Sepulang dari pantai aku mengajak Abian keliling ke beberapa spot keren yang dekat dengan tempat tinggal kami. Pemandangannya benar-benar indah, makanya tempat ini dijadikan resort.
Aku mengambil beberapa foto untuk kukirim kepada Ibu dan Miya.
Setelah mandi dan sarapan, Mas Ilham sibuk di kantor bersama beberapa karyawan.
"Dari mana tadi?" tanya Mas Ilham, saat dia masuk kamar setelah aku baru kembali dari luar.
"Jalan-jalan di sekitar sini saja."
"Jangan jauh-jauh. Jangan ke tempat-tempat yang asing."
Aku termenung sejenak. "Ah, enggak."
Jadi merinding mendengar larangan Mas Ilham. Aku jadi ingat kalau tempat-tempat yang jarang di jamah manusia begini, pasti ada kisah misterinya.
"Mas kembali dulu ke kantor."
Aku mengangguk. Kulepas bergo yang kupakai. Terus memeriksa ponsel sebent
Aku tersenyum. Suka sekali melihat mimik wajahnya yang gusar. Tatapannya yang sendu."Apa mungkin Mas harus menunggu sampai beberapa tahun lagi?"Wajah itu kubingkai dengan kedua tanganku. Kukecup bibirnya sesaat. "Enggak perlu ungkapan, yang penting aku telah membuktikan.""Vi.""Hmm.""Jika dulu kita tidak punya Abian. Apa Vi akan ninggalin Mas.""Mungkin," jawabku sambil terus menatapnya. Sedikit menggodanya tidak apa-apa, 'kan?Mas Ilham menjatuhkan tubuhnya. Hembus napasnya terdengar jelas dan hangat di pipiku."Untungnya kamu lekas hamil lagi. Mas bersyukur punya Syifa dan Abian," bisiknya pelan."Aku juga bersyukur memiliki mereka."Malam makin larut, selarut percakapan kami di malam keempat pertemuan itu.🌺🌺🌺J
"Aku capek, Mas," kataku sambil mengempaskan diri di ranjang hotel. Setelah melepaskan jilbab dan menaruh barang belanjaan. Abian masih di gendong papanya.Setengah hari ini Mas Ilham mengajakku keliling di sepanjang koridor mall. Mencari gaun pesta untuk menghadiri pernikahan adiknya Bu Melinda yang akan di adakan di ballroom hotel ini.Pastinya akan menjadi pesta yang sangat megah.Aku kembali bangun, lalu mendekati Mas Ilham dan Abian yang berdiri dekat jendela kamar yang menghadap langsung ke kolam renang hotel. Kami berada di kamar lantai lima.Pak Petra sengaja menyiapkan penginapan untuk kami di hotel tempat berlangsungnya acara pernikahan adik iparnya. Biar tidak ribet, soalnya kami bawa bayi. Orang-orang penting akan hadir dalam pernikahan ini nanti, termasuk big bos-nya Mas Ilham.Tadi Pak Petra menunggu kedatangan kami di lobi hotel.
"Ke mana, Mas?""Ada dua destinasi untuk dipilih. Malaysia dan Singapura. Besok saat kita ketemuan baru menentukan hendak ke mana.""Ngurus paspor dulu, dong.""Iya. Nanti Mas usahakan untuk mengurus paspor kita."Aku jadi kepikiran Syifa. Kasihan karena tidak akan bisa ikut. Sebagai ibu, aku merasa seperti tidak adil padanya."Mas kasihan sama Syifa, Vi. Dia mungkin tidak akan bisa ikut."Ah, Mas Ilham pun memiliki perasaan yang sama.🌺🌺🌺Jam delapan pagi, seorang pegawai salon datang untuk meriasku di kamar. Rupanya Pak Petra yang menyiapkan semua ini. Baik sekali pria itu.Untungnya sebelum wanita umur empat puluhan itu datang, Abian sudah aku mandikan dan ganti baju. Tinggal Mas Ilham yang sekarang sedang mandi.Hanya butuh waktu lima belas menit, wanita itu telah selesai
Sampai sore Mas Ilham tidak cerita padaku bahwa dia telah melihat Nura. Sepertinya dia pun tidak tahu kalau aku juga melihat perempuan itu. Mas Ilham bersikap biasa saja.Biarlah, bersikap masa bodoh jauh lebih baik. Diam dan memperhatikan saja."Jam berapa, Mas meeting nanti?" tanyaku memindahkan lengannya yang melingkar di pinggangku."Jam tujuh malam.""Dengan siapa saja?""Dengan semua BM yang hadir hari ini.""Pak Alex juga?""Ya. Tadi dia ngomong apa ke, Vi?""Cuman tanya kabar saja.""Bener?""Iya. Sama tanya apakah aku kerasan atau enggak tinggal di tengah hutan.""Vi, jawab apa?""Kujawab kalau aku tersiksa tinggal di sana."Mas Ilham menatapku tajam. Cukup lama aku memandang netranya y
Melihat Mas Ilham tidak peduli, aku kembali fokus makan. Sesekali menatap Abian yang asik bermain dengan mainan di tangannya."Selamat pagi, Pak Ilham dan Ibu!"Sontak kami menoleh mendengar sapaan itu. Seorang pria perlente berdiri di sebelah kiri kami."Pak Rony, mau gabung bersama kami. Mari silakan duduk," ucap Mas Ilham ramah sambil menarik kursi di sebelahnya untuk pria setengah baya itu.Nura menyusul dan berdiri di sebelah Pak Rony."Saya datang bersama Bu Nura. Kemarin ada pekerjaan di sini sekaligus menghadiri undangan dari Pak Broto." Laki-laki itu menjelaskan."Mari silakan bergabung dengan kami," kata Mas Ilham lagi.Aku menggeser dudukku di sebelah Mas Ilham, lalu menarik satu kursi lagi buat Nura. Mereka lantas duduk berhadapan dengan kami di meja bulat itu. Mas Ilham menawari sarapan bersama-sama, tapi
"Kamu bingung, ya, mau jawab apa? Sebab kamu tidak pernah mengalami apa yang aku alami," kata Bu Melinda lagi tanpa memandangku.Justru Mas Ilham dan Pak Alex yang menatapku.Abian sudah tidur di pangkuanku. Dengan di bantu Mas Ilham, Abian kupindahkan ke stroller-nya.Bu Melinda menatap lurus ke dinding kaca, yang menampakkan pemandangan taman di hadapan kami. Aku sendiri tidak tahu harus bilang apa. Kami tidak pernah berbincang banyak hal sebelumnya.Dia juga tidak tahu. Bahwa aku telah melewati peristiwa itu. Fase yang sulit. Dan permasalahan Bu Melinda malah lebih rumit."Vi.""Ya, Kak.""Apa kamu akan memaafkan suami yang punya anak dengan perempuan lain?""Enggak, Kak," jawabku spontan. Namun aku sudah tahu, masalah Bu Melinda dan Pak Petra tidah sesederhana itu."T
"Tapi yang sulung tampaknya sudah bisa meraba, hanya saja dia diam saja," kata Bu Melinda lagi.Percakapan kami terhenti saat dua anak Bu Melinda yang lain menghambur masuk kamar. Mereka tersenyum senang, menghampiri Abian. Mereka baru pulang sekolah."Hati-hati, ya, adeknya masih kecil.""Iya, Ma," jawab Vita.Seorang wanita umur empat puluhan mengetuk pintu kamar yang terbuka. "Makan siangnya sudah siap, Bu.""Iya. Tolong, Bibik, awasi anak-anak di sini dulu, ya. Terutama bayi ganteng itu."ART itu mengangguk. "Ya, Bu."Meja makan itu berbentuk oval. Dia atasnya ada tumis daun pakis, balado telur, gulai ikan kakap, ayam goreng, satu teko sirup, irisan buah semangka, dan melon.Mereka makan sambil berbincang, sedangkan aku hanya jadi pendengar. Sesekali tersenyum menanggapi kelakar Pak Petra. 
Kami baru saja pulang dari makan malam di kedai bakso tidak jauh dari rumah dinas Mas Ilham. Rumah Putri tampak sepi, pintunya tertutup rapat. Bahkan lampu ruang tamu tidak dinyalakan."Apa mereka enggak di rumah, Mas? Sepi banget," tanyaku pada Mas Ilham yang sedang membuka kunci rumah.Alhamdulillah, rumah yang kami tempati ini sudah dibersihkan sama pemiliknya, makanya kami tidak repot untuk membersihkannya lebih dulu."Mobilnya tidak ada, mungkin mereka ke luar."Abian aku pangku di sofa sambil aku susui."Gadis itu tampak aneh, Mas.""Waktu Mas baru sampai, yang membersihkan rumah ini cerita kalau gadis itu baru saja gagal menikah.""Kenapa?""Mas tidak tahu. Bapak itu juga tak menjelaskan.""Ah, Mas. Aku penasaran kan jadinya," sungutku.Mas Ilham ter
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T