Home / Romansa / Setelah Lima Tahun / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 81 - Chapter 90

158 Chapters

Part 76 Hati Seorang Perempuan

 Sampai sore Mas Ilham tidak cerita padaku bahwa dia telah melihat Nura. Sepertinya dia pun tidak tahu kalau aku juga melihat perempuan itu. Mas Ilham bersikap biasa saja. Biarlah, bersikap masa bodoh jauh lebih baik. Diam dan memperhatikan saja.  "Jam berapa, Mas meeting nanti?" tanyaku memindahkan lengannya yang melingkar di pinggangku. "Jam tujuh malam." "Dengan siapa saja?" "Dengan semua BM yang hadir hari ini." "Pak Alex juga?" "Ya. Tadi dia ngomong apa ke, Vi?" "Cuman tanya kabar saja." "Bener?" "Iya. Sama tanya apakah aku kerasan atau enggak tinggal di tengah hutan." "Vi, jawab apa?" "Kujawab kalau aku tersiksa tinggal di sana." Mas Ilham menatapku tajam. Cukup lama aku memandang netranya y
Read more

Part 77

 Melihat Mas Ilham tidak peduli, aku kembali fokus makan. Sesekali menatap Abian yang asik bermain dengan mainan di tangannya. "Selamat pagi, Pak Ilham dan Ibu!"  Sontak kami menoleh mendengar sapaan itu. Seorang pria perlente berdiri di sebelah kiri kami. "Pak Rony, mau gabung bersama kami. Mari silakan duduk," ucap Mas Ilham ramah sambil menarik kursi di sebelahnya untuk pria setengah baya itu. Nura menyusul dan berdiri di sebelah Pak Rony. "Saya datang bersama Bu Nura. Kemarin ada pekerjaan di sini sekaligus menghadiri undangan dari Pak Broto." Laki-laki itu menjelaskan. "Mari silakan bergabung dengan kami," kata Mas Ilham lagi. Aku menggeser dudukku di sebelah Mas Ilham, lalu menarik satu kursi lagi buat Nura. Mereka lantas duduk berhadapan dengan kami di meja bulat itu. Mas Ilham menawari sarapan bersama-sama, tapi
Read more

Part 78 Keputusan yang Tidak Mudah

 "Kamu bingung, ya, mau jawab apa? Sebab kamu tidak pernah mengalami apa yang aku alami," kata Bu Melinda lagi tanpa memandangku. Justru Mas Ilham dan Pak Alex yang menatapku.  Abian sudah tidur di pangkuanku. Dengan di bantu Mas Ilham, Abian kupindahkan ke stroller-nya. Bu Melinda menatap lurus ke dinding kaca, yang menampakkan pemandangan taman di hadapan kami. Aku sendiri tidak tahu harus bilang apa. Kami tidak pernah berbincang banyak hal sebelumnya. Dia juga tidak tahu. Bahwa aku telah melewati peristiwa itu. Fase yang sulit. Dan permasalahan Bu Melinda malah lebih rumit. "Vi." "Ya, Kak." "Apa kamu akan memaafkan suami yang punya anak dengan perempuan lain?" "Enggak, Kak," jawabku spontan. Namun aku sudah tahu, masalah Bu Melinda dan Pak Petra tidah sesederhana itu.  "T
Read more

Part 79

 "Tapi yang sulung tampaknya sudah bisa meraba, hanya saja dia diam saja," kata Bu Melinda lagi. Percakapan kami terhenti saat dua anak Bu Melinda yang lain menghambur masuk kamar. Mereka tersenyum senang, menghampiri Abian. Mereka baru pulang sekolah. "Hati-hati, ya, adeknya masih kecil." "Iya, Ma," jawab Vita. Seorang wanita umur empat puluhan mengetuk pintu kamar yang terbuka. "Makan siangnya sudah siap, Bu." "Iya. Tolong, Bibik, awasi anak-anak di sini dulu, ya. Terutama bayi ganteng itu." ART itu mengangguk.  "Ya, Bu." Meja makan itu berbentuk oval. Dia atasnya ada tumis daun pakis, balado telur, gulai ikan kakap, ayam goreng, satu teko sirup, irisan buah semangka, dan melon. Mereka makan sambil berbincang, sedangkan aku hanya jadi pendengar. Sesekali tersenyum menanggapi kelakar Pak Petra. 
Read more

Part 80 Hamil?

 Kami baru saja pulang dari makan malam di kedai bakso tidak jauh dari rumah dinas Mas Ilham. Rumah Putri tampak sepi, pintunya tertutup rapat. Bahkan lampu ruang tamu tidak dinyalakan. "Apa mereka enggak di rumah, Mas? Sepi banget," tanyaku pada Mas Ilham yang sedang membuka kunci rumah. Alhamdulillah, rumah yang kami tempati ini sudah dibersihkan sama pemiliknya, makanya kami tidak repot untuk membersihkannya lebih dulu. "Mobilnya tidak ada, mungkin mereka ke luar." Abian aku pangku di sofa sambil aku susui.  "Gadis itu tampak aneh, Mas." "Waktu Mas baru sampai, yang membersihkan rumah ini cerita kalau gadis itu baru saja gagal menikah." "Kenapa?" "Mas tidak tahu. Bapak itu juga tak menjelaskan." "Ah, Mas. Aku penasaran kan jadinya," sungutku. Mas Ilham ter
Read more

Part 81

 Senyumnya yang biasa membuatku tenang, sekarang tidak bisa lagi meredam kekhawatiran yang kurasakan. Di sini memang ada banyak orang, tapi orang kalap bisa nekat dan berbuat apa saja. Kulingkarkan kedua lengan di pinggangnya dan menyandarkan kepala di dadanya. "Tidak usah cemas, besok kami akan membicarakan masalah ini saat meeting," kata Mas Ilham sambil merangkulku. Aku teringat waktu beberapa laki-laki itu datang dengan tampang garang dan badan penuh tato. Memang tidak kulihat mereka memegang senjata tajam, tapi siapa tahu di sembunyikan di balik jaketnya. Mas Ilham mendapatkan gaji lebih besar, tapi dengan resiko pekerjaan lebih besar juga.  "Mas, aku sebenarnya heran. Kenapa  bos membangun resort di sini? Bukankah ini jauh dari mana-mana. Mau ke sini saja perjalanannya melelahkan," tanyaku masih tetap memeluknya. "Nanti akan di bangun bandara domestik
Read more

Part 82 Cinta Sepanjang Jalan

 Senja tiba, bias sisa cahaya dari matahari membaur dengan gelap malam yang mulai datang, menyatu dan menampilkan semburat warna jingga yang merona indah.  Aku duduk di bangku depan kamar bersama Sekar, sedangkan Abian ikut papanya jalan-jalan. "Aku besok mau ke kota, ikut enggak?" tanyaku pada Sekar. "Mbak, mau belanja?" "Ya, sama mau periksa. Akhir-akhir ini sering pusing dan cepat lelah. Mungkin kurang darah, tapi Mas Ilham nyangka aku lagi hamil." "Emangnya, Mbak Vi, telat datang bulan?" "Aku enggak pernah mengingat tanggal haid. Kupikir sedang memakai kontrasepsi, jadi enggak mungkin akan hamil. Lagian aku hanya merasa pusing dan cepat lelah. Kadang saja mual." "Aku bawa beberapa testpack. Sebentar aku ambilin." Sekar gegas masuk kamarnya. Aku menunggu dengan perasaan cemas. Dia kembali sambil m
Read more

Part 83

 Aku tetap diam di dalam kamar. Mungkin kalau yang diajaknya Bu Melinda, aku akan datang menemui. Sekar datang mengetuk pintu.  "Masuk aja!" teriakku. Wanita masuk lantas menciumi Abian yang berdiri di samping tempat tidur. Abian sudah belajar berdiri dan rambatan di box dan tempat tidur kami. Kalau saja ruangan ini luas, aku akan membelikan baby walker. "Mbak, wanita yang diajak Pak Petra tadi bukan istrinya, 'kan? Yang pernah bertemu denganku di kantor imigrasi pas Mbak bikin paspor waktu itu bukan dia, 'kan?" Aku menggeleng. "Bukan." "Terus ...." "Itu istri keduanya." "Yang bener, Mbak?" "Ya. Yang bertemu denganmu di imigrasi itu namanya Bu Melinda." "Apa Bu Melinda tahu?" "Tahu." "Ya Allah, bisa terima kalau begit
Read more

Part 84 Holiday

 Kendaraan mini bus ini melaju di jalan tol menuju ke Nilai Springs Resort Hotel, sebuah hotel yang akan menjadi tempat penginapan kami dalam beberapa hari ini. Dari bandara KLIA ke hotel menempuh perjalanan selama kurang lebih lima belas menit dengan jarak sekitar 18 km di sebelah selatan bandara. Itu penjelasan yang diberikan oleh Pak Rahman, orang kepercayaan Big Bos yang akan jadi tour guide kami kali ini. Sepanjang perjalanan Abian sangat anteng di pangkuanku, melihat keluar jendela sambil makan biskuit. Pokoknya ada biskuit sama mainan, dia akan anteng dan tidak berisik. Kebun kelapa sawit juga kami jumpai di perjalanan kami. Pohonnya masih setinggi orang dewasa, tanaman baru. Kendaraan memasuki area parkir di hotel yang kami tuju. Satu per satu penumpang turun. Sebelum masuk hotel, kami mengadakan sesi foto bersama di depan Nilai Springs Resort Hotel.  Pak Petra dan Bu Melind
Read more

Part 85

 Aku baru tahu kalau Pak Petra ini seorang mualaf. Ilmu agama belum mumpuni telah berani mengambil langkah poligami, di mana seorang istri tidak menginginkan hidup berbagi. Namun sejauh kami cerita. Bu Melinda belum mengungkapkan kisah sebelumnya. Tentang kehamilannya yang akhirnya dinikahi Pak Petra. "Perempuan itu masih gadis saat kenal Abang. Masih perawan saat mereka bersama." "Pak Petra cerita ke, Kakak, tentang hal itu?" Bu Melinda mengangguk. Tampak kesedihan makin pekat terlihat di netranya. Sedih karena dalam hal ini dia dikalahkan oleh perempuan itu, yang mana Bu Melinda tidak bisa memberikan kehormatan itu pada suaminya. "Maaf, ya. Harusnya kita bahagia di holiday kali ini. Tapi kamu malah harus mendengarkan keluh kesah kakak." "Enggak apa-apa, Kak. Santai saja." "Ya, sudah. Kakak mau kembali ke kamar. Sebelum mere
Read more
PREV
1
...
7891011
...
16
DMCA.com Protection Status