pipinya yang imut diciumi beberapa kali oleh Mas Ilham. "Ayo, Mas kenalkan sama Pak Petra dan istrinya." 
Read more

Part 71

 Semua lampu-lampu telah menyala. Memandang kejauhan yang tampak hanya gelap. Sunyi. Suara gemuruh ombak pantai terdengar jelas dalam suasana begini. Aku membawa Abian masuk kamar. Mengajaknya bermain sebentar sebelum dia mengantuk. Sementara Mas Ilham duduk di bangku depan kamar, ngobrol dengan Didit dan beberapa orang lainnya. Sambil mengawasi Abian aku membalas pesan dari Ibu dan Miya. Aku jadi kangen mereka semua, terutama pada putri kecilku. Padahal baru beberapa hari saja aku meninggalkannya, sudah sekangen ini. Aku juga ingin sekali cerita ke Miya tentang perjalananku dan suasana baru di sini. Suamiku yang tiba-tiba jadi tukang gombal dan romantisnya minta ampun. "Hayo, balas chat siapa?" tegur Mas Ilham yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. "Ibu dan Miya. Mereka ngirim pesan dari siang tadi, tapi baru nyampe sekarang. Ini aku balesin tapi centang satu saja.
Read more

Part 72 Sebuah Kisah Asmara

 Sepulang dari pantai aku mengajak Abian keliling ke beberapa spot keren yang dekat dengan tempat tinggal kami. Pemandangannya benar-benar indah, makanya tempat ini dijadikan resort. Aku mengambil beberapa foto untuk kukirim kepada Ibu dan Miya. Setelah mandi dan sarapan, Mas Ilham sibuk di kantor bersama beberapa karyawan. "Dari mana tadi?" tanya Mas Ilham, saat dia masuk kamar setelah aku baru kembali dari luar. "Jalan-jalan di sekitar sini saja." "Jangan jauh-jauh. Jangan ke tempat-tempat yang asing." Aku termenung sejenak. "Ah, enggak." Jadi merinding mendengar larangan Mas Ilham. Aku jadi ingat kalau tempat-tempat yang jarang di jamah manusia begini, pasti ada kisah misterinya. "Mas kembali dulu ke kantor." Aku mengangguk. Kulepas bergo yang kupakai. Terus memeriksa ponsel sebent
Read more

Part 73

 Aku tersenyum. Suka sekali melihat mimik wajahnya yang gusar. Tatapannya yang sendu. "Apa mungkin Mas harus menunggu sampai beberapa tahun lagi?" Wajah itu kubingkai dengan kedua tanganku. Kukecup bibirnya sesaat. "Enggak perlu ungkapan, yang penting aku telah membuktikan." "Vi." "Hmm." "Jika dulu kita tidak punya Abian. Apa Vi akan ninggalin Mas." "Mungkin," jawabku sambil terus menatapnya. Sedikit menggodanya tidak apa-apa, 'kan? Mas Ilham menjatuhkan tubuhnya. Hembus napasnya terdengar jelas dan hangat di pipiku. "Untungnya kamu lekas hamil lagi. Mas bersyukur punya Syifa dan Abian," bisiknya pelan. "Aku juga bersyukur memiliki mereka." Malam makin larut, selarut percakapan kami di malam keempat pertemuan itu. 🌺🌺🌺 J
Read more

Part 74 Di Sebuah Pesta

 "Aku capek, Mas," kataku sambil mengempaskan diri di ranjang hotel. Setelah melepaskan jilbab dan menaruh barang belanjaan. Abian masih di gendong papanya. Setengah hari ini Mas Ilham mengajakku keliling di sepanjang koridor mall. Mencari gaun pesta untuk menghadiri pernikahan adiknya Bu Melinda yang akan di adakan di ballroom hotel ini. Pastinya akan menjadi pesta yang sangat megah. Aku kembali bangun, lalu mendekati Mas Ilham dan Abian yang berdiri dekat jendela kamar yang menghadap langsung ke kolam renang hotel. Kami berada di kamar lantai lima. Pak Petra sengaja menyiapkan penginapan untuk kami di hotel tempat berlangsungnya acara pernikahan adik iparnya. Biar tidak ribet, soalnya kami bawa bayi. Orang-orang penting akan hadir dalam pernikahan ini nanti, termasuk big bos-nya Mas Ilham. Tadi Pak Petra menunggu kedatangan kami di lobi hotel. 
Read more

Part 75

"Ke mana, Mas?""Ada dua destinasi untuk dipilih. Malaysia dan Singapura. Besok saat kita ketemuan baru menentukan hendak ke mana." "Ngurus paspor dulu, dong." "Iya. Nanti Mas usahakan untuk mengurus paspor kita." Aku jadi kepikiran Syifa. Kasihan karena tidak akan bisa ikut. Sebagai ibu, aku merasa seperti tidak adil padanya. "Mas kasihan sama Syifa, Vi. Dia mungkin tidak akan bisa ikut." Ah, Mas Ilham pun memiliki perasaan yang sama.  🌺🌺🌺 Jam delapan pagi, seorang pegawai salon datang untuk meriasku di kamar. Rupanya Pak Petra yang menyiapkan semua ini. Baik sekali pria itu.  Untungnya sebelum wanita umur empat puluhan itu datang, Abian sudah aku mandikan dan ganti baju. Tinggal Mas Ilham yang sekarang sedang mandi. Hanya butuh waktu lima belas menit, wanita itu telah selesai
Read more
PREV
1
...
678910
...
16
DMCA.com Protection Status