Home / Romansa / Setelah Lima Tahun / Chapter 111 - Chapter 120

All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 111 - Chapter 120

158 Chapters

Part 106 Kekuatan Cinta

 Petra's POV Aku segera masuk kamar setelah dokter Herlina pamitan. Lumayan lamalah mereka ngobrol tadi. Melinda masih berbaring, tapi tidak ada kompres lagi di keningnya.  "Bagaimana?" tanyaku sambil duduk di sampingnya. Kupegang jemarinya yang dingin. "Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik," jawabnya bersamaan dengan senyum yang terbit di bibirnya. Aku melihat ke arah jam dinding. Sudah pukul sebelas malam. Aku menahan diri untuk tidak bertanya malam ini, Melinda butuh istirahat. "Tidurlah, jaga kesehatanmu dan bayi kita." Kuusap perutnya yang masih rata. Tidak lama kemudian Melinda memejam. Setelah dari kamar mandi aku memeriksa ponsel. Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Winda. Exel memang sudah jauh lebih baik. Semoga saja besok dia sudah diperbolehkan pulang. Lelah seharian berkutat dengan pe
Read more

Part 107

 Petra's POV Bau harum kopi yang dibawa Melinda masuk kamar membuyarkan lamunanku. Aku segera bangun dan duduk. Setelah meletakkan cangkir kopi di nakas, aku menarik pelan lengan Melinda untuk duduk di sebelahku. "Lin. Masih ingat bagaimana dulu kita pertama kali kenal." Dahi istriku mengernyit. Tidak paham maksud dari kata-kataku. "Aku magang di perusahaan Om Broto saat kamu masih kuliah di semester akhir. Kamu jual mahal tiap aku perhatikan." Tentu saja dia jual mahal, karena saat itu sedang hangat-hangatnya pacaran dengan Arvan. Melinda masih belum paham arah pembicaraanku. "Kita mulai dekat setelah kamu wisuda dan kerja satu kantor dengan Abang." Melinda mau mengangguk. Jemarinya kugenggam erat dan kuletakkan di atas pahaku. "Abang mencintaimu sejak pertama kali mengenalmu hingga
Read more

Part 108 Wanita Kedua

  Vi Ananda's POV   "Kita berhenti minum dulu, Vi," kata Mas Ilham melambatkan laju kendaraan. Tidak jauh di hadapan ada warung kopi. Mobil terparkir di halaman samping warung. Untuk sampai ke kota harus menempuh perjalanan satu jam lagi.   Mas Ilham membuka pintu untukku dan mengambil Abian dari pangkuan. Kami mau sambang pulang. Mas Ilham cuti dua minggu. Di samping kemarin juga di kabari kalau Mama mertua sedang sakit. Rindu putra bungsunya.   Warung itu sepi. Hanya ada dua orang yang sedang minum kopi di salah satu bangku. Mas Ilham juga pesan kopi hitam, sedangkan aku pesan teh hangat dan roti bakar.   "Nanti, Vi sama Abian, Mas antar ke hotel dulu. Baru Mas nemui Pak Petra ke kantornya."    "Gimana kalau, Mas, nganterin aku ke rumah Pak Petra saja. Aku pengen ketemu sama Bu Melinda. Pengen ngobrol."   Mas Ilham tampak berpikir sejenak.
Read more

Part 109

 Winda's POV Namun begitu aku masih mencintainya sampai detik ini. Ketika aku mulai terima jadi istri kedua, tapi justru Bang Petra makin menjauh. Pandanganku mulai mengabur. Aku mendongak untuk menghalau embun yang hendak menetes. Tari menggeser duduknya dan merangkul pundakku.  "Dari mana kamu tahu, kalau istrinya hamil lagi?" tanyaku penasaran. "Aku melihatnya di mall kemarin sore." Berpikirlah secara waras, Win. Jangan begini terus. Sampai kapan kamu mau disebut sebagai pelakor, hah." Tangisku pecah. Pelakor? Menyakitkan sekali gelar itu. Aku memang wanita kedua, tapi aku tidak pernah menuntut Bang Petra untuk menceraikan istrinya. Tidak pernah sekali saja aku memintanya begitu. Memang aku pernah datang ke rumahnya beberapa kali atau menghubungi istrinya hanya untuk membuat kekacauan. Semua itu kulakukan karena aku hanya ingin perhatian. Aku ingin anakku di
Read more

Part 110 Cerita Seorang Pria

 Melinda's POV Bang Petra pulang saat hujan deras mengguyur bumi, dia telat pulang hari ini. Wajahnya tampak sayu. Aku mengikutinya masuk kamar. Hidungku mencium bau minyak telon dari kemeja yang dipakai. Sepertinya dia baru pulang dari rumah Winda. "Anak-anak sudah makan?" tanya Bang Petra. "Sudah, nungguin Abang kelamaan akhirnya pada makan duluan. Mereka baru saja masuk kamar untuk belajar. Abang, mandilah dulu. Biar kusiapkan makan malam," kataku. Bang Petra mengangguk. Dia selalu begitu, meski sudah makan di rumah istri mudanya, kalau sampai rumah akan makan lagi meski sedikit. Hanya untuk menyenangkan hatiku. Opor ayam dan perkedel kentang telah kusiapkan di atas meja makan. Setengah porsi nasi sudah kutaruh di piringnya. Aku menunggunya di kursi meja makan. Cukup lama Bang Petra baru keluar kamar. Wajahnya yang terteku
Read more

Part 111

 Melinda's POV Taksi online yang kutumpangi melaju menuju sekolahnya Rama. Jarum jam menunjukkan pukul 06.45 menit. Lima belas menit lagi lonceng sekolahnya Rama akan berbunyi. Aku menyuruh sopir taksi berhenti agak jauh dari pintu gerbang sekolah. Dari jarak hampir sepuluh meter aku bisa melihat mobil yang pernah di kendarai Arvan saat menemuiku waktu itu. Dia pun keluar dan berdiri di samping pintu mobilnya.  Kami sama-sama menunggu kendaraan yang antar jemput Rama dan teman-temannya datang. Memang setelah bus itu menjemput Rama di rumah, kendaraan akan menjemput siswa lainnya. Makanya aku yang lebih dulu sampai di sekolah daripada Rama. Tidak lama kemudian mini bus yang biasa antar jemput Rama datang. Anak-anak turun dari bus. Kuperhatikan Rama memandang ke arah Arvan. Mereka saling pandang sejenak. Kemudian Rama melangkah memasuki gapura sekolah saat seorang temannya mengajak ma
Read more

Part 112 Resah

 Melinda's POV Hening.  Aku memandang beberapa pengunjung yang baru datang. Mereka sepertinya dari perjalanan jauh. Dari gesturnya Arvan tampak gelisah. "Kamu nggak apa-apa, nggak masuk kerja hari ini?" "Nggak apa-apa." Hening lagi. Dulu, aku berpikir. Jika bertemu Arvan lagi, ingin rasanya menumpahkan segala kekesalan. Ingin memaki, menyumpahi, bahkan ingin menghajarnya semampuku. Namun kini setelah bertemu yang ada hanya haru. Sisi hatiku yang lain percaya, Arvan tidak mungkin sekejam itu. "Kenapa waktu itu kamu nggak segera kembali ke ibukota setelah ayahmu tiada?" Arvan menatapku. "Bukannya tidak ingin segera kembali. Tapi keadaan yang nggak bisa membuatku segera meninggalkan rumah. Meski telah merawat ayah bertahun-tahun, tapi ibuku tetap terpukul juga saat ayah meninggal. Terus dua adikku juga
Read more

Part 113

 Melinda's POV Malam kian hening. Aku masih bertahan di depan layar TV. Menonton acara yang sama sekali tidak menarik perhatianku. Bang Petra masih sibuk dengan laptopnya, duduk tidak jauh dariku. Dari ujung penglihatan, aku bisa merasakan kalau dia sering memandang ke arahku. Sementara anak-anak sudah pulas di kamarnya masing-masing.  Beberapa kali kudengar getaran ponselnya di atas meja, tapi tidak dipedulikan. Dia tetap sibuk dengan laptop. "Aku tidur dulu, Bang," kataku setelah mematikan layar TV. Setelah Bang Petra mengangguk, aku segera masuk kamar.  Sejak bersitegang siang tadi, kami tidak banyak bicara setelah Bang Petra pulang kerja. Aku tidak ingin banyak terbebani dengan permasalahan yang akhir-akhir ini kami hadapi. Apalagi tiap kali pikiran terlalu tegang akhirnya berpengaruh pada kehamilanku.  Aku selalu berdoa setelah selesai Salat, semo
Read more

Part 114 Keputusan

 Vi Ananda's POV Syifa berlari memelukku saat aku, adik, dan papanya baru saja turun dari mobil. Pak Nardi yang menjemput kami di bandara tadi, pakai mobil Mas Ilham yang memang sengaja di tinggal di rumah Ibu. Biar ada yang merawatnya. Gadis kecilku tidak menangis. Dia tersenyum riang. Ibu mendekat, kami bersalaman dan berpelukan, beliau langsung menggendong Abian. Anak lelakiku awalnya berontak, setelah lama memerhatikan dan dibujuk akhirnya mau juga di gendong ibu. Budhe dan seluruh karyawan keluar untuk menyalami kami. Setelah masuk rumah, Abian langsung turun dari gendongan ibu. Syifa tidak henti-hentinya memandang sang papa. Dia keheranan dengan penampilan Mas Ilham yang berbeda. "Kenapa rambut, Papa, dibiarkan panjang?" Mas Ilham tersenyum, diraihnya tubuh sang putri dalam dekapnya. "Kenapa? Papa tidak tampan lagi, ya?" tanya Mas Ilham sambil menciumi putrinya
Read more

Part 115

 Petra's POV Setelah mendapatkan mainan yang disukai Exel, aku mengajak mereka pulang. Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, berbagai andaian hinggap di angan. Seharusnya aku menikmati kebersamaan yang mungkin terakhir kalinya dengan Winda dan Exel, tapi justru pikiranku kacau karena bertemu Arvan tadi. Sampai apartemen pun Exel tidak mau langsung tidur, dia malah asik bermain dengan mobilan barunya. Aku mesti menunggu hingga dia tidur dulu, baru bisa pulang. Jam sebelas malam aku sampai rumah. Bibik yang membukakan pintu untukku. "Bik, ada bajuku di luar?" tanyaku pada wanita sepuh itu. "Ada, Pak, di ruang setrikaan. Mau saya ambilkan?" Aku mengangguk. Sebelum masuk kamar aku ingin mandi di kamar mandi luar saja. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk membersihkan diri dan aku masuk ke peraduan. Melinda sudah tertidur pulas.
Read more
PREV
1
...
1011121314
...
16
DMCA.com Protection Status