Melinda's POV
Taksi online yang kutumpangi melaju menuju sekolahnya Rama. Jarum jam menunjukkan pukul 06.45 menit. Lima belas menit lagi lonceng sekolahnya Rama akan berbunyi.
Aku menyuruh sopir taksi berhenti agak jauh dari pintu gerbang sekolah. Dari jarak hampir sepuluh meter aku bisa melihat mobil yang pernah di kendarai Arvan saat menemuiku waktu itu. Dia pun keluar dan berdiri di samping pintu mobilnya.
Kami sama-sama menunggu kendaraan yang antar jemput Rama dan teman-temannya datang. Memang setelah bus itu menjemput Rama di rumah, kendaraan akan menjemput siswa lainnya. Makanya aku yang lebih dulu sampai di sekolah daripada Rama.
Tidak lama kemudian mini bus yang biasa antar jemput Rama datang. Anak-anak turun dari bus. Kuperhatikan Rama memandang ke arah Arvan. Mereka saling pandang sejenak. Kemudian Rama melangkah memasuki gapura sekolah saat seorang temannya mengajak ma
Melinda's POVHening.Aku memandang beberapa pengunjung yang baru datang. Mereka sepertinya dari perjalanan jauh. Dari gesturnya Arvan tampak gelisah."Kamu nggak apa-apa, nggak masuk kerja hari ini?""Nggak apa-apa."Hening lagi.Dulu, aku berpikir. Jika bertemu Arvan lagi, ingin rasanya menumpahkan segala kekesalan. Ingin memaki, menyumpahi, bahkan ingin menghajarnya semampuku. Namun kini setelah bertemu yang ada hanya haru. Sisi hatiku yang lain percaya, Arvan tidak mungkin sekejam itu."Kenapa waktu itu kamu nggak segera kembali ke ibukota setelah ayahmu tiada?"Arvan menatapku. "Bukannya tidak ingin segera kembali. Tapi keadaan yang nggak bisa membuatku segera meninggalkan rumah. Meski telah merawat ayah bertahun-tahun, tapi ibuku tetap terpukul juga saat ayah meninggal. Terus dua adikku juga
Melinda's POVMalam kian hening. Aku masih bertahan di depan layar TV. Menonton acara yang sama sekali tidak menarik perhatianku. Bang Petra masih sibuk dengan laptopnya, duduk tidak jauh dariku. Dari ujung penglihatan, aku bisa merasakan kalau dia sering memandang ke arahku. Sementara anak-anak sudah pulas di kamarnya masing-masing.Beberapa kali kudengar getaran ponselnya di atas meja, tapi tidak dipedulikan. Dia tetap sibuk dengan laptop."Aku tidur dulu, Bang," kataku setelah mematikan layar TV. Setelah Bang Petra mengangguk, aku segera masuk kamar.Sejak bersitegang siang tadi, kami tidak banyak bicara setelah Bang Petra pulang kerja. Aku tidak ingin banyak terbebani dengan permasalahan yang akhir-akhir ini kami hadapi. Apalagi tiap kali pikiran terlalu tegang akhirnya berpengaruh pada kehamilanku.Aku selalu berdoa setelah selesai Salat, semo
Vi Ananda's POVSyifa berlari memelukku saat aku, adik, dan papanya baru saja turun dari mobil. Pak Nardi yang menjemput kami di bandara tadi, pakai mobil Mas Ilham yang memang sengaja di tinggal di rumah Ibu. Biar ada yang merawatnya.Gadis kecilku tidak menangis. Dia tersenyum riang. Ibu mendekat, kami bersalaman dan berpelukan, beliau langsung menggendong Abian. Anak lelakiku awalnya berontak, setelah lama memerhatikan dan dibujuk akhirnya mau juga di gendong ibu. Budhe dan seluruh karyawan keluar untuk menyalami kami.Setelah masuk rumah, Abian langsung turun dari gendongan ibu. Syifa tidak henti-hentinya memandang sang papa. Dia keheranan dengan penampilan Mas Ilham yang berbeda."Kenapa rambut, Papa, dibiarkan panjang?"Mas Ilham tersenyum, diraihnya tubuh sang putri dalam dekapnya. "Kenapa? Papa tidak tampan lagi, ya?" tanya Mas Ilham sambil menciumi putrinya
Petra's POVSetelah mendapatkan mainan yang disukai Exel, aku mengajak mereka pulang. Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, berbagai andaian hinggap di angan. Seharusnya aku menikmati kebersamaan yang mungkin terakhir kalinya dengan Winda dan Exel, tapi justru pikiranku kacau karena bertemu Arvan tadi.Sampai apartemen pun Exel tidak mau langsung tidur, dia malah asik bermain dengan mobilan barunya. Aku mesti menunggu hingga dia tidur dulu, baru bisa pulang.Jam sebelas malam aku sampai rumah. Bibik yang membukakan pintu untukku."Bik, ada bajuku di luar?" tanyaku pada wanita sepuh itu."Ada, Pak, di ruang setrikaan. Mau saya ambilkan?"Aku mengangguk. Sebelum masuk kamar aku ingin mandi di kamar mandi luar saja. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk membersihkan diri dan aku masuk ke peraduan.Melinda sudah tertidur pulas.
Petra's POVMobil melaju tenang membelah lalu lintas malam. Cuaca juga sangat indah, bintang betaburan di angkasa sana. Namun moment romantis yang kuharapkan akan tercipta berakhir berantakan. Melinda diam menatap fokus ke depan."Lin.""Ya," jawabnya tanpa menatapku."Winda akan pulang ke rumah orang tuanya," ucapku pelan."Ya, terserah dia," jawabnya masih tidak peduli."Dia ingin bercerai."Mendengar kalimat itu Melinda menoleh. Kami berpandangan sebentar. Kemudian aku kembali fokus ke jalan depan."Terserah, Abang, juga. Itu urusan kalian. Aku nggak bisa mendukung atau mencegah, Abang. Kalian selesaikan sendiri saja." Melinda seolah tak peduli. Mungkin karena sudah lama kecewa dalam permasalahan ini. Sudah lelah menunggu dan berharap.Baru saja diam, ponsel dalam tasnya ber
Petra's POVSeminggu ini aku sengaja tidak menghubungi Winda. Meskipun penasaran bagaimana proses mengurus kepindahan sekolahnya Exel. Aku yakin tidak akan mengalami kesulitan, apalagi Exel masih sekolah TK. Namun dia tidak kunjung memberi kabar.Sebenarnya tidak sulit untuk menceraikan Winda, karena kami hanya menikah siri. Namun aku ingin semua selesai dengan baik-baik dihadapan kedua orang tuanya. Aku juga ingin menitipkan Exel pada mereka dan tetap akan mengirimkan tunjangan tiap bulannya. Meski tidak kudampingi, aku ingin anakku hidup dengan layak.Ponsel di atas meja berpendar saat aku duduk termenung. Ada panggilan dari Melinda."Halo, Sayang.""Rama cerita padaku pulang sekolah tadi.""Cerita apa?""Diejek sama temannya.""Diejek bagaimana?""Kalau papanya punya istri simpana
Melinda's POV"Kak, apa yang kakak rasakan setelah tahu kenyataan kalau Papa memiliki istri selain Mama? Jujur pada Mama. Jangan pendam semuanya sendirian, kita bicara berdua." Aku berkata sangat hati-hati kepada Rama di kamarnya."Rama kecewa, Ma. Papa mengkhianati kita," jawabnya lugas.Aku sengaja mengajaknya bicara berdua agar tahu apa yang menjadi beban pikirannya. Sejak dia tahu perselingkuhan Bang Petra, tentunya telah menjadi beban psikologis bagi Rama. Dia tidak bisa membicarakan hal ini pada teman-temannya, seperti mereka berdiskusi tentang sekolahnya. Dia juga harus merahasiakan ini dari kedua adiknya."Kakak, benci Papa?"Rama menggeleng pelan."Jangan benci Papa, Kak. Maafkan kalau Papa membuat Kakak nggak nyaman kali ini. Ini urusan orang dewasa, biarlah kami menyelesaikannya.""Apa Papa dan Mama ak
Melinda's POVJam sembilan malam anak-anak sudah tidur. Gerimis mulai turun setelah beberapa hari cuaca cerah. Aku dan Bang Petra duduk di atas pembaringan. Dia menunduk. Sejak sore tadi tidak banyak bicara, kecuali bercanda dengan anak-anak sehabis makan malam."Cepat atau lambat perselingkuhan, Abang akan diketahui orang-orang terdekat kita. Keluarga atau rekan bisnis, Abang. Aku bisa diam merahasiakan semuanya, tapi tidak dengan perempuan kesayangan, Abang, itu.""Lin," sahutnya cepat."Jika perempuan itu terus berulah, aku akan membawa anak-anak pergi dari rumah ini. Meminta pertolongan Abang sulungku untuk mengurus kepindahan sekolahnya mereka. Kali ini aku nggak main-main, Bang. Selama ini aku bertahan agar anak-anak tetap memiliki keluarga yang utuh. Bagiku terpenting mereka nggak diusik oleh perempuanmu itu, meski aku mengorbankan perasaanku. Namun sekarang sepertinya dia mulai
Vi Ananda's POV"Mas, tidur saja. Biar aku yang jaga Abrisam," ucapku sambil memandangnya. Dia kelihatan capek malam ini."Nanti kamu bisa bangunin Mas kalau butuh sesuatu."Aku mengangguk. Perlahan mata yang selalu bersorot tajam itu terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkur halusnya.Sebulan ini Mas Ilham kurang tidur karena Abrisam sering mengajak begadang. Kami bergantian menjaganya. Tapi sudah dua hari ini si bungsu tidak lagi begadang. Dia nyenyak tidurnya, terbangun dan menangis kalau mau susu saja.Betapa capeknya Mas Ilham. Siang sibuk dengan pekerjaan, malamnya bergantian jaga Abrisam. Ini tidak pernah dilakukan pada dua anak sebelumnya.🌺🌺🌺Sore yang cerah. Aku mendorong stroller Abrisam menyusuri jalan berpaving yang menghubungkan jalan ke bangunan hotel dan sebuah kafe. Di depanku Abian berlarian
Vi Ananda's POV"I love you," bisik Mas Ilham di telinga saat aku sedang menyusui Abrisam. Kedekatan kami membuat suster yang bertugas tersipu malu, lantas izin ke luar kamar.Salah satu fasilitas yang kami dapat adalah adanya seorang suster yang stand by selama dua puluh empat jam."Didit ngirim pesan kalau akan datang ke sini agak siang. Hari ini guru home schooling-nya Abian mulai ngajar, jadi Didit nunggu sekalian.""Ya, nggak apa-apa."Home schooling. Sebenarnya ini seperti les yang dilakukan Syifa setiap hari. Abian memang sudah waktunya masuk PAUD. Meski start belajar secara formal masih dua bulan lagi, tapi sekarang sudah di mulai. Aslinya, yang mengajar Homeschooling memang orangtua, bukan guru privat. Tapi beda buat kami, Pak Broto yang memfasilitasi semuanya, gaji guru privat plus uang tranport-nya.Akan tetapi setelah ini aku d
Ilham's POV"Ibu, mau pergi ke hajatan, ya?" godaku bercampur jengkel karena khawatir.Wanita di hadapanku tersenyum santai. "Ayo, kita berangkat!" ajaknya sambil menggamit lenganku. Persis seperti pasangan model yang akan melewati red karpet."Kenapa pakai sandal seperti ini?" protesku sambil menunjuk ke arah kakinya."Nggak apa-apa, kita kan mau naik mobil."Sudahlah. Dituruti saja, habis ini aku bisa mencuri sandal itu untuk kusingkirkan.Mobil meluncur pergi di bawah tatapan dua satpam yang sempat mendoakan agar proses kelahiran putra kami lancar.Aku duduk di bangku belakang bersama Vi. Tangannya yang memegang lenganku kadang terasa mencengkeram, mungkin mulasnya kembali datang. Namun saat kupandang dia hanya tersenyum. Tanpa memedulikan adanya Didit, aku menciumi pipi Vi. Pikiranku serius tegang kali ini.
Ilham's POV"Pak Ilham, ini berkas yang Bapak minta tadi." Seorang staf bernama Wita menahan langkahku yang hendak keluar kantor."Taruh di meja. Biar nanti saya periksa."Aku segera bergegas keluar ruangan, berjalan lurus ke arah utara menuju ruang pribadiku. Beberapa hari ini aku memang tidak bisa tenang menjelang persalinan anak ketiga kami."Papa," sapa Abian yang sedang asyik bermain di depan TV ditemani Arum. Aku mendekat dan mencium rambut putraku. Lantas aku masuk kamar, Vi sedang duduk di ranjang sambil menyusun baju bayi dan beberapa perlengkapannya sendiri ke dalam travel bag ukuran sedang."Mas, kok pulang lagi?" tanya Vi heran karena sepagi ini aku sudah dua kali menemuinya."Nggak usah cemas gitu. HPL-nya kan masih sepuluh hari lagi. Lagian kalau aku terasa mau lahiran, bayinya juga nggak langsung nongol. Masih ada prosesnya.
Vi Ananda's POVSiang itu aku duduk menemani Abian dan Arum yang bermain dengan si kucing hitam. Suasana redup, mendung mengantung menutupi sang surya.Hari ini hatiku berdebar-debar menunggu hasil pembicaraan Mas Ilham dan Pak Broto. Sebenarnya hak Mas Ilham untuk menolak, karena perjanjian awal hanya sampai pada dua bulan ke depan lagi. Tapi aku tahu bagaimana suamiku, terkadang dia terbawa oleh rasa tak enak hati. Mungkin karena dia juga nyaman kerja di sini.Perhatianku beralih pada mobil Fortuner yang memasuki lokasi. Itu kendaraan Pak Petra. Tiba-tiba aku berharap kalau ada Bu Melinda ikut serta, tapi aku kecewa. Yang turun justru Pak Broto, Pak Rony, dan di susul perempuan itu. Perempuan masa lalu suamiku. Dia memakai gamis dan jilbab yang ujungnya dimasukkan ke kerah gamisnya.Pak Petra mendekatiku dan menyalami. "Apa kabar?""Alhamdulillah, kabar baik Pak.
Vi Ananda's POVPagi yang dingin, jaket tebal yang kupakai masih membuatku menggigil. Tapi Mas Ilham yang berdiri di sebelahku sudah mandi keringat. Aku sedang menemaninya jogging di tepi pantai sepagi ini. Hanya berdua, karena Abian belum bangun.Dia menenggak habis air mineral di tangannya. Kami berdiri menghadap laut lepas."Kita akan merindukan tempat ini, Mas," kataku.Mas Ilham merangkulku. "Suatu hari nanti kita bisa liburan ke sini ngajak anak-anak," ujarnya sambil tersenyum. Lantas dia terdiam, memandangku lalu tersenyum lagi. Seperti ada yang ingin dibicarakan tapi dia masih tampak bingung."Pak Alex kapan datang?" tanyaku."Kemungkinan dua bulan lagi."Diam. Kami menikmati indahnya pemandangan, sejuk dan berkabut. Angin pagi berembus membuat bergo yang kupakai berkibar. Mas Ilham menahan dengan tangannya aga
Ilham's POVAbian masih bermain di depan TV bersama Arum. Gadis umur delapan belas tahun itu telaten menjaga jagoanku. Sementara aku duduk agak ke belakang sambil menyimak email yang masuk. Signal di sini sudah lancar sejak enam bulan terakhir ini. Lima belas menit yang lalu Vi baru masuk kamar setelah menemani Abian bermain.Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Mengenai bos yang ingin agar aku tetap bertahan mengurus proyek ini sampai finish. Inilah yang membuatku bingung beberapa hari, nanti Alex hanya akan sesekali saja ke sini karena akan ada design interior dari sini saja, tapi tetap dalam pantauan Alex.Tidak tega aku menyampaikan ini pada Vi. Dia sudah bahagia mau pulang dan berkumpul lagi dengan putri kami. Abian tahun depan juga masuk PAUD. Vi mau melahirkan di sana dan tinggal di rumah kami yang sudah selesai direnovasi. Kusandarkan punggung di sofa dan menarik napas dalam-dalam. Dil
Ilham's POV"Janin Ibu sudah berumur delapan minggu," kata dokter Etik sambil menunjukkan layar USG."Alhamdulillah," ucapku. Vi tersenyum lantas kembali menatap layar USG dan memerhatikan ucapan dokternya.Dulu waktu Vi hamil Syifa, aku yang terkejut karena tidak menyangka kalau dia akan hamil secepat itu. Bulan ini menikah bulan depannya dia sudah mengandung.Terus kehamilan kedua yang keguguran karena dia tidak tahu dan aku benar-benar kehilangan. Waktu itu kami lagi berada di puncak masalah. Hamil kali ketiga aku yang merencanakan, disaat dia belum siap, tapi aku yang memaksa diam-diam, karena itu peluang besar kami bisa hidup bersama lagi. Dan kehamilan keempat ini yang benar-benar kami persiapkan berdua."Sayang, mau makan apa? Siang belum makan, 'kan?" tanyaku setelah kami masuk mobil."Apa ya? Ada yang jual lontong sayur nggak ya,
Vi Ananda's POVHari ini cuaca sangat terik. Matahari serasa berada tepat di atas kepala. Abian merenggek minta main ke luar, tapi aku melarangnya. Kadang kasihan sama Abian, tidak punya teman bermain. Kalau cucunya Bu Asti diajak ke proyek, Abian baru punya teman. Tapi pasti berujung drama, cucunya Bu Asti -anak lelaki umur enam tahun- itu tidak mau diajak pulang dan Abian sendiri juga nangis kalau ditinggal. Senang dan susah jadinya."Mama, ayo!" Abian kembali menarik tanganku."Jangan, Sayang. Ini jam dua belas lho, panas banget di luar. Abian makan siang terus bobok, nanti sore baru kita jalan-jalan ke pantai sama Papa." Perlahan kutarik lengannya dan kupangku.Abian masih merengek dan diam ketika pintu kamar di ketuk dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Bu Asti tersenyum, ditangannya ada semangkuk besar kolak pisang. "Mau nganterin kolak pisang, Bu.""Iya, Bu Asti. T