Home / Romansa / Setelah Lima Tahun / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 91 - Chapter 100

158 Chapters

Part 86 Melinda's Side Story

 Melinda's POV Aku kembali ke kamar setelah bicara dengan istrinya Om Broto. Tante Ros, begitu aku biasa memanggilnya. Namanya Rosalina, beliau adalah adik kandung Ibuku. "Seminggu yang lalu Arfan menemui Tante. Dia ingin sekali bertemu Rama, meski dari kejauhan saja. Sudah empat kali ini dia tanya alamat kalian." Arfan adalah ayah biologis anak pertamaku. Kekasih yang meninggalkan benih di rahimku lalu menghilang bagai ditelan bumi. "Jangan dikasih tahu, Tan. Biarkan saja. Bagiku semua urusan dengannya telah selesai sejak dia meninggalkanku." "Iya, Tante hanya memberitahumu. Ya sudah, kamu istirahat saja. Enggak usah dipikirkan." Tante Ros tersenyum sambil menepuk pundakku. Kuambil ponsel di saku celana, kupandang foto Rama saat sedang bermain bulu tangkis. Wajahnya sangat mirip pria itu. Pria pengecut itu. Usia Rama sekaran
Read more

Part 87

 Melinda's POV Hatiku sakit saat ingat Bang Petra pernah membela bahwa perempuan itu bukan wanita murahan. Ya, dia bukan murahan. Akulah yang murahan. "Yang di kandungnya itu anakku, Lin. Dia masih perawan saat aku menyentuhnya untuk pertama kali." Pembelaan itu dulu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Mengoyak harga diri yang sejatinya sudah tidak berharga. Kini aku mengingatnya kembali. Menorehkan sayatan panjang dalam hati. Kunyalakan shower hingga air dingin itu mengguyur seluruh tubuh dan membuatku menggigil. "Lin, apa yang kamu lakukan tengah malam begini. Nanti kamu sakit." Bang Petra menggedor pintu kamar mandi. Hingga dia berhasil membukanya karena kunci pintu memang tergantung di luar. "Kenapa tidak pakai air hangat." Dia tampak cemas lantas memelukku. Namun aku mendorongnya mundur. "Keluarlah, Bang. Aku ingin sendiri." 
Read more

Part 88 Holiday 2

 Vi Ananda's POV Kendaraan melaju lurus melewati Nilai Cancer Hospital. Memutar di bundaran Nilai dan lurus ke arah utara kalau menurutku, karena aku memang tidak tahu arah di sana. Di sisi sebelah kiri ada supermarket Giant yang di sekelilingnya berdiri sederetan pertokoan. Kendaraan tidak begitu ramai pagi itu. Hanya ada bus besar warna biru bertuliskan bus pekerja yang bersimpangan dengan mini bus kami. Bandar yang lengang.  Sampai perempatan bus tetap lurus belok kanan. Melewati bangunan-bangunan pabrik yang berjajar di sepanjang jalan. Kendaraan berhenti tidak jauh dari pintu gerbang yang tertutup dan di jaga dua orang satpam. Pak Broto berdiri, mengajak turun pegawainya. Kaum perempuan memilih menunggu di dalam bus, karena tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan. Mas Ilham mencium Abian. "Mas, turun dulu!" Pamitnya. Meskipun ini kawa
Read more

Part 89

 Vi Ananda's POV Aku jadi teringat peristiwa yang sudah lewat. Syifa lahir dia sedang keluar kota, mungkin pergi dengan perempuan itu. Giliran lahiran Abian, Mas Ilham lagi meeting. Ah, menyedihkan.  Andai saja aku siap hamil lagi, tapi bukan sekarang. Abian masih bayi.  "Ya, sudah. Dua anak saja cukup. Mas dimaafkan saja sudah bersyukur," katanya sambil mengeratkan pelukan. 🌺🌺🌺 Jam delapan pagi bus sudah meninggalkan Nilai Springs Resort dan Hotel. Tujuan selanjutnya ke Genting Highlands, yang berada di negeri Pahang. Destinasi percutian yang termasuk jadi favorit para wisatawan. Dari Bentong, sebuah kota yang kami lewati untuk ke Genting Highlands, telah nampak perbukitan yang menjulang tinggi tertutup kabut. Ke sanalah tujuan kami.  Pak Rahman yang jadi tour guide memaparkan tempat-tempat yang sedang kami
Read more

Part 90 Dilema

 Vi Ananda's POV Wanita itu berdiri di dekat jendela, mendekatkan ponsel ke telinga tapi tidak bicara apa-apa. Kemudian dia kembali duduk di depanku. "Ada apa, Kak?" "Perempuan itu meraung-raung mencari Bang Petra. Panggilannya sejak tadi enggak di respon sama Abang." "Apa perempuan itu sering telepon, Kakak, kalau enggak bisa menghubungi Pak Petra?" "Ya, kalau enggak bisa menghubungi suaminya. Kadang tengah malam menelepon hanya menyuruh Abang datang karena dia takut sendirian di apartemen." "Pak Petra datang juga?" Bu Melinda mengangguk pelan. "Semua sangat menyakitkan, Vi. Jangan pernah kamu mengalami apa yang kakak alami." Aku menunduk, bahkan aku pernah hampir depresi karena sebuah perselingkuhan. Aku pernah merasa menjadi wanita yang tidak berharga.  Namun semua itu kusimpa
Read more

Part 91

 Melinda's POV Pagi yang sangat dingin. Kami melangkah melewati lorong berdinding kaca untuk menuju ke wahana permainan outdoor seusai sarapan. Rekan-rekan yang lain sudah menyebar menuju tempat-tempat yang dikehendaki. Ada yang ingin naik cable car, rumah hantu, dan seluncuran. Mereka seperti muda lagi. Datang ke sini memang lebih baik untuk liburan bersama anak-anak. Karena wahana permainannya sangat banyak dan cukup seru. Aku sedih, saat begini ingat Syifa yang tidak bisa kami ajak. Mas Ilham antri untuk membeli tiket. Untuk permainan outdoor kita harus beli tiket lagi. Yang gratis kemarin adalah untuk permainan indoor. Antrian tidak begitu panjang, karena memang masih pagi. Akhirnya kami diberikan gelang plastik (wristband) yang digunakan sebagai kartu pass, dan kami bebas naik setiap wahana tanpa membayar lagi, dan juga dapat keluar masuk pintu gerbang dengan menunjukkan gelang tersebut. 
Read more

Part 92 Pasrah

 Melinda's POVKami duduk di bangku beton dekat air mancur, depan sebuah seluncuran. Menghadap ke area permainan outdoor yang sepi. Lampu-lampu malam berkelipan di hadapan.Jaket tebal membalut tubuh kami. Kabut nampak menyelimuti di antara pekatnya malam. Dinginnya malam ini semoga bisa meredam hati kami yang bergejolak.Di bawah langit tanah melayu, kami ingin membicarakan permasalahan yang terpendam tanpa penyelesaian."Bang, selama ini kondisi kita mengalir begini saja, tanpa pernah ada pembahasan yang serius. Aku diam, Abang pun diam. Seperti kita sedang baik-baik saja menjalani semua ini. Tapi, kenyataannya nggak seperti itu." Aku membuka percakapan setelah cukup lama diam.Bang Petra menarik napas panjang, menghembuskan perlahan. Di raihnya jemariku dan di genggam."Maafkan Abang. Telah menempatkanmu dalam posisi berbagi dengan wanita lain. Abang sayang kamu dan anak-anak.""Sekarang hati, Abang, nggak sepenuhnya m
Read more

Part 93

 Melinda's POV Lagi dan lagi, tidak ada keputusan yang pasti dalam rumitnya masalah kami. Jika di luar sana, beberapa orang menjalani poligami dengan damai, tapi tidak bisa bagi kami. Wanita itu seolah ingin menguasai Bang Petra sendiri.  Ancaman bunuh diri, biar kami jadi tersangka, dan berbagai ulah lainnya yang amat meresahkan telah dia gaungkan sejak dua tahun ini. Bang Petra sangat menyayangi anak-anaknya. Bahkan pada Rama yang bukan darah dagingnya. Dan dia selalu khawatir jika Exel ditelantarkan Winda. Ibu macam apa dia. Bang Petra bangkit dari duduk saat gerimis mulai turun. Tanganku di raihnya dan kami kembali ke hotel. Kesimpulanku kali ini, aku harus memberinya waktu lagi. Entah untuk berapa lama. Hening.  Aku tidur menyamping dan Bang Petra telentang menatap langit-langit kamar. Di s
Read more

Part 94 Nikmat Semu

 Ilham's POV First World Cafe, tempat aku dan Pak Petra menikmati secangkir kopi juga beberapa keping roti bakar, tapi benda itu tetap teronggok hingga dingin tak tersentuh. Kami menatap pekat malam dari balik jendela kaca. Gerimis turun bersama kabut. Dua lelaki yang pernah merasakan bagaimana terdampar dalam nikmat semu perselingkuhan. Aku yang telah berada di tepian, bisa melihat susahnya Pak Petra berenang untuk menang. Masalahku tidak serumit masalah yang dihadapi Pak Petra kali ini. Andai saja, hubungan pertamaku dengan Nura kala itu membuatnya hamil, tentu masalahku akan serumit Pak Petra ini. Mungkin sekarang aku telah kehilangan Vi dan Syifa, bahkan Abian tidak akan pernah lahir ke dunia.  Aku harus bersyukur di selamatkan dari malapetaka ini. Namun temanku ini, masih kebingungan untuk mencari jalan pulang. Malam ini Pak Petra menceritakan semuanya. Ten
Read more

Part 95

 Petra's POV Hingga di malam ulang tahun Melinda, sikapnya mulai melunak. Mau tidak mau menerima keadaan ini. Kami menghabiskan satu malam di sebuah hotel. Sejak itu, kehidupan kami normal lagi seperti sebelumnya. Meski sesungguhnya tidak ada yang baik-baik saja setelah terjadinya pengkhianatan. "Pak Ilham, kita kembali ke kamar!" ajakku pada pria yang setia menemani gundahku. "Pak Petra sudah lega sekarang?" tanyanya sebelum kami berdiri. "Butuh waktu untuk lega dalam masalah saya, Pak Ilham. Tapi istri Anda sedang menunggu. Jaga kebahagiaan itu." Aku menepuk punggung pria yang posturnya di atasku itu. Dia tersenyum. Kami melangkah beriringan. Pria gagah, tampan, dan mapan seperti dia, pasti banyak di incar wanita. Seperti yang dibilang Winda. "Aku suka pria matang seperti, Pak Petra." Pak Ilham jauh lebih beruntung dariku. Dia tidak terjerumus
Read more
PREV
1
...
89101112
...
16
DMCA.com Protection Status