Home / Romansa / Setelah Lima Tahun / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of Setelah Lima Tahun: Chapter 121 - Chapter 130

158 Chapters

Part 116 Luka Seorang Anak

 Petra's POV Mobil melaju tenang membelah lalu lintas malam. Cuaca juga sangat indah, bintang betaburan di angkasa sana. Namun moment romantis yang kuharapkan akan tercipta berakhir berantakan. Melinda diam menatap fokus ke depan. "Lin." "Ya," jawabnya tanpa menatapku. "Winda akan pulang ke rumah orang tuanya," ucapku pelan. "Ya, terserah dia," jawabnya masih tidak peduli. "Dia ingin bercerai." Mendengar kalimat itu Melinda menoleh. Kami berpandangan sebentar. Kemudian aku kembali fokus ke jalan depan. "Terserah, Abang, juga. Itu urusan kalian. Aku nggak bisa mendukung atau mencegah, Abang. Kalian selesaikan sendiri saja." Melinda seolah tak peduli. Mungkin karena sudah lama kecewa dalam permasalahan ini.  Sudah lelah menunggu dan berharap. Baru saja diam, ponsel dalam tasnya ber
Read more

Part 117

 Petra's POV Seminggu ini aku sengaja tidak menghubungi Winda. Meskipun penasaran bagaimana proses mengurus kepindahan sekolahnya Exel. Aku yakin tidak akan mengalami kesulitan, apalagi Exel masih sekolah TK. Namun dia tidak kunjung memberi kabar. Sebenarnya tidak sulit untuk menceraikan Winda, karena kami hanya menikah siri. Namun aku ingin semua selesai dengan baik-baik dihadapan kedua orang tuanya. Aku juga ingin menitipkan Exel pada mereka dan tetap akan mengirimkan tunjangan tiap bulannya. Meski tidak kudampingi, aku ingin anakku hidup dengan layak. Ponsel di atas meja berpendar saat aku duduk termenung. Ada panggilan dari Melinda. "Halo, Sayang." "Rama cerita padaku pulang sekolah tadi." "Cerita apa?" "Diejek sama temannya." "Diejek bagaimana?" "Kalau papanya punya istri simpana
Read more

Part 118 Bicara dari Hati ke Hati

 Melinda's POV "Kak, apa yang kakak rasakan setelah tahu kenyataan kalau Papa memiliki istri selain Mama? Jujur pada Mama. Jangan pendam semuanya sendirian, kita bicara berdua." Aku berkata sangat hati-hati kepada Rama di kamarnya. "Rama kecewa, Ma. Papa mengkhianati kita," jawabnya lugas.  Aku sengaja mengajaknya bicara berdua agar tahu apa yang menjadi beban pikirannya. Sejak dia tahu perselingkuhan Bang Petra, tentunya telah menjadi beban psikologis bagi Rama. Dia tidak bisa membicarakan hal ini pada teman-temannya, seperti mereka berdiskusi tentang sekolahnya. Dia juga harus merahasiakan ini dari kedua adiknya.  "Kakak, benci Papa?" Rama menggeleng pelan. "Jangan benci Papa, Kak. Maafkan kalau Papa membuat Kakak nggak nyaman kali ini. Ini urusan orang dewasa, biarlah kami menyelesaikannya." "Apa Papa dan Mama ak
Read more

Part 119

 Melinda's POV Jam sembilan malam anak-anak sudah tidur. Gerimis mulai turun setelah beberapa hari cuaca cerah. Aku dan Bang Petra duduk di atas pembaringan. Dia menunduk. Sejak sore tadi tidak banyak bicara, kecuali bercanda dengan anak-anak sehabis makan malam. "Cepat atau lambat perselingkuhan, Abang akan diketahui orang-orang terdekat kita. Keluarga atau rekan bisnis, Abang. Aku bisa diam merahasiakan semuanya, tapi tidak dengan perempuan kesayangan, Abang, itu." "Lin," sahutnya cepat. "Jika perempuan itu terus berulah, aku akan membawa anak-anak pergi dari rumah ini. Meminta pertolongan Abang sulungku untuk mengurus kepindahan sekolahnya mereka. Kali ini aku nggak main-main, Bang. Selama ini aku bertahan agar anak-anak tetap memiliki keluarga yang utuh. Bagiku terpenting mereka nggak diusik oleh perempuanmu itu, meski aku mengorbankan perasaanku. Namun sekarang sepertinya dia mulai
Read more

Part 120 Divorce

 Petra's POV Aku menggendong Exel keluar dari apartemen. Winda mengikuti di belakang. Semua barang-barang pentingnya sudah masuk mobil semua. Aku menyarankan agar perabot yang dia inginkan bisa di bawa, nanti aku sewakan truk. Namun Winda tidak mau. Apartemen itu masa sewanya masih setahun lagi. Sebab aku memperbarui sewa kali kedua langsung kubayar lunas selama empat tahun. Perabotan aku lengkapi agar dia tidak perlu sering ke luar apartemen. Apalagi dia sendirian menjaga Exel. Suasana hening dalam perjalanan. Hanya Exel yang sesekali menanyakan beberapa hal. Termasuk kenapa mereka harus pindah rumah, harus pindah sekolah. "Exel, nggak akan punya teman, Ma," protesnya. "Nanti ada teman juga di rumah Kakek." Winda menjawab datar. "Papa, ikut pindah juga?" tanya Exel sambil memandangku. "Tidak, Sayang. Papa kan harus bekerja."
Read more

Part 121

 Petra's POV Ini keputusan terbaik untuk semuanya. Pertimbangannya jelas. Tetap bertahan denganku sudah pasti keadaan akan tetap sama. Sepanjang hidup Winda hanya akan jadi yang kedua, tidak bebas, penuh tantangan, dan beban. "Bapak dan Ibu jadi saksi, hari ini, saya Muhammad Petra Nurmansyah menjatuhkan talak satu kepada Winda Saputri." Winda terkejut menatapku. Meski perceraian sudah kami bahas, tapi tetap saja dia tidak mengira kalau aku mengucapkan talak di hari pertama kedatangan kami di rumah orang tuanya. Ibunya Winda menangis, ayahnya masih dengan mimik wajah yang tak berubah. Masih berdiri dengan angkuhnya. "Saya tidak akan lepas tanggung jawab terhadap Exel. Tiap bulan saya akan mengirimkan tunjangan." "Tidak perlu," sahut laki-laki itu cepat. "Aku bisa mengurusi anak dan cucuku. Kami tidak butuh uangmu."&nb
Read more

Part 122

 Vi Ananda's POV "Kakak, kejar adek, Kak!" seruku pada Syifa, agar lekas mengejar adiknya yang berlari hendak naik kereta api mini di area permainan. Abian bukannya berhenti tapi malah mengajak kakaknya dan Dinar main kejar-kejaran. Melihat mereka seaktif itu membuatku lelah sendiri, meski hanya memperhatikan sambil duduk. Sudah dua hari ini kami berlima liburan, untuk menemani Syifa kami mengajak Dinar juga. Liburan dadakan setelah selesai membahas renovasi rumah kami dengan seorang rekannya Mas Ilham. Jadi setelah kami kembali nanti, rumah sudah siap di tempati. Syifa dan Dinar kami mintakan izin tidak masuk sekolah. Mas Ilham menyodorkan sebotol air mineral padaku. Anak-anak dipanggilnya, mereka berlari mendekat lantas membongkar isi kantong plastik penuh snack yang baru dibeli. "Tadi Silvi nelepon, sudah booking tiket pesawat untuk tiga hari lagi. Penerbangan jam
Read more

Part 123 Ujian Setelah Perceraian

 Pulang dari liburan aku menyiapkan beberapa oleh-oleh untuk di bawa Mas Ilham kembali ke tempat kerja. Membelikan vitamin kesuburan untuk Sekar. Dia ingin sekali segera memiliki momongan. Waktu itu sempat periksa ke dokter kandungan dan resep vitaminnya aku bawa untuk kubelikan dari sini. "Mas, berapa hari di Jakarta?" tanyaku sambil menyusun bajunya di mini travel bag malam itu. "Dua sampai tiga hari." "Acara di Mas Ahmad selesai segera nyusul, ya," katanya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku. Baru hendak mengecup kening, pintu kamar terbuka, masuklah Syifa dan Abian. Mas Ilham segera melepaskan pelukan. "Ma, adek udah ngantuk itu," kata Syifa.  Abian menyandarkan tubuhnya di pinggir ranjang. Mas Ilham segera meraih tubuh kecil itu dan mengangkat ke atas ranjang. Syifa menyusul dan mereka bercanda di sana. Jam sembilan malam akhirn
Read more

Part 124 Pertemuan Empat Orang

 Arvan's POV Aku keluar dari ruang perawatan Bang Rahmat. Teman kerja yang baru saja kujenguk. Dia operasi ginjal dua hari yang lalu. Saat berdiri di lorong rumah sakit seorang anak kecil menangis di gendongan wanita setengah baya yang keluar dari kamar perawatan. Infus menancap di tangannya. Yang membuatku terkejut, sosok wanita yang mengikutinya di belakang sambil mendorong tiang infus. Wanita itu yang pernah kutemui bersama Bang Petra. Ketika mereka berjalan pelan melewati tempatku berdiri, aku tersenyum. "Hai," sapaku pada bocah kecil yang menatapku sambil meletakkan dagunya di pundak wanita setengah baya itu. Bocah yang wajahnya memerah dan tampak lesu itu memandang tapi diam. Aku berpandangan dengan wanita muda tadi. Dahinya mengernyit, dia sedang ingat bahwa kami pernah bertemu. "Sepertinya kita pernah bertemu, 'kan?" tanya wanita itu duluan. Dia berhenti dan
Read more

Part 125

 Melinda's POV "Itu tadi Arvan?" tanya Bang Petra ketika kami sudah berhadapan. Pandangannya masih tertuju pada sosok yang sedang melangkah pergi menjauhi kami. "Ya." "Kalian janjian?" "Kami nggak sengaja bertemu. Dia sedang membesuk rekannya yang di rawat di sebelah ruang perawatan Exel." Bang Petra diam. Masih menatap arah perginya Arvan. "Kita pulang sekarang?" ajakku. "Nunggu hasil labnya Exel keluar dulu, ya!" "Kapan?"  "Mungkin sebentar lagi." Aku melangkah duduk di bangku yang tidak jauh dari situ. Bang Petra duduk di sebelahku. Bukannya aku tidak mau menemaninya bertemu Exel di kamar perawatannya. Tapi di sana aku seperti orang bodoh saat menyaksikan Bang Petra berinteraksi dengan Winda karena Exel. Exel yang membuat kedua orang tuanya berdekatan.
Read more
PREV
1
...
111213141516
DMCA.com Protection Status